Hum
"Amato, aku lapar"
"Lantas?"
"Buatkan aku karipap."
"Siapa?"
"Hah? Ya buatku—"
"Kau yang siapa?"
Gumprang! Prangg!
"HO-HOI HENTIKAN!"
Dentingan alat penggorengan dengan lantai dapur bergema ke seluruh penjuru rumah sore itu. Sang empu pemilik rumah berusaha mendamaikan keadaan sebelum kondisi dapur berubah menjadi kapal pecah.
"Manusia kurang ajar!" Mechabot melayangkan tatapan tajam kearah sang remaja. Dengan enggan menurunkan sebuah wajan logam berukuran sedang sebelum Ia bertekad melemparnya tepat ke wajah tanpa dosa manusia di hadapannya.
Amato dengan santainya Ia menjawab, "Kau lah yang kurang ajar! Padahal aku hanya bercanda!"
"Tidak lucu sama sekali, Amato! Aku sungguhan lapar tahu! Cepat buatkan aku Karipap atau aku akan sekarat!" Power Sphera berteriak dramatis sebelum melesat ke hadapan wajahnya dan mencengkram kedua pundak remaja itu lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan cukup brutal.
Benar-benar kurang ajar dan tak manusiawi.
"Baiklah, baiklah! Aku akan memasak, dasar bayi besar. Yang paling waras mah ngalah."
Mechabot menyeringai puas saat melihat kekalahan tuannya. Memandangi Amato yang tengah meliriknya sinis dengan spatula di genggamannya dan celemek jingga yang melingkari pinggang rampingnya.
"Lihatlah dirimu, seperti seorang istri rumahan—"
Mechabot berhasil menahan gelak tawa yang hampir lepas sebelum wajahnya terkena lemparan piring kaca. Sang Power Sphera segera melesat menuju ruang tamu dengan kecepatan cahaya sebelum tuannya beralih melempar salah satu kursi dapur ke arah kepala bundarnya.
Ia memutuskan untuk menempatkan diri di atas sofa ruang tamu, sambil menunggu sang remaja untuk menyelesaikan masakannya menonton tak minat terhadap saluran televisi yang membosankan. Meskipun Amato tak menyuruhnya untuk menunggu, Mechabot tetap berada di tempatnya dengan bosan, setelah beberapa saat berlalu, pendengaran sang Power Sphera menangkap sesuatu.
Awalnya suara itu terdengar pelan, cukup pelan sehingga Mechabot tak mungkin mendengarnya selain dentingan berisik perlengkapan dapur dan suara televisi di depannya. Tapi kemudian Ia mencoba mendengarkannya lagi setelah suara itu sedikit mengeras, seakan menembus dinding penghalang ruangan antara dapur dan ruang tamu, sampai akhirnya Mechabot mengangkat kepalanya penasaran.
Suaranya cukup rendah dan dalam, yang anehnya terdengar lembut, juga melodis. Terdengar cukup menenangkan meski sedikit bercampur dengan rasa lelah yang muncul di penghujung hari yang melelahkan.
Tapi itu adalah suara manusiawi yang paling menenangkan yang pernah Mechabot dengar dari sang sahabatnya selama ini, bukan bermaksud melebih-lebihkan, Mechabot mungkin tidak akan pernah mengakuinya. Namun gumaman melodi yang keluar dari remaja di tengah kegiatan memasaknya membuat robot itu terhanyut akan lembutnya suara yang Ia dengar.
Amato sedang bernyanyi. Mungkin bersenandung adalah kata yang lebih tepat.
Sejak bergaul dengan teman-teman Amato, Mechabot mulai mengetahui berbagai macam jenis musik yang sering didengar oleh manusia.
Anehnya, tidak ada kata-kata ataupun lirik dalam lagu apa pun itu, hanya seutas rangkaian nada tak berurutan yang didengarnya, atau jika ada, maka Mechabot lah yang tidak pernah mendengar ataupun mengetahui lagu tersebut. Gumaman kecil dan pelan memantul melalui dinding, pintu dapur yang tak tertutup membuat suara itu bergema ke ruang tengah.
Ia memiliki suara yang cukup bagus, Mechabot menyadari, meskipun Ia tak akan pernah mengakuinya secara terang-terangan. Amato pada dasarnya memang memiliki suara yang lebih rendah dan dalam untuk remaja sepantarannya, namun siapa sangka suara anak itu bisa digunakan dengan baik untuk bernyanyi? Hah, dan siapa yang akan mempercayainya?
Bukan karena itu menakjubkan, bukan pula termasuk ke dalam jenis musik pertunjukan ataupun opera. Lagunya mungkin tidak akan membuat kebanyakan orang duduk dan menyimaknya, kecuali di saat-saat paling sunyi, sendirian di antara gelapnya ruang dan di penghujung hari yang melelahkan. Namun tidak menghentikan Mechabot untuk sekedar mendengar dalam diam. Karena yang sedang bernyanyi saat ini Ialah sang tuan sekaligus sahabat manusianya yang murah hati, dengan lembut bersenandung pada dirinya sendiri di dapur, di tengah-tengah kegiatan memasaknya.
Awal mulanya lagu itu berjalan pelan, lebih seperti jeda daripada akhir, nafas yang diambil remaja di beberapa titik tidak pernah naik lagi, menyisakan melodi acak dan nada gumaman lembut yang menyimpang di sana-sini.
Sebenarnya bukan sebuah lagu, tapi, sesuatu yang mungkin tak pernah Mechabot dengar sebelumnya. Sedikit pemikiran yang menyimpang, entahlah, Mechabot tak terlalu mendalami bidang komposisi musik atau apapun itu, Ia bahkan tak ingin memikirkan hal lain untuk saat ini.
Suara jeritan Amato yang memanggil namanya membuat Mechabot tersadar dari lamunannya. Setelah puas mendengarkan, robot itu mengambang menuju dapur dan menduduki salah satu kursi dengan sepiring karipap hangat di atas meja. Dirinya sesekali mencuri pandang ke arah Amato, yang nampaknya tidak sadar bahwa ada yang telah mendengarkannya bernyanyi.
Mungkin saja, sang remaja pasti akan malu jika Ia mengungkapkannya, entah dirinya akan mempersalahkannya atau tidak, Mechabot sendiri tak terlalu yakin.
Namun biarkan saja, biarlah Ia sendiri yang menyimpan lagu itu untuk dirinya seorang diri.
Rasanya baik-baik saja saat Ia mendengarkannya, tapi bagaimana jika Amato ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri? Sama seperti Mechabot yang berusaha menyimpan rasa akan kasih sayang dan rasa takut kehilangan terhadap sang partner di dalam dirinya?
Sulit rasanya, mengingat keduanya menanamkan ego dan harga diri yang cukup besar.
Mechabot mestinya tak ingin membicarakan hal itu (belum, lebih tepatnya, sebelum Amato berbicara duluan). Dan mungkin pula Amato tak ingin membicarakan lagunya dengan cara yang sama.
Tetap saja, Mechabot telah mendengarnya. Malam itu, dia memainkannya dalam memorinya, bahkan saat robot itu terlelap sekalipun saat mengisi daya.
Sebuah gumaman melodi yang manis, dengan tidak adanya lirik, tidak ada pula yang terlalu istimewa, namun terlebih lagi karena lagu itu. Seutas nada yang tercipta dari seorang manusia biasa yang berhasil mencairkan ego sang robot pemusnah sejagat raya.
˚꒷︶꒷꒥꒷
Wanita itu terus mengelus surai hitam balita di pangkuannya, tak peduli dengan pipinya yang menjadi pegal karena terlalu lama menyunggingkan senyuman, tanpa sadar menyandungkan sebuah gumaman samar dari mulutnya. Tatapannya berkali-kali mencuri pandang ke bawahnya, di mana terdapat sosok balita tengah asyik memandang hamparan langit biru melalui jendela yang terbuka lebar. Membiarkan angin sepoi-sepoi masuk dan menyapu seluruh penjuru kamar balita tersebut.
Gumaman itu berhasil membuat atensi sang balita mengarah kepada nya. Kepala gagak dengan beberapa helaian putih yang Ia elus itu mendongak, membuat mata coklat besar itu menatap sang wanita di atasnya dengan binar penasaran sekaligus kekaguman.
"Ummi.. Ummi nyanyi!" Jerit nya kegirangan. Ekspresi terkejut yang bercampur kekaguman dan kegembiraan di wajah mungilnya yang terlampau imut itu membuat sang wanita hampir tak dapat menahan jeritannya dalam hati.
Wanita yang dipanggil 'Ummi' itu menahan diri untuk tergelak manis, "Amato suka mendengar Ummi nyanyi, hm? Mau dengar lagi?" jemari lentik itu mencubit pelan pipi gembul sang anak, menghasilkan lantunan tawa kecil yang menggemaskan, lagi-lagi berhasil membuat dirinya memekik gemas.
'YA ALLAH, ANAKKU GEMES BANGET!!'
"Amato mau Ummi nyanyi lagi buat 'Mato!" Jemari-jemari mungil itu mengeratkan pegangannya pada kerudung jingganya, menarik-narik kain berbahan satun itu dengan goyangan pelan, meskipun tak menghentikannya untuk membuat kerudung wanita tersebut kusut. Sedangkan balita di hadapannya semakin mencondongkan tubuhnya ke atas dan wajah bulatnya sekaligus, dengan mata bulat serta senyuman lebar menggemaskannya itu Ia terus memohon, berharap sang Ummi tercinta akan mengabulkan permintaannya.
"Ummi~ nyanyilah lagii! 'Mato mau dengar~" pinta sang balita yang kini mengganti ekspresinya dengan wajah memelas.
Kelakuan menggemaskan sang anak sukses membuat Ummi tergelak, tak kuasa menahan jeritan yang Ia pendam sedari tadi, Ia tak dapat lagi menahan diri untuk menghunjankan kecupan kasih sayang secara bertubi-tubi ke seluruh wajah anaknya.
"Gemes banget sihh anak Ummi~"
"Ummi!!! Mato maunya Ummi nyanyii! Bukan malah nyium Matoo! Hmph!"
Balita yang belum genap berusia 3 tahun itu mengembungkan pipi gembulnya, memalingkan wajahnya dengan ekspresi merajuk. Alih-alih terlihat seperti balita yang sedang marah, malah membuatnya semakin menggemaskan di mata Ummi. Sekali lagi Ummi tergelak lepas. Dipeluknya tubuh balita itu ke dekapannya.
"Iya iya.. Ummi minta maaf ya." ujarnya dengan nada lembut, diangkatnya dagu sang anak sehingga kedua pasang mata coklat keemasan itu saling bertubrukan.
"Anak Ummi dan Aba yang paling tampan, tolong jangan marah ya~" kini giliran sang Ummi yang memohon, membuat balita itu mau tak mau mengalihkan atensinya kembali. Sekali lagi di elusnya lembut surai hitam anaknya dengan sayang. "Nah, sekarang.. Ummi akan nyanyi untuk Amato, dengarkan baik-baik, ya sayang?"
Balita itu mengangguk dengan penuh semangat, membuat surai gagak itu bergoyang kesana kemari mengikuti gerakan kepalanya. Kemudian mengambil posisi duduk yang menurutnya lebih nyaman di pangkuan Ummi-nya, tubuhnya agak menyamping dengan mengarahkan atensi penuhnya kepada sang Ummi. Tak lama kemudian, gumaman manis itu kembali terdengar di telinganya, membuatnya beberapa kali terus-terusan mengeluarkan decakan kagum dan bahagia.
Ia memang tak sepenuhnya mengetahui dan memahami nada yang Ia tangkap dalam pendengarannya, meski begitu, Amato kecil saat itu hanya ingin mendengarkan suara Ummi nya yang melantunkan lagu untuk dirinya.
Ditariknya kepala Balita itu dengan lembut ke dekapannya lebih dekat, membiarkan Amato menyender di depan dadanya. Pemandangan sang anak yang tertidur dalam pelukannya kian menghangatkan hatinya, tak henti-hentinya Ia memasang senyuman lebar di wajahnya. Sembari terus mengelus surai sutra sang anak dengan penuh kasih sayang, Ia lantunkan melodi itu untuk putra semata wayangnya.
˚꒷︶꒷꒥꒷
A/N;
Hai, penulis di sini, sebelumnya ucapan terima kasih penulis berikan kepada kalian yang sudah terlanjur membuka book tidak jelas ini, terima kasih juga bagi yang telah membaca sampai akhir.
Untuk segala vote, komen, semua penulis terima. Bila ada kesalahan mohon di maafkan. Dengan mempublisasikan book gaje ini, semoga harapan penulis bisa leluasa untuk mengembangkan ide dan gaya penulisan yang lebih baik dan lebih memuaskan lagi.
Terimakasih. Sampai jumpa lagi di book lainnya.
Total words; 1495 (edited)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top