Hurt
Sudah mangkuk es krim ke dua yang aku lahap malam itu, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali memalingkan tatapannya dari koran pagi harinya ke arahku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras di luar sana, ada gadis yang masih menikmati es krim sampai mangkuk kedua, tenang saja pak tua, gumamku dalam hati, mungkin akan ada mangkuk yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Aku tak peduli.
Hap....sendok demi sendok kunikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. Kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan sedikit sesak. Memutar kembali semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalau bukan dari dirinya.
~~~
3 tahun yang lalu
Di kedai es krim yang sama.
Wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambutnya yang agak panjang, sedikit berantakan, dia tersenyum menatapku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi.
"Gimana?"tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.
"Tunggu!" jawabku sambil memutar mata seolah berfikir serius menggambarkan sesuatu yang sedang lumer di lidahku, lalu kucoba sesendok lagi. "Enaak!"seruku.
Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresiku yang menipu. Aku lantas mengenyit sambil mengusap pipiku yang di jewernya.
Ya, Dialah Mark. Mark dan aku pertama kali bertemu di laboratorium praktikum kimia dasar. Dia yang mengembalikan modul praktikumku yang tertinggal di laboratorium. Di situlah kami berkenalan, dia sebenarnya seniorku di kampus, usianya terpaut dua tahun lebih tua dari umurku.
Mark mengambil cuti selama satu tahun di awal perkuliahan oleh sebab itu ia sering meminjam buku catatanku untuk mengejar ketinggalannya. Sebagai imbalannya Mark sering mentraktirku es krim. Berawal dari sebuah catatan dan secorong es krim di kantin kampuslah pertemanan kami semakin akrab.
Mark dan aku adalah sosok manusia yang mempunyai hobi yang bisa dibilang terbalik. Mark adalah cowok dengan hobi membuat cake atau makanan manis. Sedangkan aku adalah cewek dengan hobi nonton serial kartun. Terbalik bukan?
Mr. ice cream adalah panggilanku untuknya. Cowok berbadan kurus dan tinggi ini bisa di bilang addicted dengan es krim, seperti sesuatu yang tak bisa di pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin mempunyai usaha di bidang kuliner itu, Mark mengambil Cooking Class khusus membuat pastry. Mark termasuk golongan cowok yang cool dan tak banyak bicara. Terkadang ia tidak bisa di tebak serta penuh kejutan.
Sore itu, Mark dengan sengaja menculikku dari kampus. Ia mengajakku berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial belanda. Dan aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun terlihat seperti di museum sejarah, seperti meja kasir dan pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang berpelitur, mesin kasirnya pun antik dengan tipe model tua, di sisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua. Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayannya pun tak ada yang muda, semua tua.
Mark bercerita sambil menerawang ke arah langit-langit, kalau dia sering makan es krim di sini ketika masih kecil bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya terhadap tempat ini dan kegemarannya makan es krim, alasan dirinya suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan bahwa makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati dan bad mood. Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia lakukan atau ceritakan.
"Semua orang hampir menyukai es krim bukan?" dia menatapku lagi.
Sialnya aku tertangkap mata karena menatapnya, aku memalingkan wajah dan menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi dan kujejali roti itu dengan es krim tutti fruiti-ku.
"Termasuk kamu yang rakus, makan es krim sama roti!"protesnya sambil tertawa kecil melihat kelakuanku melahap roti isi es krim.
"ini Enaaak, coba deh!"kataku sambil menyodorkan roti isi es krim kepadanya sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Mark lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum lagi tanda setuju kalau itu kombinasi yang enak.
"Yeah, enak kan, sekarang kau ketularan rakus!" aku tertawa puas. Dan Mark menjewer pipiku lagi. Kami pun kembali tertawa riang.
Mungkin para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Mark seolah pasangan kekasih romantis yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami tidak pacaran, tepatnya Mark punya pacar. Ia berpacaran dengan Angel. Mengenai Mark dan Angel aku tak tahu banyak karena ia jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku mereka menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di bangku sekolah, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran. Angel adalah gadis cantik, anggun, smart dan terlihat kalem, menurutku Angel seperti Mark versi cewek. Hanya itu yang kutahu.
"Pulang yuk, nanti ketinggalan jadwal nonton." ajak Mark kepadaku sekaligus mengingatkan.
"Iya, hampir lupa.. Ayo!" jawabku sambil beranjak dari kursi. Mengikuti punggung Mark yang sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan kedai itu.
~~~
2 Tahun yang lalu
Di kedai es krim yang sama
Mark tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu bermotif kotak-kotaknya, kali ini rambutnya terikat rapih.
"Ta daaaa, Happy Birthday!"seru Mark menyodorkan sesuatu.
Aku diam terpaku tak menyangka. Sebuah surprise!!
Malam itu di hari ke lima belas di bulan September, Mark membuatkanku kue ulang tahun dengan bentuk bintang lengkap dengan tulisan "Happy Birthday Abigail" di atas kepingan cokelat putih yang membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin dengan angka kembar 22.
"Jangan lupa berdoa dan make wish ya!"ujar Mark tersenyum simpul lagi.
Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart buatan Mark dan es krim tentunya.
"Henry belum telepon juga?"tanya Mark.
Henry? Kenapa Mark nanya Henry lagi sih? Aku hanya menggeleng. Singkat cerita, Henry adalah pacarku. Tepatnya seminggu yang lalu, jadi sekarang dia sudah menyandang gelar mantan pacar. Henry dan aku bertahan pacaran hanya lima bulan saja. Kami menjalani hubungan LDR alias Long Damn Relationship, atau pacaran jarak jauh. Akhir-akhir ini komunikasi kami mulai terasa tidak lancar. Di tambah Henry yang tidak pernah suka dengan hobiku yang menyukai kartun. Terkadang itu menjadi bahan pertengkaran kami. Pada akhirnya kami memutuskan hubungan secara baik-baik. Tak ada yang harus di pertahankan.
"Sudah, jangan sedih. Mungkin dia sibuk."hibur Mark.
Puh, tak ada telepon pun tak masalah bagiku, lalu aku hanya diam dan menikmati es krim dan kuenya lagi.
"Yang penting..."ujar Mark. Hening sejenak. Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. "Ayah dan Adik, sudah telepon!" lanjutnya sambil tersenyum.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat lalu membalas senyumannya. "Tentu saja, itu yang penting" timpalku kepadanya. Kamu juga penting, Mark.
Mark selalu peduli dan selalu mencoba menghiburku. Seorang teman yang selalu ada untukku, diberikan surprise seperti ini adalah pertama kali dalam hidupku, ada orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang teman seperti Mark yang melakukannya. Teman? Lalu bagaimana dengan Angel? Apakah dia melakukan hal yang sama kepadanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin tahu detail bagaimana Mark memperlakukan Angel? Bukankah sebelumnya aku tak pernah peduli?
"Barusan make a wish apa?" Pertanyaan Mark membangunkanku dari lamunan akibat pertanyaan-pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.
"Rahasia."Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.
"Pelit!"ujar Mark pura-pura ngambek.
"Anyway, thank a lot, you're my best friend." Aku tersenyum. Aku bahagia malam ini.
"Any time, Abigail!" balas Mark tersenyum simpul.
Malam itu di umurku yang bertambah, aku menyadari seorang duduk di hadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool, dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak.
~~~
Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air ke bumi, menandakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia.
Dua jam yang lalu, aku dan Mark duduk bersama di kedai ini, wajahnya sudah tak sepucat dan setirus dulu, rambutnya pun tak seberantakan dan sepanjang satu tahun yang lalu, Mark terlihat baik-baik saja bukan? Namun tak ada sedikit pun senyum di dalam air muka Mark, Dia bersikap dingin, sedingin es krim di mangkuk dan cuaca di luar sana.
"Kenapa tidak ada kabar?"tanya Mark. Ia menatapku serius. Nada suaranya dingin.
Aku tak sanggup memandangnya, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.
"Aku sibuk." Aku berbohong. "Maaf, aku memang keterlaluan" ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.
Setelah mendengar kata maaf itu Mark langsung menhenyakkan punggungnya ke kursi, seperti tak percaya hanya mendengar kata maaf dari seorang sahabat yang hanya pamitan lewat pesan singkat di ponsel dan setahun kemudian tak ada kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku tahu ia pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini makin menguasai, persahabatanku dengan Mark terasa bias, tepatnya hanya aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi mempertahankan kepura-puraanku di depan Mark yang selalu bersikap baik kepadaku. Karena dengan sikap Mark yang seperti itu, makhluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkasnya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar kota itu datang aku tak menyiakannya.
"Tapi kau baik-baik saja kan?"tanyanya tenang.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh menangis didepannya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas. Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. Aku tahu perasaan Mark sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun ia selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh
"Lalu bagaimana denganmu?"tanyaku terbata.
Mark tak menjawab, dia menatapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan membingungkan baginya sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun ia menyerah, dia menghenyakan kembali punggungnya ke sandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana di antara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun mencair.
~~~
Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Mark. Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas, berwarna merah, pemberian Mark dua jam yang lalu.
Entahlah sudah berapa puluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya. Sebagai teman ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang sedang tertimpa perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku. Lalu di mana aku harus menempatkan diriku sendiri?
Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat pemahamannya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Mark kepadaku, dia selalu ada untukku, melindungiku, menyayangiku sebagai sahabatnya. Akulah yang terlalu egois, tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakannya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Mark terluka.
Hujan sudah reda di luar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terima kasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak.
Aku melangkah gontai ke luar kedai, berjalan menuju stasiun hendak meninggalkan kota ini, aku bergumam dalam hati mengucap janji, minggu depan aku akan datang lagi ke kota ini, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara Mark dan Angel. Aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tindakan bodoh.
Biarlah aku menelan semua pahit dan sakitnya perasaan ini, dan waktu yang akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?
The end.......
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top