12. Liciknya Ratu
Dari kejauhan, Vanda terus saja memperhatikan kakak iparnya, Melika bersama lelaki yang diakuinya sebagai teman dekatnya. Melika cenderung menikmati kedekatan mereka, sedangkan sang laki-laki seperti berjaga jarak dan terlihat kaku. Wanita itu tak habis pikir, bagaimana bisa Amran, suami dari temannya Ratu, menjadi orang spesial Melika? Apakah mereka berselingkuh? Vanda menggelengkan kepalanya. Diam-diam ia mengambil beberapa foto untuk bukti pada Ratu, perihal kedekatan Amran dan Melika. Walaupun kakak iparnya itu janda, ia tetap tak rela jika harus bermain ap dengan suami teman baiknya.
"Beneran Vanda teman istri kamu?" tanya Melika saat keduanya tengah menikmati cake yang disuguhkan.
"Saya tidak begitu hapal wajah teman istri saya, Bu, yang saya hapal wajah penagih utang, he he he ...."
"Kayaknya adik ipar saya ngutangin istri kamu deh. Soalnya adik iparku itu jual beli barang branded. Mulai dari tas, jam tangan, sampai perabotan rumah."
"Oh, bisa jadi, Bu. Gak mungkin mau terlewat oleh istri saya, kalau ada yang mau utangin barang."
"He he he ... kasian ya. Kamu sabar aja. Doakan istri kamu tidak semakin menambah utangnya."
"Aamiin ya Allah, aamiin."
****
Di rumah Bu Asma, sudah berkumpul sekelompok ibu-ibu. Bu Asma adalah tetangga samping rumah Bu Rosa. Sang Ratu utang juga berada di sana, tengah memilih beberapa lembar daster yang dapat dicicil dua ribu rupiah per hari. Bukan hanya satu, dia bahkan memilih empat daster untuknya dan dua daster untuk Amel. Ibu-ibu yang mengetahui kebiasaan Ratu, tentu saja saling lirik, ada yang mencibir, adalagi yang mengangkat bahu. Mereka memandang iba mamang daster yang pasti bakalan susah meminta uang cicilan daster dari Ratu.
"Jadi saya berapa, Mang?"
"Enam daster ya, Teh. Cicilannya 2000 per hari, dikali jumlah daster. Jadi Teteh setiap hari setor pada saya 12 ribu, selama empat puluh hari," terang si Mamang daster.
"Oke, ini." Ratu mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari saku piyamanya, lalu memberikannya pada Mang Daster. Lelaki itu tampak sumringah, betapa ia merasa bersukur menerima pelanggan baru yang mudah bayarnya.
"Buat dua hari ya," kata Ratu menambahkan.
"Makasih, Teh. Tuh, ibu-ibu, contoh Neng ini, langsung bayar buat dua hari," seru Mang Daster dengan senang. Setelah menerima kembalian, Ratu beranjak kembali pulang ke rumah. Tak ia pedulikan cibiran ibu-ibu tetangga yang melihatnya banyak berbelanja.
"Dua hari doang bener, Mang. Hari ketiga sampai hari keempat puluh dia gak mau bayar. Ha ha ha ... hati-hati, Mang." Si ibu berambut cepak memberi tahu, tentu saja Mang Daster tak langung percaya, "jangan suusdzon, Bu."
"Hi hi hi ... nikmatin ya, Mang." Tawa ibu-ibu yang lainnya.
Ratu mendengar obrolan tetangganya dengan Mang Daster, apa ia peduli? Tentu saja tidak, kalau ada duit ya bayar, kalau gak ada ya utang dulu. Bu Rona hanya menatap Ratu sambil menggelengkan kepala, kemudian mengehela nafas berat. Kebiasaan Ratu yang merugikan oranglain, tidak juga berhenti. Belum selesai utang di sini, sudah utang di sana.
Ratu mencoba empat daster yang ia beli. Semuanya bagus dan enak dikenakan, tak perlu dicuci dulu, ia langsung saja memakainya.
"Cantik juga daster tiga puluh lima ribuan," gumam Ratu di depan cermin, sambil berputar ke kanan dan ke kiri.
Drrt
Drrt
Ada pesan masuk ke ponselnya, ternyata pesan inbox di media sosial dari Vanda. Cepat ia membuka pesan dan memperbesar gambar yang dikirimkan Vanda. Ada dua foto suaminya bersama bos wanitanya. Ratu tersenyum lebar dengan mata berbinar.
"Alhamdulillah, akhirnya Mas Amran mengikuti saranku. Yyeeeyy ... kaya kita, kayaaa!" pekik Ratu sambil melompat kegirangan. Tak sabar jemarinya mengetik pesan untuk suaminya.
Mas, kita perlu bicara.
Sepuluh menit menunggu, tak ada balasan. Ratu kembali mengirim pesan, sekaligus foto suaminya yang tengah ngobrol berdua bersama Melika.
Mas kok gak bilang kalau berhasil mendekati Bu Melika. Aku mau tas yang di mal itu, Mas. Sekalian sepatunya, jangan lupa minta uang buat bayar utang-utangku. Duh, Mas Amran bikin aku makin sayang.
Ratu tak sabar menanti malam. Ya, malam ini ia akan menjumpai suaminya di rumah mertuanya, untuk memberikan service pada suaminya, hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih, karena sudah mengabulkan permintaannya. Ratu tersenyum sangat lebar, sambil memperhatikan layar ponselnya. Kedua pesannya belum juga terbaca, tak masalah, yang penting nanti suaminya baca dan menuruti keinginannya.
Layar ponsel ia geser, sampai di logo aplikasi belanja online sh***e. Cuci mata, sekaligus memasukkan aneka barang belanjaan ke dalam keranjang. Mulai dari sandal Amel, sandal untuknya, aneka baju piyama, tas mahal, panci, masker brukat, dan masih banyak yang lainnya.
Siang ini Ratu tidur teramat pulas, hingga ia bermimpi naik kapal pesiar yang sangat besar dan hanya dirinya sendiri. Mimpi yang sangat indah, hingga ia tersenyum lebar dalam tidurnya.
"Bu, bangun! Udah ashar," seru Amel sambil menggoyangkan kaki ibunya.
"Eh, iya, Mel. Ibu ketiduran." Ratu duduk sambil mengucek kedua matanya.
"Ada tamu, Bu," kata Amel sambil menyeringai.
"Siapa? Papa?"
"Bukan, Bu. Namanya Bu Heru."
"Bu Heru siapa? Ibu gak kenal." Ratu menggeleng, sambil menautkan alisnya.
"Mamanya Davina, Bu. Tetangga di rumah lama," terang Amel.
"Tapi Ibu gak kenal, Nak. Awas loh, ngaku teman Ibu, tahu-tahunya mau merampok."
"Kamu itu namanya merampok, panci set dan pisau set udah diambil, cicilannya gak dibayar. Orangnya di depan itu. Cepat temui, bikin malu Mama saja!" ujar Bu Rona ketus, bahkan matanya ikut mendelik pada Ratu yang selalu saja berpura-pura tidak ingat kepada siapa saja dia berutang.
"Mama, ini ada Amel, bicaranya kok gitu. Iya sudah, saya ke depan. Amel, mandi ya."
"Iya, Bu." Amel keluar kamar, langsung menuju kamar mandi, sedangkan Ratu merapikan ikatan rambutnya di depan cermin, sebelum bertemu Bu Heru.
"Eh, ya Allah, Bu Heru ini, toh. Saya kirain siapa? Apa kabarnya, Bu?"
"Langsung saja Mama Amel, saya minta cicilan panci set dan pisau set. Totalnya tiga ratus ribu rupiah. Ibu pindah meninggalkan banyak utang soalnya."
"Maaf, Bu. Saya gak ada kalau tiga ratus, adanya lima puluh. Kalau Ibu mau, ini uangnya." Ratu memberikan uang lima puluh ribu pada Bu Heru.
"Ya Allah, tega sekali, Mama Amel ini. Saya jauh-jauh datang kemari, kena ongkos, malah cuma dikasih lima puluh. Mikir dong, Bu!" suara Bu Heru meninggi.
"Siapa yang suruh Ibu ke sini? Bukan saya. Jadi jangan salahkan saya dengan mahal ongkos. Saya beneran gak ada , Bu."
"Maaf, Bu Heru. Ini saya bayar cicilan anak saya," potong Bu Rona sambil menyodorkan uang lima pulih ribuan lima lembar."
"Nah, gitu dong, Bu. Bayarnya pas, saya jadi tenang. Mari, saya permisi." Bu Heru langsung pergi meninggalkan rumah orangtua Ratu. Bu Rona tak bersuara, ia kembali berjalan ke warung untuk melayani pembeli.
"Alhamdulillah, masalah beres. Si mamah emang baik banget, deh. Utang anaknya dibayari terus. He he he ...."
****
Ratu sudah berada di rumah mertuanya, tepatnya di rumah Bu Cici. Ia datang membawa daster cicilan yang ia berikan pada mertuanya sebagai buah tangan. Tentu saja Bu Cici menerimanya dengan penuh suka cita, walaupun ia tak tahu asal muasal pakaian yamlng diberikan menantunya.
"Mas Amran jam berapa pulang, Bu?"
"Gak tahu, kadang malam banget. Kenapa Amel gak diajak ke sini? Ibu kangen."
"Minggu depan deh, Bu, saya ajak. Tadi Amel lagi hangat badannya," kata Ratu beralasan.
"Oh, ya sudah. Kamu tunggu saja Amran di kamarnya."
Ratu tak sabar menanti suaminya pulang, sudah hampir jam sembilan suaminya belum pulang juga. Keadaan rumah mertuanya sudah sepi, sudah pada tidur semua. Tersisa Ratu yang masih melek menanti sang suami pulang.
Brrrmm
Brrrmm
Suara motor berhenti di pekarangan, Ratu berhegas keluar kamar untuk menyambut suaminya. Tak lupa parfum kesukaan suaminya sudah ia semprotkan ke tubuhnya hingga lepek.
"Assalamualaykum."
Krreek
"Wa'laykumussalam. Loh, Ratu, ngapain kamu di sini? Mana Amel?"
"Dih, inikan rumah mertua saya. Ya, gak papa dong saya kemari. Saya rindu sama anak yang punya rumah, he he he ...." Ratu menyeringai lebar, sembari mencium punggung tangan suaminya.
"Kenapa lagi, mau minta duit lagi?" Amran masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah.
"Pa, kamu berhasil dekat dengan Bu Melika ya? Udah dapat berapa, Pa? Bagi dong, Pa," rengek Ratu sambil menarik lengan baju suaminya.
"Ha ha ha ... kamu aneh sekali Ratu, suami dekat dengan wanita lain, kok malah senang."
"Gak papa kalau wanitanya Bu Melika, Pa. Orang kaya, Papa dan Ibu bisa kenyang dan kaya dalam waktu sekejap. Dimadu juga Ibu rela, asal madunya kaya."
"Astaghfirulloh, otak kamu geser ya, Bu? Ada-ada saja kalau bicara."
"Ibu serius, Pa. Nikahi saja Bu Melika, tapi pakai sarat. Bu Melika harus bayar satu Milyar pada Ibu, untuk kompensasi berbagi suami."
Pllaaak
"Keterlaluan kamu Ratu! Suami kamu jual!"
Amran keluar lagi dari rumahnya dengan wajah merah menahan marah, lalu ia naik ke atas motor, meninggalkan Ratu yang tergugu sambil memegang pipinya yang perih karena tamparan.
"Suami bodoh, dikasih enak, malah nolak!"
****
~Bersambung~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top