Bagian Lima Belas

"Ma, ada uang, nggak? Prana minta dua puluh ribu, boleh?"

Seorang wanita yang berada di balik wastafel berdeham sekilas, menyuruh Prana menunggu ia menyelesaikan cuci piringnya sebentar. Ketika selesai, ia membalikan badan menghadap putra sulungnya.

"Adaaa. Buat apa, hm?"

"Buat jajan doang, Maaa."

Wirda mengempiskan hidung. Ia mengipasi wajah dengan telapak tangan, lalu berujar, "Kamu ngerokok lagi, ya?"

Ditanya demikian, Prana sedikit menjauhkan wajahnya. "Sebatang doang, Ma," cicitnya setelah berdeham kecil.

"Kamu ini ... udah Mama bilang jangan ngerokok lagi. Nggak baik buat kesehatan, sayang."

Prana terkekeh kecil dengan kelembutan yang diberikan sang mama. Dia mengiyakan petuah Wirda lalu menengadahkan telapak tangan kanannya. "Mana, Ma?"

"Kamu jangan kasih uang pemberian saya sama dia. Saya nggak sudi hasil kerja keras saya dipake sama anak ini. Apalagi hanya untuk membeli beberapa batang rokok."

Keduanya terkesiap. Memandang pria yang kini mengambil sebuah koran untuk dibaca tak jauh dari tempat mereka berada.

Prana menurunkan tangan yang kini terkepal. Menyiapkan diri menyantap sarapan pagi di weekend ini.

"Dasar anak nggak tau diuntung."

Mendengar itu, seperti biasa, Wirda mengangkat suara membela anaknya. "Mas nggak boleh ngomong begitu, aku nggak suka. Prana anak aku, dan udah jadi anak kamu juga sejak kita menikah. Mas nggak bisa perlakukan Prana dengan sewajarnya?"

Selanjutnya, pembahasan meleber ke mana-mana. Dua orang dewasa saling mengeraskan rahang dengan ucapan yang dilontarkan. Sedang seorang cowok hanya menunduk, menahan gejolak tak enak di lubuk sana.

Dia sudah tahu betul, berada di rumah saat hari weekend adalah opsi terburuk yang harus ia hindari. Karena drama pagi seperti ini tak akan bisa ia lewatkan saat netra tajam itu melihat dirinya.

Tak ingin mendengar banyak hal yang membuatnya sakit lagi, Prana menyalimi Wirda, lalu pergi menjauh keluar dari rumah. Bahkan uang yang semula ia minta, tak ia hiraukan lagi.

Kini, dia melangkah keluar dari perumahan. Dengan tatapan kosong, ia berjalan tanpa arah tujuan. Otaknya terus memutar semua perkataan Agus barusan. Dia ... butuh pelampiasan.

Sesekali, Prana ingin membagi cerita. Tapi sahabatnya, Hula, tengah pergi bersama Byal. Bahkan dia menjual nama Prana agar mendapat izin dari papanya. Saat seperti ini, kenapa Hula tak selalu ada untuknya?

Dia terhenyak saat sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. Melirik sekilas, ia mengerutkan kening samar.

Aileen?

"Lo, kok, di sini?" tembak Prana bingung.

Aileen tertawa singkat, lalu menggelengkan kepala. "Harusnya gue yang tanya, lo, kok, di sini? Ngapain?"

Prana memandang sekitar, lalu terkekeh kecil setelahnya. Cukup jauh Prana berjalan, ternyata ia tiba pada sebuah perkampungan; tempat di mana Aileen tinggal. Prana terdiam sejenak. Tak habis pikir mengapa tempat ini yang menjadi tujuan di alam bawah sadarnya.

"Kenapa bengong?"

Prana jadi linglung. Ia menggaruk tengkuk lantas balik bertanya, "Lo abis dari mana?"

"Dari warung," jawabnya menunjukkan kantung plastik yang dijinjingnya.

Prana kembali diam. Aileen menyadari Prana tidak seperti biasanya. Maka dari itu, Aileen menawarkan diri untuk menemani Prana jika saja cowok itu sedang tidak baik-baik saja. "Lo udah sarapan? Bubur mang Iwa--seperti biasa, mau? Kali ini, gue yang traktir."

Prana tertegun. Dia menatap tepat di manik mata Aileen, lalu mengangguk pelan sekali.

***

"Lo ngapain aja tadi, sama si Byal?"

Melewati drama tak mengenakan pagi tadi tak lantas membuat Prana lekas pulang ke rumahnya. Setelah menghabiskan waktu dengan Aileen, Prana memilih berkunjung ke rumah Hula saat berpapasan dengan cewek itu di pos satpam perumahan.

"Ya ... ngobrol-ngobrol biasaa. Byal asyik juga, ternyata."

Prana tertawa meremehkan. "Lo, tuh. Sok-sokan jual mahal. Dideketin Byal sejak lo baru brojol, lo baru buka mata sekarang."

Hula membuka kunci pagar rumahnya lalu mencibir, "Rese lo."

"La ... udah pulang? Eh ada si Parna! Ke mana aja tadi mainnya?"

Prana hampir lupa, Hula berbohong pada orangtua dengan mengatakan pergi dengannya.

"Ke mal doang, Ma." Hula yang menjawab asal.

"Kalian udah makan? Tadi si papa bawa ayam bekakak yang dibakar. Baru dimakan dikit, sayang kalo nggak dimakan lagi. Kalian abisin, ya, La, Na. Mama mau boboin Hukama dulu," papar Herma dengan Hukama di gendongan.

Prana membentuk tangan dengan sikap hormat, lalu berseru, "Siap, Ma! Prana bersedia menghabiskan semuanya!"

Mereka memilih halaman belakang rumah Hula agar bisa menikmati angin sore yang bertiup. Duduk lesehan dengan bekakak ayam dan nasi di tengah-tengah mereka. Tanpa sendok, garpu, atau pun pisau. Mereka menggunakan kedua tangan untuk mengeksekusi santapan lezat kali ini.

Prana mengangkat satu kakinya menjadi tertekuk, pun dengan Hula. Dilihat sekilas, mereka bak anak preman yang baru memalak hidangan dari penjual ayam bakar.

"Lo tau nggak, ternyata Byal punya dua adik. Satu cowok, delapan taun, satu lagi cewek, empat taun," mulai Hula dengan mulut yang hampir penuh.

Prana membalas, "Oh ya?"

Hula mengangguk. Dimasukannya sesuap nasi setelah memasukan potongan ayam ke dalam mulut, dia kembali berkata, "Byal keliatan sayang banget sama adik perempuannya. Gue sempet nggak percaya, pas Byal bilang, dia pernah benci banget sama si Azel--adiknya--pas masih di dalam kandungan."

Prana menggigiti paha ayam. Ia menggeleng sekilas saat merasakan bumbu yang meresap pada daging empuk itu saat sampai di lidahnya.

"Katanya juga, rasa sayang itu muncul seiring berjalannya waktu. Dia nggak bisa ngelak, kalo adiknya terlalu menggemaskan buat dia benci. Gue jadi keinget kasus gue." Hula memperhatikan Prana sekilas. "Heh, nasinya makan. Ayam mulu yang jadi sasaran."

"Iyaaa." Prana mendelik lalu menyuap nasi dengan kelima jarinya. Menelan setelah dirasa cukup halus, Prana menyindir, "Gue, 'kan, udah bilang juga berkali-kali. Kebencian lo sama Hukama itu nggak akan bertahan lama. Lo cuma perlu terima keadaan biar lo mulai sayang sama adik lo. Giliran Byal yang ngomong, lo langsung mikir. Lo ke mana aja pas gue bilang hal yang sama?"

Hula tampak tak acuh, ia menyobek sayap ayam untuk bisa digerogotinya. Dia memang sering menutup telinga saat Prana menasihatinya. Namun, kenapa seolah tertampar saat suara Byal yang menyampaikannya?

"Sebetulnya, gue emang nggak benci sama Hukama. Gue cuma masih kesel aja sama bonyok. Sok-sokan bilang kelepasan, tau-taunya udah program biar bisa dapet anak laki. Padahal mereka udah janji buat nggak punya anak lagi selain gue. Gue merasa dibohongi."

Prana berdecak. "Lo juga harus mikirin mereka, dong. Mereka punya hak buat nambah anak berapa pun yang mereka mau."

"Tapi gue nggak mau," sela Hula santai.

Prana menggeleng tak habis pikir dengan sifat egois dan keras kepala sahabatnya. Niat awal, ia ingin curhat perihal papanya pada Hula. Namun, ia sudah merasa lebih baik saat Aileen menawarkan diri menjadi pendengarnya.

Lagipula, bercerita pada orang pertama dan kedua, tentu sensasinya akan berbeda, bukan?

***

Tasikmalaya, 15 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top