Huma
Dor!
Satu peluru sukses mengenai punggung Baskara. Sepasang mata hitamnya terbelalak. Desis dan air mata tak dapat ditahan. Perih betul rasanya.
Jangan. Kalau aku mau pulang, harus hidup-hid—
Nahas, ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
"Biyung*, Baskara bosan di rumah terus!" rengek lelaki 8 tahun.
(*panggilan ibu dalam bahasa Jawa)
"Kalau begitu, mainlah," jawab Biyung enteng.
"Bukan begitu, Biyung. Mas Kara bosan di sini-sini saja. Maunya ke luar kota, kayak Pakdhe Chandra, lho." Bethari menoleh ke kakaknya. "Benar, kan, Mas?"
Baskara mengangguk mantap. "Ke Bali, Lombok, Jakarta, atau ke mana ..."
Biyung menggeleng pelan sambil tersenyum lembut. "Kalau lama-lama jauh dari rumah, nanti kangen sama rumah kita."
Tenang, Baskara bakal main terus di luar kota, pikir Baskara, saking sibuknya, nggak sempat kangen.
[]
Kini, di umur 19 tahun, Baskara menggapai cita-cita: menjadi pelaksana PT Waskita Karya milik BUMN. Beruntung atau buntung, Baskara dipindahtugaskan ke Timor Timur, salah satu daerah konflik di tahun 1996 ini. Sebab, masyarakat Timor-Timor mendambakan kemerdekaan sebagai negara sendiri atau disebut gerakan separatisme. Karena butuh keberanian lebih, gaji di sana juga lebih. Nyali mereka teruji di tes psikologi.
Setelah orientasi kerja singkat di Dili, semua dipindahkan ke proyek masing-masing. Baskara menjadi pelaksana muda yang membangun jembatan di Kota Aileu. Mes di sana lumayan. Meski tembok dan sekat-sekat berupa triplek, tapi masih layak huni. Yang membuat Baskara heran cuma satu.
"Celurit itu punya siapa?" Baskara menuding senjata tajam yang digantung di tembok.
Pradipta, karyawan bagian logistik, menoleh ke arah jari Baskara menunjuk. "Oh ... Itu punyaku."
"Hah?" Baskara mengedipkan mata. Spontan ia menyerang temannya dengan pertanyaan bertubi-tubi. "Serius? Orang baik-baik kayak kamu? Ngapain kamu bawa?"
Kekehan mengudara dari mulut Pradipta. "Nggak sengaja terbawa. Kalau disembunyikan bikin curiga. Jadi kupajang saja."
Alasan macam apa itu? Kobis!
[]
"Kara bisa kirimkan uang? Ini penting." Suara lembut Biyung terdengar dari telepon milik wartel.
"Baru saja gajian. Akan kukirim lewat wesel," jawab Baskara, "kenapa?"
"Bethari dan Biyung mau buka warung soto!" suara lantang nan nyaring Bethari menyahut.
"Ssh, pelankan suaramu. Nggak enak sama Bu Maya. Nanti anaknya bangun. Sudah malam juga," bisik Biyung. Bu Maya adalah tetangga baik yang meminjamkan telepon rumah.
"Pasti laku keras! Soto buatan Biyung kan enak!" sahut Baskara. Semangatnya menggebu-gebu meski sudah seharian bekerja. "Oh, ya, Baskara akan pindah ke Culuhan. Mungkin nggak bisa menghubungi ..."
Ketiganya terus bercakap-cakap sampai pukul 10 lebih. Satu dua mangkuk rindu sudah habis. Memang sengaja mereka bertelepon malam-malam. Sebab, biaya warung telepon dipotong separuh harga setelah pukul 9 malam.
Baskara pulang membonceng Pradipta naik sepeda motor. Pria 24 tahun itu menelepon istrinya di wartel tadi. Senandung jangkrik dari hutan kiri-kanan menemani perjalanan. Baskara memejamkan mata, menikmati belaian angin.
Ketika membuka mata, Baskara menemukan sekelompok orang misterius berjalan berlawanan ara. Jubah panjang nan gelap membuat mereka semakin mencurigakan. Merasakan tatapan Baskara, salah satu di antaranya menoleh, membuat kontak mata. Matanya yang sebiru langit siang menatap tajam. Baskara cukup berani untuk tidak berpaling. Bodoh atau nekat, ia justru menatap orang itu sampai melewati pundak.
[]
Jika kau belum tahu bagaimana para pelaksana bekerja, ini kata kuncinya: mengawasi, memastikan semua sesuai gambar, memberi gaji. Mereka mengawasi pekerjaan para tukang, menyampaikan kepala mandor—kepala tukang—apa-apa saja yang harus dikerjakan. Setiap pekan, pelaksana-pelaksana akan membagikan gaji berdasarkan intensitas pekerjaan yang sudah selesai. Begitulah keseharian Baskara, termasuk sore ini.
"Mundur sedikit!" Dari kejauhan, Baskara berseru, memberi aba-aba pada supir truk jungkit pasir. Pandangan mata hitam Baskara menangkap gerak-gerik roda belakang. Terlalu cepat, seakan tak mau berhenti. Padahal sudah dekat adukan semen. Pekerja lain tampaknya tak memperhatikan.
"MAJU!" teriak Baskara lebih kencang. Pelaksana itu berlari mendekati bagian depan truk, kalau-kalau suaranya terhalang bunyi mesin.
Truk itu berhenti. Namun, sedikit pasir tumpah ke adukan semen yang sudah jadi.
Baskara menghadap para tukang yang mengaduk semen. "Sudah, nggak apa-apa. Aduk saja sekalian—"
"BODOH KAU!" salah satu di antaranya angkat bicara, mendekati Baskara. Wajah Pak Carlos, tukang itu, memerah. Air mukanya jauh dari kata ramah. Telunjuk mengarah tepat ke pelaksana. "Gara-gara kau, aku harus bekerja dua kali lipat! LABARIK IDANE*—!" pria itu terus-menerus mengomeli Baskara, tak lupa ditaburi beberapa jumput umpatan pedas.
(*dasar anak ini dalam bahasa Tetun )
Baskara berdecak sebal. Kesabarannya benar-benar diuji kali ini. Apa-apaan orang ini? Kobis tenan! umpatnya keras-keras dalam hati. Ia melipat tangan di depan dada. Ia mengepal tangan, menahan diri untuk tak menyahut . "Tunggu sebentar." Ia berjalan ke mes.
Ketika dia kembali, sudah ada celurit di genggaman.
Langkah kaki semakin mendekat ke orang itu. Tak ada ekspresi, semua amarah tersembunyi dalam diri. Tangan Baskara terangkat, bersiap menyambar ...
BRUK!
... Sebelum Baskara ditabrak Konsultan Pengawas. Dia memeluk pinggang, menjatuhkan Baskara. Tujuannya jelas: mencegah si Pelaksana Muda melayangkan serangan. Tatapannya tajam. "Kau ini, jangan konyol!"
Sejak saat itu, popularitas Baskara meroket. Bukan sebagai pelaksana di umur 19, melainkan sebagai pelaksana yang nyaris membunuh seorang tukang. Baskara tak tahu, apa sebaiknya ia bangga atau tidak.
Yang penting, Dik Bethari dan Biyung nggak tahu.
[]
Setelah beberapa pekan membangun jembatan di Aileu, Baskara dipindahkan ke Culuhan. Begitu juga dengan semua anggota Waskita Karya di Timor Timur. Entah kenapa, Pradipta dan Baskara masih satu tim. Bukan hanya itu yang membuat Baskara gembira.
Mereka—tim Waskita Karya di Culuhan—diundang ke pesta dansa oleh Pak Camat. Seumur hidup, Baskara belum pernah menghadiri pesta dansa. Meski Pradipta tak ikut, dia tetap bersemangat. Seperti apa pesta dansa?
"Hau nia fuan tuku tuku. Hau nia laran monu kedas. Bonita ... Bonita ... Bonita ... Ai, ai... Bonita tebes ... Bonita, bonita, bonita ... Aii nina bonita tebes ..."
Lagu "Nina Bonita" oleh Tonny Pereira mengalun. Sementara Baskara terdiam di pojok. Jika saja tak ada pemandangan mesra, Baskara pasti menikmati daging kerbau secara totalitas. Lelaki lajang itu memandang datar pasangan-pasangan yang berdansa bersama sambil berpelukan di bawah cahaya rembulan. Kobis tenan. Matias, koki di mes, mengatakan bahwa wajar 2 orang tak saling kenal berdansa bersama di pesta. Matias juga melakukannya sekarang. Baskara tak takut, tapi berdansa berpasangan? Bukan gayanya. Dia tak tahu cara berdansa. Sekarang ia mengerti kenapa Pradipta menolak undangan.
[]
Baskara pulang cepat. Sisa malam itu menjadi kedamaian bagi Baskara dan ransum kesayangan ...
"ANGKAT TANGAN!"
... Sampai seruan menginterupsi. Walau familier, Baskara tahu itu bukan Pradipta. Spontan Baskara berjalan cepat ke ruang depan. Mata melebar, nyaris tak percaya penglihatannya.
Sosok gondrong menggebuki Pradipta menggunakan kursi kayu. Beruntung Pradipta sempat melindungi dengan kedua tangan dan berlutut. Entah takut atau main aman, tak ada sepatah katapun terucap. Saat melihat Baskara di balik triplek, ia berkata tanpa suara, "Sembunyi. Mereka bawa senjata. Biarkan mereka ambil sembako." Baskara tak membalas. Raut wajahnya tak bisa dibaca.
Kursi itu dibuang sembarangan. "KAU!" Dia menunjuk Pradipta. Amarah terpancar dari sorot mata. "Kau di Jawa tidur di bawah jembatan, di sini mau menjaj—AAARGH!"
Mendadak darah mengucur dari punggung. Baru saja dikenai benda tajam, dari mana? Si Gondrong menoleh, mendapati Baskara menatap tajam dengan celurit di genggaman. Ia membuka mulut.
Dor!
Satu peluru sukses mengenai punggung Baskara. Sepasang mata hitamnya terbelalak. Desis dan air mata tak dapat ditahan. Perih betul rasanya.
Jangan. Kalau aku mau pulang, harus hidup-hid—
Nahas, ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Semua mendadak gelap gulita. Yang terakhir Baskara lihat adalah wajah puas penembak: Pak Carlos.
"Mata dibalas mata," ujar Pak Carlos, "punggung dibalas punggung."
[]
Yang pertama Baskara temukan ketika membuka kelopak mata adalah lampu temaram menggantung. Masih setengah sadar, dia memandang sekeliling. Temboknya batu bata dan perabotan berbeda, artinya ini bukan mes. Lantas di mana dirinya?
Baskara mengumpulkan nyawa sebelum melihat kembali. Pakaian biru pucat, meja dengan piring di atasnya, dan satu kursi. Bau rumah sakit, pikir Baskara.
Meski peerih masih terasa di punggung, Baskara memaksakan diri untuk duduk. Lirikannya jatuh pada piring di atas meja. Saat mendapati kubis, ia mendengus. Memang harus makan kubis, ya? Kobis tenan! meski dalam hati bicara begitu, Baskara mau tak mau menghabiskan makan malam pertama di rumah sakit.
Kalau di rumah, pasti Biyung membuatkanku makanan tanpa kubis yang lebih enak.
[]
"Akhirnya ... makanan lezat, tanpa kubis!" Senyum Baskara terukir dari telinga ke telinga sebelum ia melahap carna assada di hadapan. Manis, asam, dan pedas dari kuah menyapa lidah, bersamaan dengan tekstur daging kerbau. "Dan nongkrong!"
Perasaan iba pada Baskara hilang ketika Pradipa menyaksikan tingkah temannya itu. Pradipta tak menemukan kapok atau sakit di mata Baskara. Yang ada cuma senang. Menyesal rasanya telah termakan tatapan memelas si Keras Kepala tadi. "Kamu baru keluar rumah sakit lho. Seharusnya istirahat."
Baskara menimpali dengan senyum tanpa dosa, "makan bikin senang. Kalau senang, sakit nggak terasa."
Pradipta menepuk jidat.
Mengabaikan reaksi temannya, pandangan Baskara menangkap 3 sosok gondrong menghampiri. Satu berambut kemerahan, satu berkulit cokelat dengan bercak putih, satu bermata biru. Jangan-jangan mereka satu kelompok dengan perampok kemarin-kemarin?
"Kau orang mana?" tanya yang berambut kemerahan.
"Jogja," jawab Baskarat, masih curiga, "kenapa?"
Senyum terlukis di wajahnya. Jujur, dia tampak memesona jika tersenyum. "Oh ... pantas! Kau mirip temanku." Si Rambut Merah menyiku si Bercak Putih. "Wiwit yang pernah kuceritakan itu!"
Si Bercak Putih mengangguk. Sedangkan si Mata Biru menatap Baskara tajam. "Aku pernah lihat kau," katanya, "kau yang di atas motor menatap kami di Aileu malam itu ... kau tak beritahu siapapun, bukan?"
Baskara menggeleng.
"Memang kenapa?" tanya Pradipta, ikut curiga.
"Kami Pasukan Garuda, dalam misi penting saat itu."
Seketika mata Pradipta berbinar-binar, terbakar semangat.
Entah bagaimana, orang-orang itu bergabung. Ketiganya bercerita bagaimana bertahan di hutan berbulan-bulan, memburu para Gerakan Pengacau Keamanan. Mereka bertaruh nyawa. Senjata adalah benda keramat, sampai bisa dibilang senjatamu nyawamu. Jangan sampai tercuri. Jangan sampai lepas, bahkan saat mandi, makan dan tidur. Itulah juga alasan mereka mengenakan jubah panjang—agar tak senapan tak terlihat.
"Lucunya, aku sering terbawa suasana. Begitu mendengar sesuatu langsung ..." si Bercak Putih mendadak menoleh ke belakang saat mendengar langkah menghampiri.
Bukan rusa atau GPK yang mendekat, melainkan perempuan cilik. "Ina* ...?" panggilnya lirih saat menarik pelan ujung baju si Bercak Putih. Mulutnya melongo sesaat setelah melihat wajah sang TNI, entah takut atau kaget. Tanpa aba-aba, anak itu menangis kencang. "Ina ...!"
(*ibu dalam bahasa Tetun)
Cepat-cepat si Bercak Putih menepuk-nepuk pelan punggung anak itu. "Jangan menangis. Kubantu cari ibumu." Kemudian, mereka berdua berjalan menjauh, mencari ibunya yang hilang.
Senyum tipis terlukis di wajah si Mata Biru. Sorot matanya melunak. "Aku jadi ingat anakku," ucapnya dramatis, "sudah lama aku tak bertemu dengannya. Seandainya aku bisa pulang."
Saat itu juga, Baskara tersadar.
[]
Jembatan dapat diselesaikan dalam 10 bulan dengan 35 pekerja. Karena krisis moneter, pekerjaan harus berhenti entah sampai kapan. Berapa pekerja yang harus ditambah agar proyek tersebut selesai tepat waktu?
Jawaban: tidak bisa.
Penjelasan: Cara tersebut mustahil dalam realita.
Itu yang akan tertulis jika proyek jembatan Culuhan menjadi soal matematika. Karena krisis moneter, seluruh pekerja Waskita Karya dirumahkan di mes. Mereka tetap mendapatkan separuh gaji pokok. Namun, tetap saja, si Keras Kepala tidak puas.
"Saya mau pulang."
Sang Kepala Proyek menyelidik maksud Baskara dari mata. Ia membuang asap rokok dari mulut. Untung saja jendela di kantor ini terbuka. "Alasan?"
"Di sini saya tidak punya kegiatan. Daripada diam saja di mes, mendingan saya pulang."
"Lho?" Sang Kepala Proyek membenarkan posisi duduk. "Kan kamu sudah dapat gaji. Aturannya jelas, tidak boleh pulang sampai krismon usai."
"Kalau proyek sudah mulai, krisis moneter sudah berlalu, saya akan kerja lagi. Namun, selama menunggu, saya mau pulang ke Jogja."
Hanya ada keheningan. Entah sadar atau tidak, ringis terukir di wajah sang Kepala Proyek.
Pupil Baskara melebar kala melihat Jembatan Layang Janti dari jendela bus. Di hari yang sama ketika Kepala Proyek mengizinkan, Baskara kembali ke kotanya. Bendungan di pelupuk mata retak, kemudian runtuh. Air mata membanjiri pipi. Semua kenangan mendadak diputar ulang seperti film layar lebar di lapangan. Bukan mau Baskara menjadi sensitif. Di rumah, rasanya aman dan nyaman, terutama karena hadirnya Biyung dan Bethari.
"Aku pulang ... hidup-hidup," Baskara tertawa, "semoga tak ada yang menembakku lagi."
"Sekarang krisis moneter sudah berlalu. Pak Baskara akan ditugaskan ke Lombok," suara Kepala Proyek terdengar dari telepon rumah Bu Maya. "Nanti dikirim tiket pesawatnya."
"Tidak, Pak," jawab Baskara, "saya minta pesangon saja."
Sejenak keheningan melanda. Mungkin Kepala Proyek sedang menghisap rokok. "Kenapa?"
Baskara tak dapat menahan senyum. "Saya sekarang jualan soto. Lagipula, saya nggak mau jauh-jauh dari rumah."
Gelak tawa Kepala Proyek mengudara.
Tamat.
1996 kata (menurut Ms Word) selain kata "Tamat" dan catatan, persis katak latar waktunya ✨
Cerita ini terinspirasi dari cerita bapakku.
Iya, dulu bapakku jadi pelaksana di Timor Timur (Timor-Leste sekarang) 👀
Oh ya, Kubis, kamu ga salah apa-apa kok. Maaf aku jadiin kamu umpatan, Kub Ó╭╮Ò
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top