9. Pisah Rumah

Amran memilih pergi ke rumah orangtuanya, sedangkan Ratu kembali ke rumah mamanya, di mana Amel masih menginap di sana. Sambil membawa tas besar berisi pakaian dan barang lain yang bisa dibawa, maka Amran membawa semuanya selagi masih bisa dan belum diangkut oleh rentenir.

Pertengakaran hebat pun tak terelakkan, karena Ratu lagi-lagi memaksa Amran untuk tetap tinggal di rumah yang sekarang. Ia tidak mau tinggal di rumah kontrakan petak tiga. Sumpek dan tidak sehat, katanya. Sedangkan Amran menginginkan Ratu ikut dengannya ke rumah orangtuanya, namun Ratu enggan. Ratu jga enggan mengontrak di petakan, sehingga memancingamaah Amran.

"Benarkan apa yang Ibu bilang? Makanya dari dulu Ibu ga setuju kamu sama Ratu. Ampun gaya hidupnya menguras kantong. Kecuali kamu direktur, itu ga masalah. Lha, kamu cuma security. Istri utang belasan juta ga cuma satu tempat, bahkan di berbagai tempat. Terlalu banyak buka cabang ngutang!" omel Bu Cici, ibu dari Amran.

"Hhhmm ... entahlah, Bu. Pusing saya," keluh Amran, sambil meluruskan kakinya di kursi balai depan teras. Tas ransel dan juga tas jinjingnya ia taruh di lantai. Bu Cici masuk ke dalam rumah, tak lama keluar lagi dengan membawa secangkir kopi untuk Amran.

"Minumlah, kamu sudah makan?"

"Sudah tadi pagi, Bu. Siang ini belum," kata Amran sambil menyesap kopi susunya.

"Mau ibu ambilkan?"

"Gak usah, Bu. Amran mau tiduran saja. Cape banget otak mikirin utang istri."

"Ya sudah, tidur di dalam sana. Jangan di sini, nanti masuk angin," ujar Bu Cici sambil menunjuk ke dalam rumah dengan dagunya.

"Di sini saja, Bu. Adem." Amran memejamkan matanya, berharap semua kesulitan yang ia alami bisa terlewati dengan baik.

Beep
Beep

Baru saja akan memejamkan mata, ponselnya berdering, tanda pesan masuk. Amran mengambil ponsel dari saku celananya, lalu melihat siapa pengirimnya.

Bu Bos

Amran tersenyum, lalu dengan garis bibir tertarik ke atas, ia membuka isi pesan itu yang ternyata dua buah foto dirinya yang gagah saat berada di puncak.

[Sumpah, Ran. Saya baru tahu kalau kamu ganteng juga]

"Ha ha ha ... alhamdulillah. Hidung ampe kembang kempis dikata ganteng sama nyonya besar."

[Terimakasih fotonya, Bu.]

[Jangan lupa nanti sore mengajar di rumah ya.]

[Siap, Bu.]

"Bu, bangunin Amran jam tiga ya!" teriaknya dari luar.

"Iya. Jam tiga pagi apa jam tiga shubuh?!" jawab Bu Cici sambil berteriak.

"Jam tiga shubuh."

"Oke."

Amran memutar bola mata malasnya, ibunya selalu saja pandai membuat dirinya menyeringai apalagi saat susah seperti ini. Amran memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana, lalu ia pun melanjutkan mimpi terbebas dari utang.

****
Sementara itu, di rumah mamanya. Ratu sedang menangis di kamar, ia sangat kesal pada suaminya karena memaksanya pindah, padahal ia belum dapat arisan. Sedangkan ia memilih nomor tengah, ia khawatir, orang-orang tidak mau bayar kalau dia sudah tidak tinggal di sana.

"Ratu, ada Bu Husna di luar mencari kamu," kata Bu Rona, mama dari Ratu.

"Mau ngapain, Ma? Males ah!" sahut Ratu enggan bak anak kecil.

"Ck, katanya dua bulan lalu kamu sudah dapat arisan, tapi setelah itu kamu tidak bayar lagi. Jadi dia menagih uang arisan yang kamu lalaikan. Sisa tiga orang lagi, bayarkan lima ratus ribu," ujar Bu Rona.

"Gak punya duit, Ma. Sisa lima puluh ribu di saku baju nih! Bilang aja minggu depan. Takut banget sih, ga dibayar."

"Iya, takut dong. Buktinya dua bulan setelah kamu dapat arisan, kamu tidak membayarnya. Sudah sana! Tanggung jawab sendiri. Mama tidak mau menutupi hutang kamu. Kalung Mama yang kamu jual aja belum kamu kembalikan," omel Rona keluar dari kamar Ratu dengan wajah masam.

"Ck, Mama sama si Koran, mulutnya sama. Gak pernah mau ngertiin saya, yang ga bisa pegang uang cuma sedikit di dompet," gumam Ratu sambil turun dari tempat tidur. Kakinya melangkah malas menuju ruang tamu. Di mana ada Bu Husna sudah duduk di teras.

"Kenapa, Bu?" tanya Ratu dengan ketus.

"Saya mau nagih uang arisan dua bulan, dua ratus ribu."

"Sekarang lagi tidak ada uang. Minggu depan ya, Bu."

"Jawaban pesan WA dan bicara langsung, isinya sama saja. Tidak mungkin kamu tidak punya uang dua ratus ribu," ujar Bu Husna sambil menahan amarahnya.

"Memang ga ada, Bu. Motor suami saya hilang, jadi uang jatah saya dipakai untuk mengganti motor suami yang hilang," terang Ratu panjang lebar.

"Jangan alasan mulu Ratu, minggu lalu saya tagih di HP, katanya motor suami kamu rusak. Sekarang saya tagih lagi, kamu bilang motor suami kamu hilang. Jangan suka bohong, bisa-bisa suami kamu beneran hilang."

"Ha ha ha ... alhamdulillah kalau gitu Bu. Saya cari yang lain, yang bisa bayarin utang saya." Ratu terbahak, ia merasa lucu dengan ucapan Bu Husna. Tidak bakalan suaminya berpaling meskipun ia tukang berutang, mana ada wanita cantik berpendidikan yang mau sama satpam kere. Ratu bermonolog.

"Jangan bengong! Bayar utangnya!" kali ini Bu Husna tampak habis kesabarannya. Ratu berjalan ke depan, menghampiri mamanya yang asik berjualan.

"Ma, pinjam tiga ratus dulu, buat bayar Bu Husna. Besok Mas Amran jemput saya, saya bayar," rengek Ratu pada sang mama yang tengah melayani pembeli di warungnya.

"Ini! Dan terakhir, Mama tidak mau jadi serepan kamu buat bayar utang!" ujar Bu Rona sewot pada Ratu.

"Makasih, Mama." Ratu kembali ke teras, memberikan dua lembar seratus ribuan pada Bu Husna.

"Ini, Bu. Lunas ya."

"Masih tiga orang lagi, ya belum lunas," timpal Bu Husna.

"Gampang itu mah, yang penting saya jangan ditagih-tagih lagi. Begitu ada uang, saya bayarkan utang saya. Maaf, Bu. Saya masuk dulu." Ratu masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar. Ia berbaring di samping Amel yang tengah terlelap. 

"Mayan, kelebihan seratus ribu. Bisa beli pulsa dan tas selempang."

"Apa aku cari mangsa aja ya? Lumayan buat nambahin isi dompet," gumam Ratu sambil tersenyum lebar. Pikirannya melayang pada seseorang yang mungkin punya stok teman kaya yang masih single. Eh, kalau sudah punya istri juga bolehlah, asal kaya.

****
Sore tiba, dengan naik ojek online, Amran menuju rumah Bu Melika, bosnya. Hanya perlu waktu dua puluh menit saja, ia sudah sampai di depan gerbang rumah besar. 

"Ini, Mas. Makasih," ucap Amran pada sopir ojek, sambil memberikan ongkoa dua puluh ribu.

Teet
Teet

Amran memencet bel dua kali, tidak lama muncul seorang wanita paruh baya mengintip dari pagar.

"Siapa, Mas?"

"Saya Amran, mau ketemu Bu Melika, diminta untuk mengajar anak Bu Melika bela diri," terang Amran.

"Tunggu ya!" Wanita paruh baya itu pun masuk ke dalam rumah, untuk mengonfirmasi tamu yang datang pada majikannya.

"Nya, ada tamu namanya Amran."

"Suruh masuk aja, Bik." Melika merapikan baju kaus dan celana trainingnya, rambutnya juga diikat ekor kuda, menambah kesegaran bila dipandang mata. Melika lalu keluar kamar untuk menyambut Amran.

"Hallo, Ran. Mari masuk!" senyum terbaik yang Melika berikan pada Amran, membuat Amran salah tingkah.

"Duduk dulu ya. Saya buatkan teh," ucap Melika sambil berjalan ke arah dapur. Tak lama, ia pun kembali ke ruang tamu, lalu menyajikan secangkir teh hangat untuk Amran dan juga beberapa potongan kue bika ambon.

"Silakan minum dan makan kuenya dulu," ucap Melika mempersilakan.

"Kapan bisa dimulai latihannya, Bu?"

"Anak saya tidak mau, saya saja yang jadi murid kamu. Bolehkan?"

~Bersambung~

Kalau kata Amran, rezeki nomplok.😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top