Bagian Satu
"Hulalang!"
Prang!
Cewek berambut sebahu membalik badan jengkel. Memasang wajah datar dengan kilat mata menghunus seorang cowok yang sedang cengengesan. Alis yang menukik tajam menandakan betapa kesal dirinya saat ini.
"Maap, maap. Gue nggak maksud ngagetin, sumpah. Tapi emang ada niat, sih." Dua tangan itu terangkat ke udara. Mimik lugu yang dibuat-buat sukses memancing emosi yang sedari tadi sudah tersulut.
Menunjukkan muka masam pada cowok yang mengambil langkah semakin dekat, Hula membungkukkan badan. Mengambil beberapa pecahan beling dari piring yang terjatuh saat sedang ia cuci.
"Lagian, kok tumben banget lo mau cuci piring?" Cowok berkaus oblong itu membuka lemari es dan meraup beberapa buah anggur lalu meletakkannya di atas pantry setinggi pinggang. Menduduki sebuah kursi, ia berujar, "Oh, iya. Lo, 'kan, udah jadi seorang kakak. Emang udah cocok buat disuruh-suruh."
Hula memandang kosong ubin keramik di hadapan. Mood-nya semakin buruk dengan kehadiran cowok menyebalkan yang sekarang tengah mengorek biji anggur yang tersangkut di mulutnya. Tanpa mengangkat pandang, dia menyuarakan kekesalan. "Prana, lo mending pulang. Telinga gue sakit kalo denger suara lo."
Prana mengambil anggur yang tersisa lantas bengkit dari duduknya. Bersikap seolah tak acuh setelah menghancurkan mood sahabatnya. "Ya, udah. Gue cuma mau pastiin lo masih hidup karena denger-denger lo ditinggal bonyok yang lagi bawa adik lo ke dokter."
"AW!"
Tak sampai lima langkah, Prana refleks berbalik. Menghampiri Hula yang merintih kecil dengan darah yang mengucur di jari telunjuknya. Sekilas, Prana menatap raut kesal Hula yang tak sedikit pun disembunyikan.
"Makanya, lain kali hati-hati kalo bersihin pecahan beling." Prana memilih mengambil alih, membersihkan sisa pecahan dengan hati-hati karena Hula menepis saat dia ingin melihat luka di tangannya.
Hula mendelik sebal. "Tolong, kalo bukan gara-gara lo, telunjuk gue bakal aman sampai detik ini." Tak membiarkan Prana bicara, Hula lanjut berkata, "Karena lo udah ke sini, cuciin sisa piringnya, sana!"
Prana mengerjap, membuang muka menatap kosong dua buah anggur yang tergeletak di samping kaki kirinya, ia membuang napas berat seraya bergumam, "Nggak papa, ini namanya ujian kesabaran."
***
"Dimsum punya Hula mana, Ma?"
Herma menyentuh dada kiri terkejut, menatap putri sulungnya sejenak lalu menggelengkan kepala dramatis. "Emaknya pulang dari dokter, bukannya tanya gimana hasilnya, malah nagih pesenan."
Hula mengerucutkan bibir. Mengikuti langkah sang mama lantas ikut duduk pada sofa bed di ruang keluarga. Beberapa detik, dia memandang sang adik yang sedang mengoceh ringan di pangkuan Herma.
"Kata dokter, Hukama cuma demam biasa."
Lebay, sih. Demam dikit langsung ke dokter. Gue kudu batuk darah dulu baru diperhatiin. Hula membatin hiperbolis menyuarakan kecemburuan.
Herma meletakkan beberapa kantung plastik di meja, lalu Hula merogohnya satu-persatu. Bibirnya mengerucut menyaksikan Herma yang menunjukkan kasih sayang pada adik satu-satunya. "Alhamdulillah, jagoan Mama baik-baik aja, ya ...."
Hula mendelik sekilas melihat Herma mencium dahi adiknya bertubi-tubi. Ia merasa suasana menjadi panas. Gelora kecemburuan mulai membakarnya perlahan. "Dimsumnya mana, Maaa?"
"Coba cari yang bener, tadi udah dibeliin papa, kok."
Hula memicingkan mata. Lalu setengah mengacak-acak kantung plastik yang sama, ia tak jua menemukan apa yang selain obat-obatan, kue pukis dalam kotak styrofoam, dua botol air mineral, minyak angin, dan seperangkat peralatan untuk Hukama yang lain. "Ish, manaaa?"
Herma berdecak. Hendak memeriksa tiap kantung plastik saat Hilmi--suaminya membawa langkah ke arah mereka. "Dimsum punya si Lala mana, Pa?" tanyanya to the point. Seingatnya, ia sudah menyuruh Hilmi membeli dimsum saat mereka sedang menunggu obat Hukama
Hilmi mengerutkan dahi. "Dimsum?" tanyanya heran.
Hula bangkit. Memasang wajah kusut mendengar percakapan yang bisa ia tebak lanjutannya. Ia hanya memesan dimsum, kenapa mereka bisa lupa? Hula yakin alasannya karena seluruh perhatian hanya mereka beri untuk adiknya, Hukama.
"Tadi udah Mama suruh beli dimsum pas lagi di ruang tunggu, Pa."
"Kapan?"
Hula berdecak. Mengentakkan kaki membawa langkah ke kamar setelah mendelik sekilas pada sang adik. Mengabaikan kedua orangtua yang mulai sibuk membahas dimsum yang jelas-jelas tidak dibeli Hilmi.
"Prana!"
Cowok di seberang menjauhkan ponsel dari telinga. Lalu mendekatkan kembali setelah berdecak dan merotasikan bola mata. "Paan?"
"Antar gue beli dimsum, sekarang."
Prana membeo, "Sekarang?"
"Bulan depan."
Tut.
Sambungan terputus. Hula meraih jaket bomber yang tergantung pada stand hanger setelah menggelung rambut sebahunya tinggi-tinggi. Membuka lemarinya kasar, ia merangkap celana tidur selutut dengan celana jeans longgar yang dibawa asal. Memastikan penampilan tidak lagi seperti gembel, dia merampas gawai yang sebelumnya ia lempar ke kasur di kamar.
Parna
masih di mana? 19.03
cepet jemput 19.03
Ke mna? 19.04
rumah gue, lah 19.04
cepet. 19.04
Emg muk ke mna? 19.04
Hula geram di tempatnya.
anter gue beli dimsum, bego 19.04
Katanya bln depan? 19.05
ANJ. 19.05
Anda telah memblokir kontak ini. Ketuk untuk membuka blokir.
Sementara Hula meradang, Prana berusaha menghentikan tawa di balik pintu kayu jati coklat sebelum mengetuk dan mengucap salam bernada. "Assalamu'alaikum, Lalaaang! Hulalaaang!"
Lima detik, muncul seorang pria berberperawakan tinggi besar di balik pintu yang diketuk Prana. Menghunus netra Prana dengan pandangan mematikannya. Satu-satunya cowok yang berani menghadap ayah dari Hula meski dengan keciutan yang kentara.
"Malam, Om. Hula-nya ... ada?" Prana memasang wajah ramah sebisanya.
"Mau ke mana malam-malam?" Intonasi yang rendah, tapi sangat tajam. Tatapan mengintimidasi itu membuat Prana sedikit kikuk di tempatnya.
"Hula minta dian--"
"Mau beli dimsum, Pa. Tadi Papa lupa beli, 'kan?"
Prana mengembuskan napas lega. Penyelamat datang hampir di waktu yang tepat. Sementara Hilmi masih diam, menimang sebelum berucap final. "Pukul setengah sembilan, sudah ada di rumah."
Percayalah, pukul setengah sembilan, sudah ada di rumah, artinya pukul delapan batang hidungnya harus sudah terlihat di mata sang papa.
"Berani banget, lo ... ngomong ketus ke bokap lo kayak barusan."
Silangan tangan Hula tak turun dari kedua bahu. Ia mendelik menatap apa pun selian Prana yang memperhatikan dirinya lewat kaca spion sepeda motornya. Kali ke sekian, ia menghela napas berat. Hula memutuskan untuk menelusuri jalanan yang masih padat oleh kendaraan yang lalu-lalang. Mengabsen lampu jalanan yang tak luput dari perhatian. Mencoba menikmati angin malam yang menampar pipinya pelan.
"Udah, kali, ditekuk mulu tu wajah. Cantiknya jadi ilang." Prana menggoda dengan mengedipkan sebelah mata pada kaca spion yang mengarah pada Hula di belakangnya. Sedetik kemudian dia meringis karena Hula memukul keras bahu kanannya.
Benar-benar memukul.
***
"Besok bareng, nggak?"
Hula membuka pagar hitam setinggi dada, masuk ke dalam, dan kembali menguncinya. Memandang Prana dengan tatapan malas, ia bergumam, "Nggak, bokap anter ... seperti biasa."
"Ya udah, gue pulang, ye," pamit Prana yang sedari tadi menjaga mesin motor tetap menyala.
Mengembuskan napas perlahan, Hula berujar, "Thank's, Na."
Prana mengangguk, melajukan sepeda motor dan berhenti tak jauh dari tempat Hula berdiri. Memasuki sebuah bangunan yang letaknya tepat di samping kediaman Hula.
Hula membuka pintu rumah, sangat pelan. Mengendap berusaha tak menciptakan suara apa pun di ruangan yang sudah gelap gulita. Melirik arloji di tangan lalu berdecak karena waktu menunjuk pukul delapan lewat sepuluh malam, Hula terperenyak saat suara Hilmi menyapa di ruang keluarga.
"Baru pulang?"
Hula mengangguk.
"Udah makan?"
Lagi, Hula mengangguk.
"Langsung ke kamar, belajar, tidur."
Hula masih bergeming di tempat saat tangisan bocah berumur sebelas bulan memecah gendang telinga. Ia mendelik keras. Memperhatikan pria yang kini melongok mengalihkan atensi pada sumber suara.
Itu lah kenapa gue mengendap kayak maling. Tuh bocah denger jangkrik bersuara aja langsung bangun, batin Hula bersuara.
Hula meneruskan langkah tanpa keraguan. Sengaja melewati ruangan di mana adiknya berada seraya bersenandung kecil tanpa wajah berdosa. Sedang adiknya masih berusaha Herma tenangkan agar menemukan lelap lagi.
Mendudukkan bokong pada sebuah kursi empuk beroda di balik meja belajar, Hula menatap kosong tumpukan buku bersampul yang tertata rapi. Mood-nya sering naik turun semenjak adiknya lahir ke muka bumi.
Tling.
Hula meraih gawai. Mengecek notifikasi lantas sebuah senyum bahagia merekah saat mendapati beberapa foto yang sedari pagi ia tunggu.
Sedang seseorang di seberang sana, ia tersenyum miris memandangi layar gawai yang menyala menampilkan sebuah balasan pesan dari Hula.
Hula makasih 🖤💜
Terlalu sering, hingga ia tak bisa merasakan sebuah ketulusan di dalamnya.
***
Hai! Bab pertama di hari pertama ODOC. Alhamdulillah, terpublikasikan!
Tasikmalaya, 1 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top