Bagian Enam

"Laut dalam merupakan tempat yang gelap sehingga tidak memungkinkan terjadinya fotosintesis." Suara seorang wanita ramping bermata empat memecah sunyi ruang kelas X Mipa 1. Spidol board marker yang dientakkan pelan pada telapak tangan kiri secara berulang serta langkah yang mondar-mandir di depan kelas membuat hawa tegang meruak di sana.

Suasana semakin mencekam saat seorang guru bernama Lisna itu melemparkan sebuah pertanyaan. "Lalu, organisme yang hidup di daerah tersebut ... memperoleh energi dari mana?"

Pandangan Lisna melayang ke arah murid-muridnya. Menimang, siswa atau siswi mana yang akan menjadi sasarannya kali ini. Lalu perhatiannya berhenti pada seorang siswi yang menduduki bangku barisan ke dua dekat jendela di sebelah kiri.

"Hulalang, kamu bisa jawab?"

Hula tersentak di tempat. Diangkatnya pandangan hingga tatapan mereka bertubrukan, Hula menyenggol betis Aileen dengan lutut kirinya gelisah. Berdeham, Hula melirik sebuah kertas dengan jawaban yang sudah Aileen bubuhkan secara diam-diam sebelumnya.

"Dari endapan bahan organik di permukaan, Bu."

Hening sesaat, sebelum Lisna berseru, "Betul sekali."

Hula membuang napas lega. Dirinya seperti hampir mati, barusan. Beruntung, Aileen kembali membantunya. Menyelamatkan Hula dari rasa malu yang pasti didapat Hula jika dia tak bisa menjawab pertanyaannya.

"Pada zona ini sangat sedikit atau bahkan tidak ada cahaya matahari sama sekali sehingga produsen tidak mampu menghasilkan energi utama pada rantai makanan. Oleh karena itu, organisme yang hidup pada zona ini ...."

"Lo mau beli apa?"

Aileen memperhatikan keramaian siswa-siswi di hadapan. Mengingat-ingat sisa uang yang berada di saku, Aileen kembali mengatupkan bibir saat Hula berkata, "Lo harus beli minimal dua jenis makanan. Gue yang bayarin dan lo nggak boleh nolak. Yuk."

Hula seolah tak mengizinkan bicara saat tangannya menarik lengan Aileen sedikit memaksa. Menghampiri pedagang yang berjejer di kantin sekolah mereka, Hula mempersilakan Aileen membeli apa pun yang diinginkannya.

Namun, Aileen tetaplah Aileen. Alih-alih memanfaatkan penawaran Hula dengan membawa makanan apa pun yang tertangkap oleh mata, Aileen hanya memesan batagor kuah dan air mineral saja.

"Lo beneran cuma pesen itu doang?" Adalah kalimat tanya pertama saat mereka mendudukan bokong pada kursi yang letaknya hampir di tengah.

Aileen meletakan semangkuk batagor kuah di meja, lalu mengangguk dengan senyum meyakinkan. "Iya. Ini udah cukup, kok." Sebelum suapan itu sampai pada mulutnya, Aileen kembali berkata, "Makasih, yaaa."

"Jangan gitu, lah. Gue yang harusnya bilang makasih." Hula mengunyah baksonya perlahan. "Lo udah bantuin gue jawab kuisnya, tadi."

Aileen sudah menduganya. Untuk suatu alasan, hati Aileen sedikit sesak. Namun, sebuah senyuman tetap terlukis di sana. "Nggak papa, santuy aja."

Selanjutnya, obrolan mengalir begitu saja. Kendati Hula seolah enggan membiarkan lawan bicaranya bercerita, Aileen tetap memberikan respons antusiasnya.

"Hai, Hula, Aileen."

Hula dan Aileen berhenti tertawa. Dipandanginya cowok yang berdiri di samping meja mereka, dia berujar, "Meja lain udah penuh."

Byal si Ketua OSIS.

Mereka memperhatikan sekitar, memang tak ada yang kosong selain meja mereka.

Byal kembali menarik atensi mereka dengan berujar, "Gue boleh ikut duduk di sini?"

"Nggak."

"Boleh."

Hula dan Aileen saling pandang karena jawaban mereka yang tak selaras. Aileen tak keberatan, toh, mereka memang saling kenal. Tetapi, kenapa Hula justru sebaliknya?

Byal melipat kening, hendak kembali bertanya sebelum Aileen berkata, "Duduk aja, Byal."

Hula melayangkan protesan pada Aileen walau tak kentara.

Byal tersenyum tipis. Mengucap terima kasih sebelum duduk di samping Aileen, tepat di hadapan Hula.

Setelahnya, obrolan didominasi oleh Byal. Hula jadi lebih sering bungkam. Bahkan tak segan memberi respons malas. Namun, Aileen paham. Byal terus mencoba membawa Hula pada jalur obrolan.

"Jadi, ya, gitu. Gue sama keluarga cuma setahun lebih tinggal di Semarang. Gue seneng karena bokap dipindah tugas ke sini lagi. Terus, gue pindah ke sekolah ini pas kelas sepuluh di semester dua."

Aileen mengangguk paham. Hendak bertanya sebelum Prana menghampiri mereka dengan sedikit menggebrak meja. Kini, kuartet itu sukses menjadi pusat perhatian siswa-siswi di sana.

"WOI! Reunian, kok, nggak ajak-ajak."

Mereka tertawa singkat, tetapi Hula malah mencibir di tempat.

Menduduki kursi panjang di samping cewek berambut sebahu, Prana menggoda Hula. "Kenapa, sih, Mbak? Jutek gitu mukanya."

Prana tahu, Hula tak senang dengan keberadaan Byal. Prana juga tahu, Byal berusaha mendekati Hula. Namun, Prana tak tahu, Aileen mengetahui lebih dari dirinya.

Aileen paham, tatapan apa yang dilayangkan dua orang cowok di sana pada Hula. Aileen sadar, mereka menyimpan rasa yang sama terhadap Hula. Aileen mengerti, bagaimana mereka selalu berputar di dunia Hula. Aileen menyadari, dirinya hanya menjadi penonton dari kisah dua orang Pangeran yang berusaha mengejar hati seorang Putri pada sebuah kerajaan.

Terakhir, Aileen sadar, ia tak bisa memantasakan diri untuk berada di tengah-tengah mereka. Karena sejauh apa pun Aileen terlibat, dia sama sekali tak ada istimewanya jika dibandingkan dengan Hula.

***

"Ma, jalan-jalan, yuk. Suntuk di rumah terus."

Beberapa menit berlalu, hanya ocehan Hukama yang menjadi jawaban. Hula sedikit kesal karena ucapannya hanya dianggap angin lalu oleh Herma.

"Ma ...." Hula mencoba mengambil perhatian.

"Apa, sayaang?"

Hula mencebik. Meski sedikit berhasil, tatapan Herma tak bergerak sesenti pun dari wajah putranya.

"Jalan-jalaaan." Bahu Hula semakin melorot ke bawah. Sandaran sofa yang empuk membuatnya semakin nyaman.

Alih-alih menimpali rengekan Hula, Herma mengajak Hukama berceloteh ria.

"Ma."

"Nanti, Laaa. Papa, 'kan, masih kerja."

"Pesen GoCar ajaaa." Hula bersikeras.

Herma tertawa saat Hukama menghentakkan kaki mengenai lengannya. "Nanti Hukama nangis kalo supirnya bukan papa. Nanti aja, ya."

Hula bangkit. Berlalu dari ruang keluarga yang terasa semakin panas. Berada di sini terlalu lama berisiko membakar tubuhnya.

"Ke mana, La?" Herma sedikit berteriak.

"Parna!"

Hula meneguk air dingin tak sabaran dengan pintu lemari es yang ia biarkan terbuka. Meraup oksigen sebanyak mungkin saat bayangannya hanya tertuju pada Hukama, dia merasa sangat kesal. Saat lagi-lagi, keinginannya tak terpenuhi karena kehadiran Hukama.

"Kenapa? Hukama lagi?"

"Anjing! Gue kesel banget. Apa-apa Hukama. Apa-apa Hukama. Kapan mereka prioritasin gue lagi?! Gue bosen harus ngalah mulu, bangsat."

"La. Mulut lo, ya. Udah pinter aja ngomongnya," tegur Prana

Hula kembali menuangkan air dingin ke gelas, lalu meneguknya sampai tandas.

"Kali ini, kenapa?" Prana mencoba tenang mendekati Hula dan duduk pada kursi kosong di hadapannya. Dia menopang dagu dengan tangan kanan yang bertumpu pada meja makan seraya memperhatikan sahabatnya yang sedang berapi-api.

Hula menjelaskan dengan kesal, Prana menggeleng pelan. Jika sedang seperti ini, Hula hanya ingin didengarkan. Memberinya nasihat bukan lah pilihan yang tepat.

Sekali saja Prana salah berucap, akan menyebabkan emosi Hula semakin tersulut. Pelan-pelan. Prana hanya perlu memberi Hula petuah secara perlahan. Lalu waktu menjadi peran besar agar Hula bisa menerima semuanya.

Bagaimana pun, Prana tak ingin kecemburuan menggelapkan hati Hula, apalagi membuat Hula melakukan hal tak diduga. Prana menggeleng pelan membayangkannya.

"Ya udah, yuk, jalan-jalan sama Abang Prana." Prana bangkit menyugar rambut yang sedikit acak-acakan. "Lo mau ke mana?"

***

"Lo beneran nggak mau pulang sekarang? Udah jam tujuh, loh."

Prana memperhatikan Hula yang tak bergerak dari duduknya. Tangannya tak berhenti memindahkan camilan dari bungkus plastik pada mulutnya. Masih memperhatikan layar televisi, Hula bertanya, "Lo ngusir gue?"

"Bukan, bokap lo keburu pulang." Prana berdecak.

"Nggak papa kalo gue diem di rumah lo. Bokap, 'kan, percaya kalo gue mainnya sama lo."

Prana mengembuskan napas berat. Masalah yang sebenarnya, Prana malas bersitatap dengan papanya yang mungkin saat ini sedang di perjalanan. Maka diam di kamar sebelum papanya pulang adalah pilihan terbaiknya entah sejak kapan.

Beruntung, Hilmi menelepon Hula tak lama setelahnya. Mau tak mau Hula harus pulang ke rumah. Menyaksikan limpahan kasih sayang yang orangtuanya tujukan pada Hukama.

Di ambang pintu, Hula berpapasan dengan papanya Prana. Menyapa sekilas, Hula sempat dibuat heran dengan raut wajah letih Agus yang tak enak dipandang.

Sementara Hula sampai di rumahnya, Prana terpaku dengan sampah bekas camilan di genggaman saat tatapannya bersirobok dengan Agus. Sedetik, dua detik, Agus meneriaki Prana tanpa berpikir dua kali.

"Ngapain kamu di sana?! Bukannya belajar, enak punya pacar tetangga?! Udah ngapain aja kamu sama dia?! Hah?!"

Prana menahan sesak yang tiba-tiba meruak. Mengepalkan tangan seiring tatapan hampa yang ia tunjukkan.

"Pergi dari hadapan saya! Saya nggak sudi lihat kamu ada di sini!"

Seperti ribuan belati dingin yang menembus ulu hatinya, Prana tak pernah merasa baik-baik saja saat teriakan itu menyapa gendang telinga. Teriakan yang sama, setiap Agus melihat dirinya.

Prana menaiki anak tangga dengan gontai. Meremas bungkus camilan lalu melempar kesal saat sampai di kamarnya. Selalu seperti ini. Prana tak mengerti, kapan papanya bersikap lebih baik padanya?

Atau yang paling sederhana, kapan Agus bisa membiarkan keberadaan Prana di radarnya?

***

Terima kasih sudah mampir di Bagian Enam, Temans.

Tasikmalaya, 6 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top