Bagian Tujuh

"Ma ... ini paket pesanan Mama?"

Herma hampir melompat dari tempatnya saat Hula bertanya sedikit berteriak. Menghampiri Hula yang kini memberikan tampang kebingungan dengan sebuah kotak di pangkuan, Herma berbisik, "Iya, Mama titip di kamar kamu dulu, ya. Nanti Mama ambil kalo papa udah berangkat ketemu sama rekan kerjanya."

Bukannya menurut, Hula tersenyum curiga. "Papa nggak tau, yaaa?"

"Jangan keras-keras!" Herma membekap mulut Hula sejenak.

Hula memeluk kotaknya lalu berlagak seperti sedang berpikir. "Kayaknya ... makan steak sore-sore gini enak, ya, Ma."

Herma menggeleng dramatis. Putrinya pandai sekali memeras uang dari orang tak berdaya. Namun, alih-alih memarahi Hula, Herma menyuruh Hula menyimpan paketnya lalu memesan steak lewat aplikasi pesan makanan online.

Hula mengucap terima kasih lalu bersorak dalam hati.

Herma hanya tak ingin Hilmi mengetahui dia belanja tas branded-lagi tanpa persetujuannya. Maka menyuap Hula dengan steak yang diinginkannya tidaklah seberapa.

Akan tetapi, Herma tak tau. Sifatnya menurun pada Hula. Paket pesanan Hula mungkin sebentar lagi tiba. Sebuah tas dengan brand yang sama, tapi harga yang berbeda. Tentu saja, Hula lebih pintar memilih dan menyembunyikan dengan mengirim paket pada alamat rumah Aileen. Herma juga tak tau, putrinya menyuap Aileen agar dia tak bicara.

Ya, layaknya buah yang terjatuh tak jauh dari pohonnya.

***

"Hukama ..."

Hula terlonjak dari duduknya.

"... ayo bobo."

Melirik Herma nan menggendong Hukama dengan kedatangan yang terlalu tiba-tiba, Hula menggeleng pelan lalu kembali menekuni buku tugas, bolpoin, dan gawai yang digenggam tangan kirinya.

"Hukama ..."

Sedang Herma masih setia dengan lagu pengantar tidur untuk Hukama yang menatap dengan gumaman tak jelasnya.

"... ayo bobo."

Menepuk pantat Hukama pelan dan teratur, Herma lalu-lalang di kamar Hula. Menelusuri tiap sudut ruangan yang semakin lama, membuat Hula menggerutu pelan karena merasa terganggu dengan keberadaan mereka.

"Ma ... nyanyinya pelan-pelaan. Hula lagi belajar," lirih Hula menghentikan kegiatan menulisnya sejenak.

"Hukama ... ayok bobo." Herma setengah berbisik. Menghampiri Hula di meja belajar, Herma berujar, "La ... kamu jangan keseringan makan di rumah Prana."

"Nggak sering, Maaa." Hula menyangkal tanpa mengalihkan perhatian.

"Bukan apa-apa," ucap Herma. "Mamanya Prana kerja banting tulang. Kalo uangnya keseringan dipake buat beli makan kamu, kasian juga, 'kan?"

Hula merasa sedikit tersinggung. Meski menganggap mama Prana sebagai mamanya juga, Hula tak seberani itu untuk meminta-minta selain ditawari sebelumnya oleh Wirda.

Dan lagi, Hula selalu memakai uangnya jika dia makan hanya berdua dengan Prana di rumahnya. "Hula nggak pernah makan tanpa ditawarin, kok, Ma. Hula juga seringnya pake uang sendiri kalo beli makanan buat dimakan di rumah Prana. Kalo nggak percaya, tanya aja sama Prana."

Herma tersenyum sekilas. Dia hanya khawatir dengan sikap manja Hula yang terkadang sekenanya. "Mama percaya, sayang."

Hula menghindar saat Herma mengelus rambutnya penuh kasih. "Geli, Ma ...."

"Kamu ini ... disayang Mamanya, kok, malah geli."

Hula bangkit. Memapah Herma pelan mengantarkannya pada pintu kamar, Hula berujar, "Mama boboin Hukama aja, sana. Kasian, tuh, Hukama udah lima watt. Dibaringin ke kasur langsung bobo, pasti. Hula mau lanjut belajar, terus bobo juga. Selamat malam, Ma. Babai."

Hula meraup oksigen dibalik pintu yang sudah ia tutup. Menghampiri segudang tugas yang hampir selesai, dia bermonolog, "Gue, 'kan, punya mama Herma sama papa Hilmi. Ngapain minta-minta ke mama Wirda?"

Hula melanjutkan aktivitas yang sempat terhenti. Menyelesaikan tugas demi tugas melalui gawai yang menampilkan roomchat dengan seseorang. Menutup semua buku dan memindahkannya pada ransel yang akan dipakai besok, Hula menghampiri kasur king size dan membaringkan diri di sana.

Namun, matanya tak lantas terpejam saat telinganya menangkap suara notifikasi yang masuk pada gawainya. Meraih gawai yang sebelumnya ia simpan di nakas, mata Hula membola saat ditangkapnya dua buah pesan dari nomor tanpa nama.

+6281639165xxx
Hai, Hula. Gue Byal.
Besok mau gue jemput, nggak? Kalo mau, balas chat gue, ya.

"Anjir!" umpatnya. Kok, si Byal, bisa tau nomor gue? tanyanya dalam hati.

Satu menit berlalu, Hula terpikirkan satu nama. Bukannya membuka dan membalas pesan Byal, Hula mengetik nama 'Parna' pada papan pencarian di aplikasi chatting-nya.

Parna

lo kasih nomor gue ke si Byal 20.15
heh 20.17

Itu pertanyaan ato pernyataan? 20.17

LO KASIH NOMOR GUE KE SI BYAL?! 20.17

G. 20.17
Emosian jadi org 20.17

kenapa Byal bisa chat gue? 20.17

Karna dia pnya nmr lo 19.18

bego 20.18
maksud gue 20.18
dari mana dia tau nomor gue? 20.18

Lo nanya gue? Gue mna tau 20.18

bodo ah 20.19

besok jemput gue 20.19
jangan telat 20.19

Y. 19.19

Menekan lama pesan dari Byal, Hula menghapus pesannya tanpa ia baca terlebih dahulu. Menyimpan gawai di nakas setelah menyetel alarm untuk besok, Hula menarik selimut sampai dada. Tak sampai lima menit, dia sudah menemukan lelapnya.

Sedang Byal, dia masih menatap cemas gawainya. Memperhatikan status online yang hilang-muncul di bawah nama Hula. Sampai tanda online-nya tak muncul lagi hingga pukul sepuluh malam, Byal memutuskan mengistirahatkan jiwa, raga, dan hati yang terlanjur berharap.

***

Hula tidak tahu, apa yang membuat raut wajah sang mama menjadi secerah pagi ini. Terlebih, Hukama yang diajak main pun merespons sama riangnya. Tapi, selama menjadi anaknya, Hula cukup yakin, mamanya baru atau akan mendapat asupan uang dari papanya.

"Hukama jagoan mama satu-satunya ... kok ganteng banget, sih?" Dalam keadaan duduk setengah jongkok pada karpet wol hangat dekat meja makan, Herma mencubit gemas kedua pipi Hukama yang kini menepuk-nepuk chicco pocket snack booster seat yang didudukinya.

"Jagoannya Mama, makannya yang banyak, ya. Biar cepet gede," rayu Herma menyuapi Hukama.

Hula melambatkan kunyahan sarapannya seraya bergumam, "Lebay."

Akan tetapi, telinga Herma menangkap gumaman sarat kecemburuan putrinya. "Kenapa, Princess-nya Mamaaa?" Herma mendekati Hula.

Hula memasang wajah waspada. Pupil matanya mengecil seiring tangan Herma yang bergerak mengambil sendok bersih pada tempatnya di atas meja makan. "Mau disuapi sambil dinyanyiin kayak Hukama juga?"

Menjauhkan sarapannya dari jangkauan Herma, Hula bergidik ngeri dan menyuruh Herma kembali menyuapi Hukama. Sementara Herma tertawa kecil, Hula memasukan suaoan terakhirnya. "Papa pulangnya kapan, Ma?"

"Nanti sore, katanya."

Hula ber-oh ria. Disalaminya tangan wanita paruh baya di sana, Hula mengucap salam saat Prana meneriakinya di luar rumah.

Mereka berangkat sekolah bersama, sepeti biasa. Namun, pemandangan pagi ini cukup tak biasa. Tepat di tikungan di belakang keduanya, terdapat seorang cowok yang memandang sendu ke arah mereka. Tengah menduduki Kawasaki Ninja yang belum jua ia nyalakan mesinnya.

Dia sengaja, memutari perumahan agar bisa melewati rumah Hula. Naas, Byal justru mendapati pemandangan yang sedikit menyesakkan hatinya. Lagi dan lagi, Byal kalah start dari Prana.

***

Tasikmalaya, 7 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top