Bagian Tiga Belas

"Mogok lagi, ya?" Hula turun dari Mio merah kesayangan sahabatnya. Memperhatikan Prana yang tengah menghela napas berat seraya memutar atensi. "Ada bengkel, nggak, ya?"

Hula mengikuti arah pandang Prana. Lalu berhenti pada sebuah bengkel yang berada di seberang jalan sejauh 150 m. "Tuh," tunjuknya.

Prana bersorak kecil lalu mendorong sepeda motornya. Menyadari Hula masih diam di tempatnya, Prana menengok ke belakang lalu berseru, "Bantu dorong, heh. Berat ini ...."

"Masa gue ikut dorong?!" Hula memutar kepala sejenak. Posisi mereka yang belum jauh dari sekolah membuat keduanya menjadi pusat perhatian siswa-siswi yang kebetulan melewat. Hula mengiringi langkah Prana yang masih setia menggiring kuda besinya dari samping.

"Entah berapa kali gue bilang, motor lo ini udah butut. Di rumah lo, 'kan, ada Aerok yang selalu nganggur. Kenapa nggak lo pake?"

Air muka Prana berubah seketika. Namun, Hula tak menyadarinya. "Gue nggak bisa pake. Karena itu motor dibe-"

Tin! Tin!

Keduanya menengok ke belakang. Hula sedikit tersentak kala netra menangkap sosok Byal di sana. Dia sedikit gerogi saat mengingat chatting panjang semalam bersama cowok yang kini mematikan mesin, lalu turun menghampiri mereka setelah melepas helm yang melekat. "Motor lo kenapa?" tanyanya pada Prana.

"Biasa, ngadat," jawabnya tak acuh.

Byal membentuk mulut menjadi huruf O. "Gue bisa bantu?"

"Tinggal dorong sampe bengkel di depan, sih," ujar Prana seraya mengedikkan dagu pada sebuah bengkel yang tertangkap oleh mata. Menimang sesuatu, Prana melirik Hula sekilas lalu berkata, "Lo mending angkut si Hula aja, deh."

Yang disebut namanya melotot kaget lalu memukul bahu kanan Prana sekilas. "Nggak, ah. Gue bareng lo aja."

Byal terkekeh kecil. "Hula-nya nggak mau, tuh, Na."

"Ck. Sana balik. Nungguin motor gue dieprbaiki mah lama. Mending pulang, syukur-syukur bisa bantu nyokap lo jagain Hukama daripada bosen nunggu di bengkel. Lagian, sesekali repotin si Byal juga, sana."

Byal tertawa renyah. Mengiakan, dia membujuk Hula agar mau diangkut olehnya. "Ayok, La. Motor gue kangen sama lo, katanya."

Setelah melalui perdebatan kecil, Hula si keras kepala akhirnya menyerah. Menaiki sepeda motor Byal, Hula menyela saat cowok itu hendak memindahkan ranselnya ke depan dada.

"R-ranselnya jangan dipindah!"

Mengerti sesuatu, Byal terkekeh kecil. Sedang Prana terbahak di tempatnya.

"Jagain Hukama, yaa, Kak." Prana mengejek di detik-detik kepergian Hula.

"Bacot," tutup Hula seraya merotasikan bola matanya.

"Mampir ke rumah gue dulu, yuk!"

"H-hah?" Hula memekik sambil menyentuh bahu Byal refleks saat mereka tak berbelok di tikungan pertama di perumahan. "Ngapain?"

"Main doang bentaran. Nyokap gue pasti kangen sama lo."

Hula gugup di tempat. Membayangkan dirinya yang berada di tengah-tengah keluarga Byal, Hula bergidik ngeri. Belum selesai dengan pikirannya, mereka sudah sampai di depan rumah blok A15. Rumah yang cukup besar dengan pagar besi yang menjulang.

"D-di rumah lo ada siapa aja? Gue malu, mau pulang aja."

Byal melepas helm saat sepeda motornya sudah terparkir cantik di tempatnya. "Cuma nyokap sama adik-adik gue."

A-adik-adik? Hula membeo dalam hati.

"Nggak papaaa. Yuk!"

Demi apa pun, Hula merasa tersengat aliran listrik saat tangan besar Byal menyusup di antara jemari Hula tanpa ada peringatan sebelumnya. Namun, alih-alih memukul Byal seperti yang selalu ia lakukan pada orang yang berani menyentuhnya, Hula menegang. Membuat Byal membalikan badan saat merasa Hula tak bergerak di tempatnya.

"Kenapa?" Byal mengulum senyuman saat melihat rona merah muncul di pipi Hula. Bahkan sepertinya, Hula kehilangan kata-kata saat mulut itu terbuka dan kembali tertutup tanpa mengeluarkan suara.

"Ayok, gue tuntun biar lo nggak malu." Akhirnya, Byal sedikit menarik tangan dingin Hula agar mengikuti langkahnya. Kembali membalikan badan dan menyunggingkan senyum lebar yang sedari tadi ia tahan.

Hula berjalan kaku. Napasnya pendek-pendek seiring debaran yang kian bertalu.

Byal goblok. Jantung gue deg-degan kenceng banget.

"Assalamualaikum!"

Baru lima langkah dari ambang pintu, seorang bocah perempuan berlari ke arah mereka seraya berseru, "Abaaang!"

Tautan jemari mereka terlepas. Hula meraup oksigen dalam-dalam seraya melirik jemari kanan yang sudah tak perawan. Menormalkan debaran tak tenang di dalam sana, Hula membuang napas secara perlahan.

Byal berjongkok menyambut bocah itu dengan tangan terlentang. "Ajeeel!"

Sederhana saja, Hula melihat adegan berpelukan dengan gerakan slow motion seperti di film-film. Diikuti teriakan nyaring yang saling bersahutan.

"Ajel kangen sama Abang."

Byal merengkuh tubuh bocah yang memeluk lehernya erat. Menggoyang-goyangkan badan mungil dengan rambut sependek telinga, dengan gemas Byal berujar, "Abang juga kangen sama Ajel."

"Eh, tunggu. Abang bawa kakak cantik. Namanya kak Hula. Salim dulu, sini," perintahnya. "La, ini Azel, adik perempuan gue."

Tangan mungil itu meraih jemari Hula yang menggantung di udara. Tersenyum kikuk, Hula menyapa bocah dengan binar mata bahagia di hadapannya. "Hi, Azel."

Hula tak akan berpura-pura bersikap manis dan sebagainya untuk menarik perhatian adiknya Byal. Karena sejujurnya, dia tak menyukai anak kecil, apalagi yang banyak maunya.

Lama sekali Azel memperhatikan Hula, bocah menggemaskan itu berkata, "Kak Hula cantik. Rambutnya juga pendek, kayak Ajel."

"Azel juga cantik," puji Hula setelah menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

"Eh, eh ... siapa ini yang datang?" Wanita paruh baya menghampiri mereka dengan raut wajah cerah. Untuk sejenak, Hula terkesan pada penampilan elegan seorang wanita yang Hula tebak, ibu dari Byal. Dia jadi membandingkan Herma yang sering dasteran dan wanita rambut sebahu tergerai yang sepertinya ... selalu menjaga penampilan.

"Hula, Bunda."

Sedetik saja, orang yang dipanggil Bunda langsung meraih bahu Hula. Memperhatikannya dari atas rambut sampai bawah kaki, Tiara memuji, "Ya ampun, ini Hula temen kamu pas kecil? Cantik banget."

Hula tersenyum canggung. Tak tahu harus bersikap bagaimana selain menyalami dan balik memuji Tiara. "Tante juga masih cantik, seperti dulu."

"Eh ... Bunda. Panggil Bunda aja." Tiara menggiring Hula masuk ke rumah lebih dalam.

Hula melirik Byal sejenak. Cowok itu bermain dengan Azel seraya berjongkok. Membuat seorang bocah terbahak dengan alasan yang tidak Hula ketahui.

"Mama kamu sehat? Duh, Bunda belum sempet nemuin Herma. Kapan-kapan Bunda main ke rumah kamu, ya."

"I-iya, B-bun. Mama sehat, alhamdulilah."

"Byal, sini, dong! Ajak Azel, dia lagi makan!"

Byal berlari kecil, disusul oleh Azel yang mengejar dengan tangan terlentang. Meneriaki nama Byal dengan gelak tawa yang bergaung merdu di antero rumah.

Sepertinya, Byal sangat menyayangi adiknya.

"Kamu tau, nggak ...," lontar Tiara mengambil atensi Hula. "Byal sering ngomongin kamu, loh."

***

Tasikmalaya, 13 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top