Bagian Sembilan

"Gimana sekolah kamu?"

Cewek dengan rambut dicepol seadanya tengah menuang sambal oncom pada serabi saat sang papa bertanya demikian. "Baik, Pa," jawabnya.

Pria paruh baya itu ikut menjatuhkan bokong pada kursi di seberang Hula, lalu mencomot serabi yang terhidang di meja makan.

"Hula dapet nilai 98 pas ulangan harian biologi, kemarin. Papa mau liat?" Hula mencoba menjalankan aksinya.

Hilmi mengangguk seraya menuangkan air putih pada gelas kosong. Tak sampai lima menit, Hula kembali dengan selembar kertas ulangan yang menunjukkan nilai 98. Nilai yang nyaris sempurna

Pria itu tersenyum sekilas, dia memuji, "Bagus. Kamu mau apa? Beli sendiri aja, ya." Beberapa lembar uang kertas berwarna merah disodorkan pada cewek yang kini tersenyum dengan binar bahagia.

Hula menerimanya. Namun, suasana berubah mencekam saat Hilmi memperingati, "Belajar dengan sungguh-sungguh. Lakukan yang terbaik. Papa mau, kamu dan Hukama lanjutin usaha Papa di masa depan."

Hula mengangguk, Hilmi lanjut memberi petuah. "Jangan deket-deket sama cowok. Pacaran cuma bisa bikin konsentrasi belajar kamu terganggu. Jangan kebanyakan main. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk belajar. Paham?"

Lagi, Hula mengangguk. Dia menduga, Papanya bisa bicara demikian karena sempat melihat keberadaan Byal di rumahnya, kemarin. Matahari baru akan menjalankan tugasnya, Hula sudah mendapat wejangan dari sang papa. Akan tetapi, mengingat sejumlah uang yang kini digenggamnya, senyum tipis kembali terbit di sana.

Hula tak peduli dengan yang lain. Yang terpenting, dia mendapatkan nilai nyaris sempurna, lalu sang papa akan memberinya hadiah-seperti saat ini.

***

"Udah dulu, ah. Gue capek."

Cewek ber-hoodie mocca itu menduduki sebuah kursi panjang di taman sembari menyelonjorkan kakinya.

Sedang satu cewek yang lain memilih duduk di atas rumput dan menikmati sepoi angin dengan terik matahari yang terhalang oleh pohon rindang yang kini disandarinya.

"Lebay, ah. Baru lima kali puteran udah nyerah aja. Payah," ledek seorang cowok yang menimpa tangan pada kaki yang menekuk di atas rumput tiga langkah dari tempat Aileen duduk. Tatapannya mengarah pada Hula yang kini mengipasi wajah dengan tangan kanannya.

"Gue sama Ileen, 'kan, cewek. Jangan sama-samain kita sama lo, lah."

Pada akhirnya, ketiga orang di sana sama-sama melepas penat dan menikmati suasana pagi di taman yang cukup lengang. Sebab taman berada di perumahan, yang berkunjung pun sebagian besar hanya orang-orang yang tinggal di sana.

Karena masih pukul delapan pagi, keadaannya belum terlalu ramai oleh bocah yang sekadar bermain dengan orangtuanya di hari weekend. Hula mensyukurinya karena keberadaan anak kecil dalam jumlah yang banyak hanya akan merusak mood baiknya.

"Kalian di sini?"

Seketika, atensi mereka berpusat pada seorang cowok dengan kaus oblong mocca dan celana chino short yang berdiri menjulang menghadap mereka. Hening beberapa detik sebelum Prana menyapa, "Woi, Byal!" Prana memutar pandang, lalu menyadari sesuatu saat netranya menangkap sebuah rumah dengan nomor A15. "Kami abis joging. Lo mau ke mana?"

Tak ada anak kecil, Byal pun jadi. Hula merutuki letak taman yang tak jauh dari kompleks A di perumahan ini.

"Nggak ke mana-mana. Tadi keluar rumah, liat kalian ada di sini, ya udah gue samperin."

Prana ber-oh pelan. Byal hendak duduk di kursi yang sama dengan Hula saat Hula berkata, "Na, beli minum, gih. Gue haus."

Prana sudah akan berdiri saat Byal menginterupsi, "Biar gue aja yang beli."

Sejauh ini, Aileen hanya menjadi seorang penyimak. Bahkan saat Byal kembali dengan tiga botol air mineral, Hula masih menjadi pusat perhatian kedua cowok di sana. Sepanjang obrolan, tatapan mereka hanya tertuju pada Hula. Aileen ragu, keberadaannya masih disadari oleh mereka.

"Halo, Ma." Ketiga orang di sana mendadak diam saat Hula mengeluarkan sebuah gawai yang berdering.

"Hula lagi di taman perumahan, abis joging."

Aileen meneguk air mineralnya. Hula dan Byal mendengarkan percakapan Hula dan Herma di telepon secara diam-diam.

"Loh, kenapa? Hula pengin mandi dulu, Ma. Gerah. Masa langsung on the way ke sana?"

Ketiga orang di sana menatap Hula penasaran. Semakin tak tenang saat Hula menunjukan raut tak enak, tapi kecemasan tak luput dari sana.

"Iya, Hula ke sana sekarang."

Sambungan telepon terputus. Tak menunggu lebih lama, Prana bertanya, "Kenapa?"

"Hukama sakit lagi. Papa cuma bisa nganter ke dokter karena ada urusan. Mama suruh gue temenin mereka di sana. Lo bisa anter gue, 'kan, sekarang?" Hula bangkit, tiga yang lain refleks mengikuti.

"Motor gue lagi di bengkel, La," sesal Prana.

"Di rumah lo ada satu motor lain yang nganggur, bukan? Kenapa nggak pake yang itu aja?"

Prana menggeleng, lalu nenolak, "Nggak bisa. Motor itu nggak bisa gue pake."

Hula melengos, dia kembali duduk saat Byal berkata, "Gue aja yang anter."

Hula memandang Byal. Dikeluarkannya gawai pada saku, dia berujar, "Gue pesen ojol aja."

"Kelamaan kalo pesen ojol. Dianter Byal aja, mungkin Byal bisa bantu lo nanti kalo semisal ada apa-apa." Aileen mengangkat suara. Teman-temannya melirik dia sekilas sebelum kembali fokus pada sang tokoh utama.

Hula ingin menolak. Namun, perkataan Aileen ada benarnya. Karena itu, dia memutuskan, "Ya, udah. Cepet bawa motor lo."

Selanjutnya, Byal berlari ke rumah dan kembali dengan Kawasaki-nya.

"Semoga semuanya baik-baik aja. Hati-hati, yaa."

Untuk pertama kali, Hula diboncengi oleh pria selain Hilmi, Prana, dan supir ojol. Hula berdeham untuk menyingkirkan kegugupan yang tiba-tiba hinggap. Berhasil menaiki kuda besi milik Byal, karena tak ada ransel dan sejenisnya untuk dipeluk, tangan Hula refleks menyilang di atas bahu.

Byal memberi tatapan aneh. Hula nyaris menendang Prana saat cowok itu berujar, "Nggak usah heran. Kalo dibonceng pas naik motor, tangan Hula harus nyilang ke bahu gitu. Biasa, nurut sama petuah. Hula anak papa, soalnya."

Hula menurunkan kedua tangan. Mencoba menghilangkan sematan Prana soal 'anak papa'.

"Gue rasa, sih, alasannya biar ... kalo yang supirin tiba-tiba rem mendadak-"

"Parna anjing!"

Prana, Byal, dan Aileen terbahak. Hula hendak turun dan benar-benar menendang Prana yang kini bersembunyi di belakang punggung Aileen sambil mengucap kata ampun.

Byal menyudahi dengan menyalakan mesin motor. Meninggalkan Prana dan Aileen lalu membelah jalan yang mulai ramai diisi oleh berbagai macam kendaraan.

Di tengah suara mesin kendaraan yang saling bersihutan, Hula kembali menyilangkan kedua tangan di atas bahu. Sial. Petuah sang papa rupanya terlalu takut untuk tak dilakukan.

Byal tersenyum kecil dibalik helm full face yang melekat di kepalanya. Menatap Hula yang menyembunyikan semburat merah di pipi dengan tatapan yang tertuju ke beberapa titik tak beraturan.

Byal merasa, Hula sangat menggemaskan.

Sementara di tempat lain, Prana dan Aileen berjalan beriringan. Menjauhi perumahan mendekati perkampungan. Aileen memainkan botol air mineral di genggaman. "Lo nggak usah anterin gue, padahal. Rumah kita, 'kan, berlainan arah."

Prana menghirup udara pagi yang masih segar. Dengan tatapan yang masih lurus ke depan, dia memasukan kedua tangan pada saku jogger-nya. "Nggak papa, gue belum pengin pulang," katanya.

Pikiran Prana mengembara pada keberadaan papa, mama, dan adiknya di rumah. Berada di tengah-tengah mereka hanya akan membuatnya tak nyaman. Lagipula, papanya tak akan sudi melihat wajah Prana. Selain itu, Prana tak mau kedua orangtuanya kembali berselisih karena keberadaannya.

Karena itu, menghabiskan waktu dengan sahabatnya di luar rumah menjadi pilihan terbaik untuknya. Prana menghentikan langkah, lalu menatap Aileen dan bertanya, "Lo belum sarapan, 'kan? Bubur ayam mang Iwa kayaknya udah nangkring di depan."

***

Tasikmalaya, 9 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top