Bagian Empat Belas
"Totalnya 670 ribu rupiah, Kak."
Cewek dengan rambut sepunggung menahan napas sejenak. Dia mengabsen menu makanan di nampan saat itu juga. Banyak box berukuran 20 x 20 cm yang bertumpuk membuat ia menelan saliva susah payah. Delapan box chicken dan beef BBQ dengan varian rasa, tiga box berisi menu shuki yang hampir tak terhitung jumlahnya, satu box mix vegetable, satu mangkuk kecil nasi pulen, serta segelas besar thai tea dengan extra es batu.
"Ada tambahan lagi, Kak?"
Oh, itu baru menu yang ada di nampannya. Dia melirik nampan di hadapan Hula lalu beristighfar saat menu yang barusan disebut Aileen bahkan belum seberapa jika dibandingkan dengan Hula.
"Nggak, Kak."
Yang membuat Aileen tak habis pikir, Hula mengeluarkan beberapa lembar uang merah dengan santai. Seolah total uang yang baru saja disebutkan kasir tak memberikan guncangan sama sekali untuknya. Berbeda dengan Aileen yang sempat lupa caranya bernapas karena membayangkan uang sebanyak itu hanya digunakan untuk makan sekali habis saja.
Ya, jika Hula mendengar kata hati Aileen, dia akan mencibir bahwa Aileen sangatlah lebay.
"Ayok, Leen."
Kedua cewek dengan tinggi yang hampir sama itu menghampiri meja kosong di sudut kanan. Menyimpan dan menata menu dalam nampan ke atas meja. Hula tampak bersemangat, namun Aileen masih merasa ada yang mengganjal di lubuk sana.
"La, ini ... nggak salah? Kok mahal banget." Aileen mengabsen menu di hadapan sekali lagi.
"Nggak salaah. Ayok, Leen. Gue udah nggak sabar."
Sementara Aileen masih bengong, Hula mulai membuka plastik wrap pada box beef BBQ. Menyumpit potongan tipis protein hewani itu lalu menaruhnya pada smokeless BBQ grill yang disimpan di tengah meja persegi panjang.
"Pokoknya, gue nggak mau tau. Semuaaa ini ... kudu abis sama kita." Hula membuka petutup panci dan mendapati air yang sudah mendidih. Dia menyuruh Aileen untuk memasukan beberapa menu shuki ke sana.
Melihat raut wajah Aileen tak seantusias dirinya, Hula memberi senyum lebar seraya mengangkat tangan kanan dengan jemari terkepal, lalu berseru, "Semangat!"
Aileen tersenyum tipis. Bukan tak bersyukur dengan hidangan yang tak bisa dibilang sedikit, hanya saja, Aileen merasa ini terlalu berlebihan. Menurutnya, alih-alih menghabiskan uang sebanyak itu, ada hal lain yang lebih bermanfaat daripada hanya digunakan untuk makan.
Wajar, bukan, jika orang seperti dirinya berpikir demikian?
***
"Udah, La?"
Aileen dan Hula berpapasan di ambang pintu masuk Gramedia. Aileen mengangguk lalu mengikuti langkah Hula yang membawanya entah ke mana.
Aileen baru saja melihat-lihat buku novel di Gramedia, saat Hula menyelesaikan panggilan alamnya. Namun, tak ada satu pun buku yang dibeli. Karena meski ada beberapa lembar uang di saku, cewek itu selalu berpikir dua kali untuk membelanjakan sesuatu.
"Sini, Leen. Beli ini dulu, yuk. Gue haus." Hula menunjuk sebuah kedai dekat eskalator.
Lagi, Aileen menurut.
"Lo mau yang mana?"
Ditanya demikian, Aileen refleks memegangi perutnya. Dia menggeleng lalu menolak, "Nggak, La. Lo aja. Gue masih kenyang."
Tapi rupanya, Hula tak mengindahkan perkataan Aileen. Dia kembali dengan dua gelas cup minuman berboba lalu menyerahkan salah satunya pada Aileen. "Masa gue beli, lo-nya nggak." Mereka berjalan beriringan lagi.
"Ya ampun, La. Hari ini gue abisin duit lo sampe berapa ratus, coba? Lagian gue masih kenyang. Bahkan dimsum yang lo beli setelah kita BBQ-an aja rasanya belum turun ke perut. Lo nggak liat gue sampe kesusahan jalan saking kenyangnya?"
"Heh, Leen. Ini, tuh, nggak seberapa. Lo udah bantu gue selama ini." Hula menyedot minumannya, lalu kembali berlontar, "Anggap aja ini ucapan terima kasih gue buat segalanya."
Kali ini, Aileen diam.
"Terus, gue harap lo nggak pernah bosen bantuin gue mulu. Lagian, kita, 'kan, sama-sama untung. Gue kebantu, sedangkan lo bisa nikmati semua kayak hari ini."
Lebih tepatnya, Hula yang sangat untung. Aileen bahkan akan tetap hidup tanpa semua yang diberikan Hula. Namun, apa Hula demikian? Meskipun begitu, Aileen tak mengelak. Jika bukan karena Hula, Aileen memang hampir tak pernah bertemu hari seperti ini. Lantas, apa ini hal yang patut ia syukuri?
"Pokoknya, hubungan kita itu kayak simbiosis ... apa itu, yang saling menguntungkan?"
Aileen tersadar. "Mutualisme."
"Nah, iya."
Aileen ikut tertawa, hambar. Ia menunjukkan kesenangan, tapi rasa mengganjal tak mampu ia tepis.
Selanjutnya, Aileen kembali menjadi seorang pendengar. Dia hanya menimpali seadanya tanpa berniat menjadi pembicara. Meski berniat, Hula tak akan membiarkannya. Dia akan memposisikan diri sebagai satu-satunya atensi.
Karena bagi Hula, menjadi pendengar sangatlah menjenuhkan. Maka ia tak memberikan kesempatan agar Aileen bercerita. Menurutnya, cerita yang akan diperdengarkan Aileen pasti sangat membosankan.
Namun, Hula tak tau. Bagi Aileen, dongeng Hula-lah yang sangat memuakkan.
"Sini, La." Hula menarik lengan Aileen pada sebuah toko roti.
"Ngapain?" tanya Aileen to the point.
Hula mulai menelusuri etalase. "Gue mau beli sesuatu buat ibu lo."
***
"Hula baik, ya. Dia pasti traktir kamu selama di Mal." Seorang wanita paruh baya menyimpan segelas susu di meja belajar anaknya.
"Iya," jawab Aileen, lirih.
Kemudian Cahya mengusap rambut Aileen penuh sayang. "Udah bilang makasih, 'kan, sama dia?"
Aileen mengangguk. Kembali fokus menekuni buku tugasnya agar bisa ia foto dan dikirim ke Hula sebagai salah satu bentuk terima kasihnya juga.
"Leen," panggil Cahya lembut.
Aileen berdeham tanpa memalingkan wajah.
"Hula minta apa sama kamu?"
Sedetik saja, perasaan Aileen menjadi campur aduk. Dia menghentikan guratan penanya sejenak. "Nggak ada, Bu."
"Kamu nggak bisa bohong sama Ibu, Leen."
Aileen memejam menahan sesak di dalam sana. Ibunya peka, dia lupa soal ini. Lama dia terdiam, memikirkan apa ini waktu yang tepat untuk memberi tahu Cahya soal Hula?
"Ayo, kasih tau Ibu, sekarang." Senyumnya masih terlukis indah. Cahya menanti Aileen agar membuka suara.
"Ibu tau betul, gimana sifat Hula ke kamu. Sejak kecil, Ibu udah liat sifat bossy yang nempel di diri Hula. Kadang dia sekenanya juga, 'kan?" Namun, sepertinya Aileen masih tak mau bicara.
Cahya berbalik menghampiri kasur single tiga langkah dari tempat Aileen duduk saat ini. Merapikan sprei di sana, Cahya kembali memancing, "Ibu juga tau, kamu orangnya nggak enakan. Paling nggak bisa nolak permintaan seseorang, khususnya Hula. Rasanya ... pasti memuakkan, bukan?"
Akhirnya, pertahanan Aileen mulai runtuh. ibunya seolah tau betul apa yang selama ini ia rasakan. "Bu ...," panggil Aileen. Ia membalikan badan menghadap ibunya. "Ileen capek," lirihnya.
Cahya tersenyum hangat, mengirim kekuatan agar Aileen lanjut bercerita.
"Hula selalu minta jawaban tugas, Bu. Di sekolah, tugas rumah ... Hula nggak pernah kerjain semuanya sendiri. Selagi ada Ileen, Hula nggak mau usaha. Dia selalu ngandalin Ileen. Padahal Ileen bukan Tuhan, kenapa Hula selalu bergantung sama Ileen, Bu?"
Cahya masih bungkam, dia menghampiri Aileen dan mengusap punggungnya sayang.
"Hula selalu bilang, kami kayak simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Ileen emang nggak hidup seberuntung Hula. Uangnya di mana-mana, mau apa-apa tinggal bilang." Aileen merasa ia salah bicara saat dirasakannya usapan tangan Cahya yang sedikit melambat.
"Tapi, Ileen nggak butuh itu semua. Ileen lebih milih hidup sederhana, tapi bahagia. Hula emang baik, dia nggak sungkan buat kasih Ileen sesuatu. Tapi, kebaikan Hula buat Ileen semakin tertekan, Bu," cicitnya dengan netra yang mulai berkaca-kaca.
"Ileen nggak mau kerja keras Ileen di-copas terus sama Hula. Ileen capek mikir, terus Hula minta dengan sekenanya." Suaranya menjadi sedikit tersendat, bergetar.
"Tapi nggak bisa ...." Aileen menunduk seiring air mata yang menetes melewati pipinya. "Tiap mau nolak, Ileen merasa nggak enak. Ileen selalu kebayang semua kebaikan Hula."
Aileen tak bisa menutup mata. Bagaimanapun, Hula telah membantunya di beberapa keadaan, dengan uang; hal yang tak begitu banyak dimiliki oleh Aileen.
"Ileen capek kalo kayak gini terus, Bu. Ileen harus gimana?"
Cahya berpindah ke hadapan Aileen, memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Kamu terlalu baik, Aileen. Makanya kamu dimanfaatin. Sesekali, egois itu perlu. Terlebih, itu buat kebaikan kamu sendiri. Egois nggak akan cap kamu sebagai orang jahat, asal kamu tau. Egois adalah salah satu wujud, bahwa kamu peduliin diri sendiri."
Aileen menempelkan pipi pada perut ibunya.
"Gini ... kalo kamu terus-terusan jadi pemuas kebutuhan Hula dengan ngasihin semua tugas kamu sama dia, nanti kamu yang bakal rugi. Ini bukan soal timbal balik. Tapi soal Hula yang bossy, dan Aileen yang penurut. Hula terlalu manja, nggak boleh terus dimanjain."
Aileen mengangguk mengiakan.
"Sekarang Ibu tanya, kamu mau sampe kapan terikat sama Hula? Bukan berarti, Ibu nyuruh kamu putus hubungan sama dia. Ibu cuma pengin kamu bersikap tegas, menyuarakan apa yang ada di hati kamu.
"Pelan-pelan. Kamu harus belajar nolak permintaan Hula. Singkirkan rasa nggak enak, itu cuma bisa nyiksa diri kamu, bukan? Terlebih dari sikap baiknya Hula, kesehatan hati kamu tetep kudu dijaga."
Isakkan kecil mulai lolos dari mulut Aileen.
"Kamu nggak usah takut kehilangan kebaikan yang selama ini Hula kasih. Kalo emang Hula tulus, selamanya dia akan tetep berbuat baik—tanpa menuntut balasan apa pun dari kamu.
"Kamu harus berani melangkah, nggak boleh diem di tempat terus. Soal tanggapan Hula ke depannya, itu biar jadi urusan nanti. Kalo kamu takut nyesel sama langkah yang mau kamu ambil, nggak papa. Sesal selalu memberi pelajaran, bukan?
"Yang terpenting, kamu mau merubah keadaan. Merubah diri kamu, agar nggak menjadi Aileen yang nggak enakan. Aileen yang mementingkan orang lain. Aileen yang nggak sayang sama dirinya sendiri."
Sejak Herma memberi petuah bahkan di kalimat pertama, Aileen sudah banjir air mata. Isak pun tak mampu ia cegah. Karenanya, tak ada satu kata pun keluar dari sana. Aileen tak pernah bisa bicara saat sedang menangis. Maka respons yang Aileen beri hanya anggukan dan gelengan kepala.
Aileen mengeratkan pelukannya saat Cahya berkata, "Maaf Ibu bilang semua ini. Kamu cuma satu-satunya putri Ibu. Ibu nggak mau liat kamu sakit. Ibu nggak mau kamu terlalu mikirin orang lain, sampe nggak tau cara bahagiain diri sendiri."
Cahya mengecup pucuk kepala Aileen lama. "Ibu harap, kamu secepatnya bisa bersikap tegas, Sayang."
***
Tasikmalaya, 14 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top