11. Bu Melika Penyemangat

Amran hari ini piket pukul sepuluh pagi, sebelum berangkat ke mal, ia memutuskan untuk mampir ke rumah mertuanya untuk mengantarkan uang yang diminta oleh Ratu semalam. Ia memarkirkan motornya tepat di depan warung Bu Rona, mertuanya.

"Assalamualaykum, Ma," ucap Amran sambil membuka helem.

"Eh, kamu Ran. Ayo, masuk!" ajak Bu Rona.

"Ratu dan Amel ke mana, Ma?" celingak-celinguk Amran mencari keberadaan anak dan istrinya, namun tidak terlihat.

"Lagi anter Amel sekolah."

"Mama buatkan minum ya?"

"Gak usah, Ma. Saya mau langsung, ini mau nitipin Ratu untuk beli pulsa sama buat bekal makan di rumah Mama. Sisanya buat tambahan sukuran seratus hari almarhum Papa."

"Siapa yang mau seratus hari? Nggak, kok. Alesan Ratu saja itu."

"Oh, jadi tidak ada acara sukuran, Ma?"

"Tidak, Ran. Mama tidak bikin acara sukuran apapun. Sudah cukup kemarin sampai empat puluh hari saja."

"Ya sudah, kalau gitu. Sisanya Mama simpan, siapa tahu tiba-tiba ada orang datang nagih utang. Mama bisa bayarin."

"Iya, itu. Jadi bagaimana, utang Ratu?"

"Saya cicil pakai uang gaji, Ma, tapi ya, resikonya saya gak bisa ngontrak satu rumah besar, paling kontrakan petakan."

"Iya, maaf ya, Ran. Mama juga pusing dengan kelakuan Ratu. Kamu yang sabar ya?" 

"Iya, Ma. Saya pamit ya." Amran mencium punggung tangan Bu Rona.

"Titip Ratu dan Amel ya, Ma," kata Amran lagi sebelum ia meninggalkan pekarangan rumah mertuanya.

Senyumnya mengembang, perasaannya sedikit lega saat ini. Paling tidak, biarlah sementara ia dan Ratu tinggal terpisah, sambil ia mencari tempat tinggal baru untuk mereka, serta fokus mengumpulkan uang, sedikit demi sedikit untuk mencicil utang istrinya yang jatuh tempo dua bulan lagi. Entah menutupi atau tidak, yang jelas ia akan berusaha melunasi utang istrinya.

Motor masuk ke area parkir mal, parkir khusus karyawan. "Ran, motor baru?" tanya Edo.

"Motor bokap, Do. Pan gue belum nyicil motor lagi."

"Ck, sabar dah. Ujian gue, bini genit, ujian lu, bini tukang utang. Kita berdua apa salah jodoh kali ya. Ha ha ha ...." Edo terbahak begitu pun Amran. Keduanya berjalan naik eskalator ke lantai tiga. Tempat di mana ruangan khusus petugas keamanan hotel berada.

Seperti biasa, Amran memimpin apel, dilanjutkan membagi tugas kepada satuannya sesuai dengan jadwal yang sudah dibagikan. Amran bertugas untuk keliling, sedangkan yang lainnya berjaga di titik masing-masing. 

Tuit
Tuit.

Ponsel Amran berdering, nada khusus yang ia sematkan pada kontak Melika. Jadi, saat Melika yang menelepon nada deringnya berbeda dari nada telepon biasanya.

Hallo, Bu. Assalamualaikum.

Wa'alaykumussalam. Habis magrib, temani ke acara ulangtahun keponakanku ya.

Oh, baik Bu. Siap. 

Saya tunggu di lobi parkir mobil seperti biasa ya ,Bu.

Iya betul. Kamu berjaga di mana? 

Keliling, Bu.

Oke, semangat. Semoga pekerjaan hari ini lancar.

Terimakasih, Bu. Ibu juga semangat ya.

Amran menaruh lagi ponsel ke dalam saku celananya, kemudian melanjutkan pekerjaan dengan penuh totalitas, apalagi baru saja dapat kalimat penyemangat dari Bu Melika, tentu saja bagai hujan deras mengguyur padang pasir yang tandus dan penuh duri jerat utang.

****
Ratu berjalan masuk ke dalam gang dengan wajah cemberut, karena ia baru saja bertengkar dengan Mama Danis yang memaksanya untuk membayar utang arisan, padahal sudah ia katakan tidak ada uang, tetapi tetap saja memaksa. Untunglah alasan meminta nomor rekening cukup aman, sehingga ia bisa terlepas dari nyinyiran Mama Danis.

"Tambah cantik aja Ratu," goda Bang Udin, tukang ojek pangkalan tetangganya. Ratu melirik tajam, kemudian mencebik kesal. Langkahnya semakin lebar untuk segera sampai di rumah.

"Ibu tunggu! Jalannya jangan cepat-cepat!" Amel tergopoh mengikuti langkah ibunya, ditambah menggendong tas ransel yang cukup berat, berisi buku sekolahnya.

"Cepat, Mel. Ibu pengen BAB."

"Oh, jadi Ibu pengen BAB, pantesan dari tadi bau," sahut Amel sambil memandang horor bokong ibunya. Kini Amel berlari mendahului Ratu. 

"Ayo, Bu. Cepat! Jangan sampai cepirit di celana loh!" teriak Amel dan didengar oleh para ibu-ibu tetangga yang kebetulan sedang berkumpul. Mereka terkikik geli memperhatikan Ratu.

Bugh
Bugh
Braaak

Dengan tergesa, Ratu masuk ke dalam rumah, bahkan sandal pun tak ia buka karena perutnya sangat mulas.

"Kenapa Ibumu?" tanya Bu Rona pada cucunya.

"Kebelet eek, Nek."

"Oh, udah ga tahan, kirain kenapa? ayo, Amel ganti baju sama Nenek." Bu Rona menggiring Amel untuk masuk ke dalam rumah, membantu cucunya berganti pakaian dan juga mencuci kedua tangan serta kakinya, di sumur belakang.

"Mama masak apa?' tanya Ratu begitu keluar kamar mandi dengan wajah lega.

"Masak sayur sop dan ayam goreng."

"Wah, enak dong. Ratu makan ya, Ma."

"Ya sudah makan saja." 

Ratu mengambil nasi untuknya dan juga untuk Amel. Bu Rona memperhatikan dengan seksama.

"Nyendok sayur ya kira-kira, Tu. Adikmu Rahmat jangan sampai gak kebagian," tegur Bu Rona saat melihat Ratu menyendok banyak lauk ke dalam piringnya 

"Rahmat kalau ga kebagian, ya ceplok telur, Ma," sahut Ratu cuek. Ia kini sudah duduk di kursi makan, menyantap makan siang bersama anaknya, sedangkan Bu Rona memilih kembali ke depan menjaga warungnya.

"Permisi, Bu. Numpang tanya, apa di sini rumah orangtua Ratu?"

"Iya betul. Ibu siapa ya?" 

"Saya Nunik, teman Bu Ratu saat di Gang Jawa. Ada Bu Ratunya, Bu?" 

"Ada, sedang makan. Ada perlu apa ya?" 

"Mau menagih cicilan kulkas, Bu. Dua kali lagi, tapi nunggak terus. Nunggak tiga bulan, pas giliran bayar cuma satu bulan," adu Bu Nunik.

"Untuk seterusnya, anak saya jangan diutangin lagi ya, Bu. Susah bayar gini, saya juga yang repot," ujar Bu Rona dengan menahan kesal.

"Ratu! Ada tamu!" teriak Bu Rona dari warung.

"Mari, Bu. Duduk di teras saja."

"Makasih, Bu." Bu Nunik pun berjalan menuju teras, duduk di kursi rotan, sambil menanti kemunculan Ratu dari dalam rumah.

"Siapa lagi sih?" omel Ratu tepat saling pandang dengan Bu Nunik.

"Gak bisa ngeles sekarang ya, saya minta uang cicilan kulkas tiga bulan."

"Yah, Bu. Mana saya punya duit. Lagian kulkasnya juga gak saya pakai. Udah disita orang."

"Bukan urusan saya, mau disita kek, mau dimakan kek, Pokoknya cicilan kulkas kudu lunas hari ini! Kalau tidak ...."

"Ck, saya mau bayar pakai apa, Bu? Saya gak punya duit. Kalau saya punya duit juga saya bayar. Sabar dong, kalau gak sabar ya ga jangan maksa."

"Kebangetan kamu Ratu, dikasih hati minta jantung! Sialan!"

Brraak

Bu Nunik menggebrak meja, lalu menyerang Ratu dengan brutal.

Buugh
Buugh

Aaah 
Aauu

"Eh, ya Allah,, kok malah gulat? toloong!" teriak Bu Rona, hampir seluruh warga mendatangi rumah Ratu, lalu berusaha melerainya. Bibir Ratu terluka, begitu pun juga dengan Bu Nunik yang ikut terluka.

"Sabar, Bu. Saya akan bayar utang anak saya."

"Sata gak mau tahu ya, jika kamu tidak bayar Ratu, maka kamu akan saya laporkan ke polisi. Dasar maling!" teriak Bu Nunik di depan orang banyak.

****
Amran sudah rapi dengan baju kaus berkerah serta celana panjang jeans baru yang diberikan Bu Melika. Tampak ia sangat tampan jika berpakaian seperti ini. Ia mengendarai santai mobil Melika, menuju restoran tempat keponakan Melika merayakan ulang tahun.

"Kamu tampan ternyata," puji Melika.

"Makasih, Bu. Ibu juga cantik."

"Cantik mana sama istri kamu."

"Cantik istri saya, Bu. Jika dia tak gemar berutang, karena banyak utang, jadi jelek. Sakit kepala saya kalau bertemu dengannya," keluh Amran.

"Sabar ya, Ran. Semoga masalah kamu cepat selesai." Melika mengusap pundak Amran. Entah apa yang membuat Amran berani mengambil tangan Melila, lalu mengecupnya pelan. Melika tak menolak, ia malah tersipu malu saat ini.

"Alhamdulillah sampai. Saya tunggu di mobil saja ya."

"Jangan dong, ayo ikut masuk." Melika sudah menarik turun tangan Amran. Keduanya berjalan, dengan tangan Melika yang menggandeng tangan Amran dengan mesra. Menuju keramaian pesta ulang tahun.

"Tante Melika!" pekik sang pemilik acara. Dialah Maria, keponakan dari Melika yang berusia delapan tahun.

"Hallo sayang, selamat ulangtahun ya." Melika memberikan kado yang sangat besar untuk Maria.

"Makasih, Mbak. Ini siapa?" tanya David, adik dari Melika, yang merupakan ayah dari Maria.

"Kenalkan, ini teman dekat Mbak, namanya Amran." kedua lelaki itu saling berjabat tangan diiringi senyuman.

"Eh, Mbak Melika sudah datang," sapa Vanda, istri dari David yang muncul dari belakang tubuh suaminya.

"Loh, ini bukannya Mas Amran?" tanya Vanda bingung, kenapa bisa kakak iparnya bergelayut manja pada suami temannya?

****
~Bersambung~

Cuz, baca versi lengkapnya di google play store Kakak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top