8. Istri Mata Duitan
"Ini uang buat kamu, Ran. Akting kamu bagus sekali." Melika menyerahkan uang di dalam amplop saat mereka dalam perjalanan pulang dari puncak, senin pagi.
"Uang apa, Bu? Saya ikhlas kok, nolongin," tolak Amran merasa sungkan.
"Jangan menolak. Kamu pasti butuh uangkan? Buktinya, sampai ada wanita datang ke kantor menarik motor kamu."
Amran menggaruk rambutnya dengan tangan kiri, karena tangan kanannya masih memegang stir. Ia tidak bisa berkelit dari bosnya. Pastilah kejadian jum'at heboh kemarin, sampai di telinga Melika.
"Sebenarnya saya tidak enak, Bu. Namun, saya juga lagi butuh," ujarnya sedikit memelas.
"Gak papa, ambil saja. Anggap bayaran kamu. Siapa tahu, nanti saya perlu kamu lagi untuk bertemu orang tua saya."
"Oh, baik, Bu. Siap. Saya terima ya, Bu." Amran mengambil amplop cukup tebal dari tangan bos wanita.
"Sama-sama. Kapan mulai mengajar anak saya bela diri?"
"Terserah Ibu saja."
"Nanti sore, bagaimana? Kamu masuk malamkan? Jadi dari rumah saya, langsung ke mal." Saran Melika yang diikuti anggukan Amran.
"Benar juga. Oke, Bu."
"Mmm ... istri kamu bagaimana kabarnya?"
"Yah, gitu Bu. Sehat alhamdulillah, tapi masih suka minjam sana-sini."
Mengalirlah cerita dari bibir Amran kepada Melika. Memang tidak semua, hanya secara garis besarnya saja. Melila dapat menarik kesimpulan, jika Amran bekerja hanya untuk menutupi hutang istrinya, karena pertengahan bulan ia kembali kasbon di kantor karena tidak cukup.
Melika mendengarkan dengan seksama cerita sambil sesekali menyahuti seadanya. Tak mungkin juga ia berani berkomentar soal rumah tangga karyawannya.
"Nasib kita sama, Mas Amran," ujar Melika sambil membuang pandangan.
"Maksudnya?"
"Almarhum suami saya gemar berjudi. Bahkan satu perusahaan kami ia pertaruhkan di meja judi. Saat kalah, ia menjadi stres dan jatuh sakit, tak lama meninggal. Semua terjadi karena keserakahan."
"Ya Allah, saya turut berduka, Bu. Benar-benar saya baru tahu."
"Gak papa, Mas. Saya sudah sembuh dari sedih dan kecewa. Mas Amran punya teman gak, barangkali bisa dijodohkan dengan saya. He he he ...."
"Wah, teman saya satpam semua, Bu. Paling ada, tukang adu burung, sama karyawan pabrik. He he he ... Coba saya jomblo ya, ha ha ha ...." Amran dan Melika tertawa.
Mobil sampai di lobi khusus petinggi mal. Melika turun dari mobilnya, saat Amran membukakan pintu. Keduanya tampak tersenyum canggung. Namun, segera Amran menepis sesuatu yang berdesir di hatinya.
"Kamu boleh pulang dulu, Ran. Jangan lupa nanti sore ke rumah saya."
"Siap, Bu." Amran mengangguk paham. Setelah memastikan Melika masuk ke dalam lift, Amran pun memutuskan untuk memesan ojek online. Ia akan pulang ke rumah, lalu mengajak istrinya untuk membeli motor seken, menggunakan uang lima juta yang diberikan oleh Melika. Tak apa motor biasa, asal ia memiliki kendaraan untuk berangkat bekerja.
Setengah jam berkendara, ojek online yang ditumpangi Amran masuk ke dalam gang, yang dari kejauhan tampak ramai. Hati Amran semakim berdebar, tatkala keramaian itu berasal dari rumahnya.
"Ran, barang lu diambil orang tuh!" ujar Pak Ahamd, tetangga samping rumah Amran.
"Waduh, istri saya mana, Pak?" tanya Amran sambil membayar ongkos ojek online.
"Di dalam lagi nangis," sahut Bu Heru.
Baru saja akan melangkah masuk ke dalam pagar rumahnya, lengan Amran ditahan oleh seseorang.
"Ada apa, Bu?"
"Istri Pak Amran belum bayar hutang sarapan pada saya. Padahal cuma lima puluh lima ribu. Ngomongnya, tar sok tar sok melulu. Saya mah janda susah, Pak. Masa diutangin!"
"I-iya, Bu. Ini saya bayar hutang istri saya." Dengan rasa malu tak tertahankan, Amran menyerahkan uang lima puluh ribu dan satu lembar dua puluh ribu pada Bu Tari.
"Makasih. Tahu gitu saya tagih sama suaminya aja," ujar Bu Tari meninggalkan Amran yang kini sudah masul ke dalam pagar rumahnya.
"Diambil rentenir Bu Widodo barang-barangnya, Mas. Ngeri ya, jaman sekarang. Cantik sih cantik, tapi kalau tukang hutang, siapa yang tahan!" ledek ibu-ibu tetangga rumah Amran. Tanpa memedulikan sindiran tetangga, Amran langsung saja masul ke dalam rumah. Sudah kosong melompong, tak ada barang apapun di sana. Bahkan Ratu kini duduk di lantai sambil menangis.
"Ya Allah, Bu. Habis barang kita semua. Apa yang kamu lakukan, Bu?!" suara Amran meninggi.
"Ini semua gara-gara Mas yang kerjanya cuma satpam. Aku mau beli ini itu jadi ga bisa. Akhirnya ngutang! Pokoknya Mas harus tanggung jawab!" teriak Ratu pada suaminya.
"Astaghfirullohal a'dzim. Keterlaluan kamu Ratu. Buat malu saja. Cepat bereskan baju, kita pindah lagi!"
"Gak mau, saya main arisan di sini, ada tiga nomor, dan saya belum dapat."
"Dasar istri mata duitan!" sembur Amran masuk ke dalam kamar. Kepalanya mendadak pusing, saat baju berhambuaran di lantai. Lemari sudah tak ada, bahkan tempat tidur pun diangkut oleh rentenir Bu Widodo.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top