13. Negosiasi Ratu dan Melika
Pagi-pagi sekali, tepatnya pukul tujuh tiga puluh pagi, Ratu sudah berada di ruang tunggu depan kantor Melika, bos suaminya. Pakaian yang ia kenakan sangat rapi, rambutnya pun ia ikat tinggi menyerupai ekor kuda. Tak lupa polesan foundation, bedak tabur, blush on, eye liner, serta lipstik warna merah menyala yang mempertegas kecantikan Ratu. Satu dua orang yang lewat di hadapannya, melirik dengan takjub penuh pesona. Ada juga yang sengaja menyunggingkan senyum pada dirinya yang terlihat memesona pagi ini.
"Ini tehnya, Bu. Silakan diminum," tegur sekretaris Melika pada Ratu, sembari meletakkan segelas teh di hadapan Ratu.
"Masih lama ya, datangnya?" tanya Ratu sambil menaikkan cangkir teh sejajar dengar bibirnya.
"Biasanya jam setengah sembilan, Bu. Tunggu saja, ya," jawab sekretaris Melika yang bernama Dina. Wanita dengan celana panjang hitam itu pun berlalu dari hadapan Ratu, lalu memulai aktifitasnya di balik meja. Sesekali ia melirik Ratu, seperti pernah melihatnya, tapi di mana.
Ratu hampir mati kebosanan menunggu Melika. Raut wajahnya sudah tampak kesal, bahkan teh yang dihidangkan sudah dua kali diisi ulang. Selain udara ruangan dingin, sehingg menikmati teh hangat sangat membantunya menghangatkan perut yang lapar. Jujur saja, karena terlalu bersemangat menawarkan suaminya pada Melika, sehingga ia sampai lupa sarapan. Tepatnya tidak berselera, karena ia ingin makan di mal siang ini. Berharap ada fulus yang dicairkan oleh Melika untuknya.
Tuk
Tuk
Tuk
Tuk
Tuk
Suara sepatu highheels terdengar nyaring dari kejauhan. Ratu mengangkat sedikit tubuhnya untuk melihat siapa pemilik sepatu itu, ternyata Melika, wanita yang ia tunggu-tunggu kehadirannya. Jika saat melihat dari kejauhan saja, Melika sudah sangat cantik, apalagi dilihat dari dekat seperti ini. Mulut Ratu sampai setengah terbuka karena terpesona dengan kecantikan Melika. Wajahnya mengkilap bersinar, padahal tidak memakai make up tebal seperti dirinya.
Tuk
Tuk
Tuk
Suara hentakan tumit sepatu itu semakin nyaring tertangkap di telinga Ratu, cepat ia duduk kembali di sofa, sambil merapikan kemejanya serta menyisir sedikit rambutnya dengan jemari. Melika menoleh, lalu tersenyum tipis.
"Bu Ratu, ya? Saya Melika." Bos pemilik mal itu mengulurkan tangannya pada Ratu, yang disambut Ratu dengan senang. Ia pun ikut tersenyum cerah, secerah uang lembaran merah yang terbayang di wajah Melika.
"Mari masuk!" ajak Melika sembari membuka lebar pintu ruangan direktur. Pelan Ratu melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan direktur yang sangat elegan namun sangat nyaman. Ratu bahkan lupa berbasa-basi, ia langsung saja duduk di sofa empuk yang berada tepat di depan meja Melika.
Nyes
Bokongnya bagai dipijat, saat ia mendudukinya. Melika menoleh, lalu tersenyum tipis.
"Enak ya, kursi pijatnya? Mau pijat dulu, atau bicara dulu? Maaf, soalnya saya banyak urusan," ujar Melika singkat, padat, dan to the point. Ia pun duduk melepas blazer ungunya, lalu menaruh blazer itu di kepala kursi kebanggaannya. Bokongnya diletakkan pelan, sangat anggun dan berkelas.
"Ada perlu apa Ibu Ratu hendak ketemu saya?" tanya Melika dengan sorot tajam, pandangannya yang tanpa berkedip, membuat Ratu sedikit menelan salivanya.
"Baiklah, Bu. Karena waktu Ibu sangat berharga, saya langsung saja. Saya perhatikan, Ibu dan suami saya cukup dekat. Jika Ibu mau, suami saya boleh kok buat Ibu." Kali ini Ratu berdiri dari duduknya, lalu berjalan tak kalah anggun dari Melika, menarik kursi putar yang ada di sana, untuk ia duduki.
"Heh, maksud Ibu Ratu apa ya? Suami siapa?" Melika menautkan alisnya, sengaja ia memasang wajah tak paham di depan Ratu.
Wanita yang bernama Ratu mengeluarkan ponselnya, lalu jemarinya lincah membuka album galeri foto dan video, untuk diperlihatkan pada Melika.
"Ini adalah Amran, suami saya. Ibu sudah mengenalkannya sebagai orang yang spesial kepada keluarga Ibu. Bukankah ini suatu kebohongan?" senyum remeh Ratu membuat Melika sedikit jengah.
"Amran saya bayar, bukan gratis!" jawab Melika tegas.
"Ibu bisa dapatkan gratis, bukan hanya sewa harian saja, tetapi menjadi milik Ibu seutuhnya. Jika ...." Ratu nampak sedikit ragu saat ia akan menuntaskan kalimatnya.
"Jika apa?" Melika tak sabar dengan kalimat yang harusnya segera diselesaikan oleh Ratu.
"Beri saya satu milyar, maka suami saya Amran jadi milik Ibu seutuhnya."
"Ha ha ha ... Kamu tidak waras? Masa suami sendiri kamu gadai?" Melika tergelak. Sungguhlah aneh jaman sekarang, karena tuntutan ekonomi, cinta dan janji suci di hadapan Tuhan pun bisa digadai.
"Iya, saya tidak waras memang, tetapi untuk kebaikan semua. Ibu dapat suami saya, dan saya dapat uang dari Ibu untuk membayar semua utang saya. Anggap saja, satu milyar itu harga jual suami saya yang ganteng dan jago beladiri itu," ujar Ratu berapi-api. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu memandang Melika tajam menanti jawaban.
"Kalau saya tidak bersedia?" tantang Melika dengan raut datar tanpa ekspresi, hanya kedua alisnya naik, menanti jawaban Ratu.
"Foto ini akan saya sebar ke media sosial, bahwa Ibu Melika pemilik mal terbesar di Jakarta ini, adalah seorang Pelakor!"
"Ha ha ha ...." lagi-lagi Melika tergelak. Ia pun bangun dari duduknya, lalu berjalan ke arah lemari besar, kemudian membuka pintu lemari tersebut dan mengeluarkan sesuatu dari lacinya. Ia berjalan kembali duduk di kursi kebesarannya, kemudian mengambil pulpen,lalu membuka kertas yang sepertinya lembar cek. Tentu saja mata Ratu melotot sempurna, hatinya membuncah bahagia, saat Melika dengan mudahnya menyetujui kerja sama yang ia tawarkan.
Jemari Melika menuliskan nominal yang diminta Ratu, bahkan lebih. Ratu sampai terperanjat berdiri dari duduknya, saat angka satu milyar lima ratus juta dituliskan Melika pada selembar cek kosong. Tak lupa Melika membubuhkan tanda tangan disertai stempel khusus dirinya.
"Ya Allah, dermawan sekali Ibu Melika," puji Ratu tulus, tangannya hendak menggapai selembar cek yang dipegang Melika.
"Tunggu!" Melika menaruh kembali cek di balik buku catatannya, urung ia berikan begitu saja pada Ratu.
"Cek ini baru bisa dicairkan dua bulan lagi. Saat kamu menunjukkan surat cerai pada saya. Dan- satu lagi, selain suamimu, kamu juga harus melepas Amel. Hak asuh akan jatuh pada Amran. Jika saat ini kamu tega menjual suamimu, bisa jadi, sepuluh tahun yang akan datang, kamu tega menjual puterimu. Jadi, dua orang yang harus kamu lepaskan untuk harga satu setengah milyar. Bagaimana?" melihat raut wajah Ratu yang berubah pucat, saat dirinya juga meminta Amel, tentu saja Ratu takkan berani mempertaruhkan anaknya. Sarat yang ia ajukan tampaknya berhasil.
"Bagaimana?" tanya Melika sekali lagi dengan sedikit memaksa. Matanya tak sekalipun menjauh dari Ratu.
"Jadi, jika saya menceraikan suami saya dan memberikan hak asuh pada Mas Amran, maka cek ini bisa saya cairkan?" tanya Ratu memastikan kembali dengan sebenar-benarnya.
"Iya, satu setengah milyar untukmu. Banyak bukan?"
"Mm ... Baiklah, saya setuju?" tegas Ratu sambil mengulurkan tangan kanannya pada Melika.
"Simpan baik-baik ceknya, jangan sampai hilang." Melika mengingatkan sembari membuka laptopnya.
"Baik, Bu. Apa saya boleh minta sesuatu lagi, Bu?" pinta Ratu dengan tak punya rasa malu. Melika yang tadinya fokus pada layar laptopnya, kini menoleh pada Ratu.
"Ada apa?"
"Saya tidak punya ongkos. Boleh saya minta lima ratus ribu untuk makan siang dan ongkos saya."
Melika hanya mendengkus kesal, tetapi ia tetap mengeluarkan dompetnya dari dalam tas, lalu menarik lima lembar uang merah dari dalamnya. Kemudian ia berikan pada Ratu.
"Terimakasih, Bu. Senang berbisnis dengan Ibu." Ratu menyambar cepat uang di tangan Melika, lalu memasukkannya ke dalam dompet. Ratu pun melangkah ringan keluar dari ruangan Melika.
Melika mengulum senyum, lalu menghela nafas panjang, diambilnya ponsel, lalu mengirimkan rekaman percakapan dirinya dengan Ratu.
Send
~Bersambung~
Kira-kira, pada siapa Melika mengirimkan rekaman percakapan dirinya dengan Ratu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top