Ratu 2
Siang ini begitu terik, matahari melambaikan sinarnya hingga menyilaukan mata. Leher juga serasa kering kerontang, melihat pedagang es kelapa saat ini, bagaikan melihat sungai mengalir indah di surga. Kedua kakinya menepi di pedang es kelapa, jemari sang anak masih bertaut dengan jemarinya, langkah kaki kecil itu mengekori ke mana langkah sang ibu membawanya.
"Kita beli es kelapa dulu ya," ujar Ratu pada sang puteri. Anak kecil dengan peluh sudah menetes di dahi dan lehernya itu hanya mengangguk, tanpa bersuara.
Seharusnya, siang seperti ini ia sudah ada di rumah. Namun, ibunya mengajak Amel untuk mampir di rumah neneknya. Sang ibu baru saja meminjam uang pada nenek Amel, lalu menyetorkan uang tersebut ke salah satu Bank Swasta, untuk membayar hutang cicilan kulkasnya padq Nunik.
"Ibu, Amel cape, Amel lapar, Bu," Amel merengek pada Ratu, ibunya.
"Iya, ini juga mau pulang. Beli es kelapa dulu, setelah itu baru beli soto, dan kita pulang," terang Ratu pada puterinya, sambil mengusap peluh Amel dengan tisu.
Setelah membayar es kelapa, Ratu kembali membawa Amel berjalan ke warung soto. Jaraknya tidak terlalu jauh bagi orang dewasa, tapi bagi Amel yang masih anak-anak, tentu saja jarak empat ratus meter itu jauh sekali. Ratu memberikan es kelapa pada puterinya agar tidak kehausan.
Setelah membeli soto, mereka pun pulang dengan naik angkot. Karena lelah dan begitu penat, Amel sampai tertidur di dalam angkot. Ratu tersenyum tipis, melihat puteri cantiknya yang kini terlelap di lengannya.
Beep!
Beep!
Ratu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, melihat siapa gerangan yang menelepon.
Bimo
[Hallo, iya kenapa?]
[Cicilan HP lu, jangan ngaret mulu kenapa, Ra? Udah lewat seminggu dari jadwal nih]
[Iya, gue bayar. Tenang aja lu, minggu depan gua dapat arisan, gue bayar dah. Kalau sekarang belum ada, beneran]
[Janji, janji terus. Minggu depan harus lu bayar ya, kalau ga, gue sanperin kantor laki lu!]
[Iya, bawel!]
Dengan wajah sebal, Ratu memutus panggilan dari Bimo. Lelaki pemilik beberapa konter HP di beberapa mall di Jakarta Selatan, yang merupakan teman SMA Ratu. Mereka bertemu kembali saat reuni sekolah. Melalui Bimo, Ratu kini mencicil ponsel mahal sekelas Galaxy Note. Dua bulan pertama cicilan lancar, ketiga, keempat, dan kini cicilan kelima, Ratu selalu saja telat menyetorkan uangnya pada Bimo.
"Kiri, Bang!" seru Ratu pada sopir angkutan umum. Ratu membangunkan Amel, lalu membawanya turun dengan hati-hati, karena anaknya masih dalam keadaan setengah sadar. Jalannya saja masih sempoyongan.
Setelah membayar ongkos pada supir, dengan sekuat tenaga, Ratu menggendong Amel berjalan masuk ke dalam gang, tempat mereka mengontrak baru-baru ini. Satu dua tetangga menyapa Ratu, yang disambut senyuman manis olehnya.
"Perlu bantuan untuk gendong Amel ga, Bu Ratu?" tanya seorang lelaki bertubuh tambun pada Ratu. Lelaki itu adalah pemilik warung kelontongan, tempat Ratu sering berbelanja.
"Eh, terimakasih, Pak. Sedikit lagi sampai kok," sahut Ratu sambil tersenyum manis.
Lelaki itu memandang Ratu dengan penuh minat, hingga punggung Ratu menghilang masuk ke dalam rumahnya.
Amel sudah cuci muka dan berganti pakaian, Ratu mengambilkan nasi untuk Amel makan siang. Betapa lahapnya Amel menghabiskan nasi soto di piringnya, bahkan Amel menambah nasinya karena terlalu lapar.
"Pelan-pelan makannya, Mel," tegur Ratu.
"Amel lapar banget, Bu. Lihat jamnya sudah jam dua, jadi Amel kelaparan," sahut Amel sambil menyendokkan suapan terakhir nasi soto ke dalam mulutnya.
"Maafin ibu ya."
"Iya, Bu. Gak papa."
Ratu ikut duduk makan bersama Amel yang kini tengah menghabiskan segelas air putih di atas meja. Karena kekenyangan, Amel masih belum beranjak dari duduknya. Masih asik melihat siaran televisi siang, yang menampilkan film kartun.
Sore pun tiba, Ratu memilih duduk di depan teras sambil menemani Amel bermain congklak bersama dua orang anak tetangga. Jemari lentiknya, sedang mengetik pesan untuk Luna, teman SMAnya yang kini bekerja sebagai karyawan Bank swasta. Sekedar berbasa-basi menanyakan kabar, siapa tahu suatu saat ia bisa meminta bantuan Luna untuk meminjamkan uang di Bank tempat Luna bekerja saat ini.
"Mama Amel, mau beli panci set ga?" seorang wanita muda menghampiri Ratu di teras rumahnya.
"Eh, Bu Heru. Panci set apa, Bu?"
"Ini, Bu. Brosurnya, anti lengket lho. Dapat sepaket gini, harganya cuma lima ratus sembilan puluh. Bisa dicicil sepuluh kali," terang Bu Heru antusias. Indera pendengaran Ratu yang menangkap kalimat bisa dicicil selama sepuluh kali, tentu saja langsung berdengung senang. Tampilan gambar panci set berwarna-warni di depan matanya begitu menggoda iman.
"Mau deh, Bu. Kapan mulai bayarnya?"
"Bulan depan, Bu."
"Barangnya kapan datang? Udah ga sabar pengen nyoba panci baru," ujar Ratu tak sabar.
"Dua hari lagi saya ambil ke agen ya, Bu. Gak sekalian pisau dapur setnya, Bu? Dapat enam jenis pisau dan satu gunting dapur," rayu Bu Heru lagi.
"Ini brosurnya!" Bu Heru kembali menunjukkan brosur pisau set pada Ratu.
"Berapa harganya?"
"Murah saja, Bu. Dua ratus ribu, bisa dicicil sepuluh kali juga."
"Ya sudah, saya ambil deh. Pesan warna hijau ya," Ratu akhirnya memutuskan mengambil dua barang dari Bu Heru.
Adzan magrib berkumandang, Ratu dan Amel melaksanakan sholat magrib berjamaah. Setelah sholat, Amel mengerjakan PR dari sekolah, sambil menunggu sang papa pulang bekerja. Ratu masih asik memainkan jemarinya di layar ponsel, kali ini membaca pesan dari Nunik, yang mengucapkan terimakasih karena Ratu sudah membayar cicilan kulkas.
Ratu malas membalas, ia lebih memilih berbalas pesan pada group teman-teman semasa sekolahnya. Hingga tak lama kemudian, suara motor suaminya masuk pekarangan rumah.
"Assalamua'laykum," ucap Amran di depan pintu rumah, Amel dan Ratu menjawab, "wa'alaykumussalam, Papa," dua wanita itu menyambut Amran dengan sangat manis.
"Papa bawa apa tuh?" tanya Amel saat melihat sang papa menenteng kantong kresek bening yang berisi kotak makanan.
"Oh, ini martabak untuk Amel dan ibu," sahut Amran, lalu masuk ke dalam rumah.
Amran langsung masuk ke dalam kamar mandi, ia mandi, lalu berganti pakaian. Setelah cukup segar, ia menghampiri Ratu yang masih fokus pada ponselnya.
"Kalau suami sudah di rumah, ponselnya ditaruhlah," sindir Amran.
"Eh, ini, Pa. Ada pesan dari kordinator kelasnya Amel. Papa mau makan?"
"Papa masih kenyang. Oh iya, kamu ada ambil barang apa lagi sama Bu Lubis? Tadi sore Bu Lubis telepon papa, katanya kamu sudah telat bayar dua bulan," tanya Amran penuh selidik.
"Duh, mati gue!" umpatnya dalam hati.
"Mmm... itu, Pa. Mmm...ibu pinjam uang untuk mama, karena mama sakit waktu itu. Mama perlu tambahan untuk beli obatnya," kilah Ratu berbohong, memakai nama sang mama.
"Oh, jadi uangnya untuk mama."
"Iya, Pa."
"Ya sudah, besok bayarkan sebagian. Kebetulan papa dapat bonus satu juta, karena jadi petugas keamanan teladan bulan ini."
"Alhamdulillah," seru Ratu dengan sangat senang. Uang satu juta dari suaminya, akan ia putar dahulu, untuk menutupi utang-utang lainnya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top