Bagian Lima

Denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bahana di antara hening yang menyergap. Tak lupa, celotehan Hukama menjadi pelengkap jadwal makan di malam hari.

Awalnya Hula terganggu, akan tetapi waktu membuatnya menjadi terbiasa.

"Pa, Hula disuruh beli beberapa buku LKS buat semester dua ini." Hula berkata setelah menandaskan santapan malamnya.

Melihat wajah Hilmi sedetik, tangan Hula berangsur mengambil segelas air putih. Meneguknya, Hula kembali menatap Hilmi yang masih menekuri hidangan di hadapan kala Hilmi bertanya, "Berapa?"

Herma melirik Hula sekilas sebelum kembali menyuapi Hukama seraya mengajaknya bermain.

Hula berdeham. Mengambil gawai, dia menjumlahkan beberapa nominal. Memanipulasi satu angka lalu menunjukkannya pada Hilmi. "Enam ratus ribu, Pa."

Hilmi meneguk segelas air, kemudian berkata, "Besok pagi ingetin Papa lagi."

Hula mengangguk antusias. Dirinya membayangkan tambahan uang guna menggenapkan tabungannya untuk membeli tas keluaran terbaru yang sudah lama diincarnya, Hula tersenyum manis. Hal itu tak luput dari perhatian Herma.

***

Hula menyumpal kedua telinga dengan earphone yang tersambung dengan sebuah lagu pada gawainya. Sesekali kepalanya ia anggukan mengikuti irama lagu yang terputar.

Hula baru saja keluar dari toilet saat seorang cowok mengikutinya di lorong sepi saat jam pelajaran sudah berakhir. Semakin dekat, cowok dengan rambut sedikit kriting menepuk bahu Hula pelan, tapi sedetik kemudian ...

Plak.

"AW!"

... Hula berbalik dengan gerak refleks menampar pipi cowok tak dikenalnya.

"Oh, sorry." Hula sedikit tak acuh.

Cowok dengan kulit sawo matang hanya cengo di tempat. Tersadar, dia menurunkan tangan kanan yang semula menyentuh pipinya yang sedikit memerah. "Nggak papa."

Hening sekejap, Hula merasa hanya membuang waktu jiga menunggu cowok itu kembali bicara. Namun, belum sampai tiga langkah, Hula kembali berhenti saat cowok di belakangnya berseru, "T-tunggu."

Tangannya urung menyentuh bahu Hula karena tak mau tertampar untuk kedua kali.

Hula berbalik seraya melepaskan salah satu earphone-nya. Menatap malas cowok yang kini menggaruk belakang kepalanya salah tingkah. "G-gue Rendi, sebelas IPS tiga."

"Hula." Hula berbalik, membiarkan uluran tangan Rendi menggantung di udara. Namun, langkahnya dihadang Rendi dari depan.

"Lo pulang sama siapa? Mau gue anterin?"

"Nggak." Hula mengambil langkah ke kiri, Rendi menghalanginya. Mengambil langkah ke kanan, Rendi sebaliknya.

"Lo mau apa?" Hula mulai muak. Bahkan memanggil Rendi dengan embel-embel 'Kak' saja, Hula enggan.

"Pacaran sama gue, mau?"

Menyilangkan kedua tangan di depan dada, Hula mengamati Rendi sekilas. Tertawa ringan seolah kalimat Rendi sebelumnya tak memiliki arti sama sekali.

"Nggak."

Rendi kembali menghadang Hula yang kini mendelik kesal.

"Tunggu dulu," cegahnya.

Hula hampir memukul cowok di hadapannya saat cowok lain menghampiri dengan menyerukan nama Rendi.

Byal.

"Ren, pak Juna nyariin lo."

"Pak Juna?" beo Rendi.

Byal mengangguk. "Beliau nanyain kunci pintu ruang olahraga."

Rendi berlari kecil menjauhi keduanya.

Byal menatap Hula yang memasang kembali earphone yang sempat dilepas. "Lo nggak papa?"

Malas menanggapi, Hula berlalu. Ingin segera menemui Prana yang dapat dipastikan sudah menunggu di parkiran.

Sementara Byal masih setia memandang Hula yang semakin menjauh dan hilang ditelan tikungan. Dia memperhatikan mereka sejak Rendi menepuk pelan bahu Hula, Byal menggeleng pelan.

Byal yakin, Rendi tak akan berpikir untuk mendekati Hula lagi. Karena Hula yang sekarang, masih sama seperti yang dikenalnya dulu. Hula selalu berhasil membuat para cowok kapok untuk mendekati dirinya. Bahkan beberapa dari mereka selalu berpikir dua kali untuk sekedar menyapa cewek judes ini.

Namun, tak berlaku untuk Byal.

Hula dan pesonanya.

Sejak kecil, Byal hampir tak pernah menyerah untuk mendapatkan hati Hula. Pun saat ini, dia sangat bersyukur karena dipertemukan kembali dengan pujaan hatinya, Hulalang.

Hulalang Alea Faza.

***

Senandung kecil mengiringi langkah Hula memasuki rumah semakin dalam. Tatapannya tak beralih dari ponsel pintar yang menampilkan gambar sebuah tas keluaran terbaru dari brand ternama. Meng-check out-nya, Hula terperanjat kala wajah wanita berdaster tiba-tiba berada tepat di depannya.

Menyembunyikan gawai ke belakang punggung, Hula berujar, "Kaget, Ma ...."

"Kamu ini," Herma melangkah mendahului Hula, "Masuk rumah bukannya ngucap salam, maen nyelonong aja."

Hula mengekori Herma dari belakang. "Assalamu'alaikum, Ma."

Herma menghentikan langkah. Membalikan badan tiba-tiba, lalu menawarkan pilihan pada Hula yang kini memegang dada kiri terkejut. "Jagain Hukama atau cuci piring?"

Lihat lah, siapa yang menyuruh Hula mengucap salam? Herma tak mengindahkan salamnya sama sekali.

Sepertinya, Hula harus terbiasa dengan todongan penawaran tak mengenakan selepas pulang sekolah. Hula malas bertemu dengan piring kotor. Maka ...

"Jagain Hukama."

... menjadi pilihannya di siang itu.

"Makasih, Kakak sayaang." Satu kecupan berlabuh di pipi kiri Hula. Sang empu melayangkan protes seiring bulu kuduk yang meremang.

"Hukama lagi tidur di kamar Mama. Cepet samperin!"

Hula menghela napas berat. Sampai kapan dirinya harus seperti sekarang? Dia benar-benar merindukan masa di mana Hukama belum terlahir di dunia ini. Terlelap di siang hari sesuka hati, tanpa bayangan Hukama di setiap hari.

Hula mengambil tempat di samping adiknya. Membaringkan tubuh lelahnya di sana, dia memperhatikan wajah Hukama lekat. Jika diteliti lebih jauh, Hukama ini memiliki paras yang tampan. Bulu mata yang lentik, hidung mungil, bibir tipis, lalu setitik tanda lahir di pipi kanan. Terpahat sempurna sebagai wajah yang menggemaskan.

Hula menggeleng keras. Ia tak boleh terlalu hanyut. Bagaimanapun, Hukama penyebab banyaknya kebahagiaan yang terenggut darinya. Hula memainkan gawai sebagai pengalihan perhatian.

Namun, kebosanan membuat rasa kantuk perlahan menyergap. Hula hampir terlelap saat tangan mungil menimpa pipi kirinya lembut.

"Ta ... ta ... ta ...."

Hula mengerjap. Memiringkan posisi baringnya, lantas menilik Hukama yang berceloteh ria. Kapan bangunnya?

"Dek." Hula mencoba berinteraksi.

Hukama merespons dengan celotehan seraya memandang langit-langit kamar.

"Kenapa, sih, lo harus lahir di dunia ini? Gue udah bahagia jadi anak satu-satunya. Karena ada lo, gue harus berbagi. Gue nggak suka."

Hukama memandang Hula lekat. Binar matanya membuat Hula seolah terhipnotis dalam sekejap. Bibir Hukama bergerak mengeluarkan ocehan. Tangan mungilnya berpindah dan tersangkut di rambut Hula. Lalu pekikan samar Hula perdengarkan kala Hukama menariknya dalam satu kali tarikan.

Hula melotot. Menjauhkan tangan Hukama dari rambutnya, ia memarahi adiknya dengan bola mata yang hampir keluar. "Apaan, sih, nggak sopan banget jadi Adik!"

"Hula!"

Hula terkesiap.

"Ngapain kamu marahin Hukama kayak gitu? Pake melotot segala, lagi. Mama nggak suka, ya!" Herma menghampiri anak-anaknya.

Hula menegakkan tubuh, lantas bergumam, "Rambut Hula ditarik-tarik."

"Udah, sana. Hukama biar Mama yang jaga. Mama udah masakin makan siang kamu. Piring bekasnya langsung cuci."

Hula beranjak seraya berujar lesu, "Iyaaa, makasih, Ma."

***

Tasikmalaya, 5 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top