Bagian Empat

"Setelah jadi ketua OSIS, pesona kak Byal semakin nggak ngotak, astaga ...."

Alis Hula menyatu. Dia menyadari, teman-temannya memang cukup sering membicarakan Byal, tapi dirinya tak pernah acuh.

Hula memangku dagu dengan tangan kiri yang bebas. Jemari kanan ia gunakan untuk mengaduk pempek dalam mangkuk. Dia mengatupkan bibir kembali kala Steffi menggebrak meja pelan. Membuat tiga kepala yang lain semakin maju ke depan, kecuali Hula.

"Liat, tuh," empat orang yang lain-termasuk Hula, mengikuti arah pandang Marsha. "Jalan gitu doang aja udah ganteng. Berkarisma, anjir. Emang cocok jadi pemimpin."

Hula memperhatikan Byal yang menghampiri dua orang cowok tak jauh dari tempatnya duduk. Keempat temannya memekik tertahan saat Byal menebar senyum tiga jari.

Hula berdecih, "Lebay lo pada."

"Bukan lebay, La, ini, tuh, wajar. Emang lo nggak terpesona sama kak Byal?" Fika bertanya heran.

Tiga orang yang lain mengalihkan atensi pada Hula. Menanti jawaban dengan penasaran. Hula membatin, Terpesona? Sama Byal si cowok SKSD?

"Nggak."

Penonton kecewa.

Hening beberapa saat, sebelum Melisa berseru heboh membuat mereka menjadi pusat perhatian untuk sejenak.

Melisa tersadar. Berdeham anggun, dia berujar sedikit berbisik saat tiga kepala sedikit maju ke arahnya. "Biasanya, nih, yang jutek-jutek gitu endingnya bakal jatuh cinta. 'Kan, cocok, tuh, yang satu judes, satu lagi ramah plus murah senyum."

Hula merotasikan bola mata saat empat temannya terkekeh-kekeh. Melipat tangan di depan dada angkuh, Hula berujar sinis, "Pembahasan kalian, nggak jelas."

"Oh ... Hula maunya yang jelas-jelas, Guys. Kayak ... kejelasan hubungan Hula sama kak Byal, gitu."

"Kita aja nggak saling kenal, gimana hubungannya bisa jelas?" bohong Hula sambil menyeruput es jeruknya.

Kali ini, Steffi yang berseru, "Jadi bener, lo pengin kejelasan hubump-"

Hula membekap mulut Steffi yang berada di sampingnya. Tawa mereka menggelegar memekakkan telinga Hula.

Bel berbunyi, Hula bertanya setelah tawa teman-temannya reda. "Semuanya udah dibayar pake uang yang gue kasih tadi, 'kan, Fik?"

***

"Lo pulang naik apa?"

Dua orang cewek melangkah santai menuju parkiran. Yang satu menengadah penuh percaya diri, satu yang lain menunduk dalam menatap sepatu kanvas dengan warna hitam yang sedikit pudar.

"Naik angkot, La. Lo naik apa?"

Hula memasukan gawai pada saku seragam, lalu menjawab, "Bareng si Parna lagi, kayaknya. Udah gue chat juga."

Aileen mengangkat pandang saat mereka akan berpisah di parkiran. "Kalo gitu ... gue duluan, ya, La."

Hula mengangguk. Melambai kecil, Hula berseru saat Aileen melangkah menjauhinya. "Biasa, ya, Leen, kirim ke WhatsApp. Gue tunggu nanti malem."

Hula membawa langkah di mana sepeda motor Prana terparkir. Cewek itu menyebut dirinya ketiban sial saat netranya menangkap Byal tengah menghampiri dengan semangat empat lima.

"Hai, Hula."

Hula memandang sekitar tak acuh.

"Lo pulang sama siapa?" Byal ikut memutar pandangan, lalu berhenti di Mio merah milik Prana.

"Prana." Hula menjawab sebelum Byal bertanya memastikan.

"Mau pulang sama gue, nggak?"

Hula melirik arloji. Dia mengeluarkan gawai dari saku, lantas mengirim sebuah pesan agar Prana lekas datang ke parkiran.

"Nggak, makasih."

Byal memasang raut kecewa, tetapi Hula tak menatapnya sedetik pun. Tak menyerah, Byal mencoba mengajak Hula bicara. "Lo masuk ekskul apa, La?"

Hula membuka aplikasi belanja online lalu menggulirnya perlahan. "Nggak ada," jawabnya tak acuh.

"Loh, kenapa? Lo, 'kan, baru kelas sepuluh. Harusnya udah milih minimal dua pilihan ekskul."

Hula mulai bosan, dia merutuk Prana dalam hati. "Males," kilahnya. Mulutnya kembali mengatup tepat saat Prana sampai di antara mereka.

Prana menyapa Byal sekilas, lalu pamit dengan Hula yang sudah memakai helm sejak Prana menyerahkannya.

"Kenapa, sih, wajah lo jutek banget dari tadi." Prana membuka pintu rumahnya. Mempersilakan Hula masuk tanpa menutup pintunya seperti semula.

"Mama Wirda belum pulang?" Hula menduduki sofa di ruang tamu, diikuti Prana.

"Belum, kayaknya bakal pulang malem."

Hula bangkit menghampiri kulkas di dapur. Mengambil air dingin dalam botol, lalu memindahkannya ke dua gelas kosong. Menyerahkan satu gelas pada Prana, Hula kembali bertanya, "Adik lo, mana?"

Prana menerima uluran gelas. Diteguknya setengah, Prana menjawab, "Les, kali. Dianter bi Neti."

Hula menduduki tempat semula. Menyimpan gelas pada meja di hadapan, ia menguap lebar saat Prana meminta, "Masak, dong, La. Gue laper."

Bukannya memenuhi permintaan Prana, Hula melorotkan bahu pada sandaran sofa. Tangannya ia regangkan seiring mata yang perlahan terpejam.

"La, ayo masak."

Hula berdecak malas. Menegakkan badan, dia merotasikan bola mata bosan. "Masak sendiri, kek, sesekali," pungkasnya seraya melengos membawa langkah ke dapur. "Sini, bantu gue."

Prana tersenyum girang. Alih-alih membantu, dirinya malah duduk santai di meja makan yang menghadap pada Hula.

Hula melempar satu siung bawang merah pada Prana. "Heh, gue bilang apa tadi? Bantuin gue."

Prana berdecak malas. Diraihnya siung bawang merah yang tergeletak tak jauh darinya, Prana menghampiri dan melongok di belakang Hula. "Tahu bejek lagi?"

Prana bisa langsung menebak saat melihat bahan-bahan yang siap berupa tahu, daun bawang, bawang merah, bawang putih, merica, tomat, cabai rawit, cabai merah kriting, garam, dan terakhir-yang menjadi ciri khas-daun kemangi.

Hula menghentikan irisan daun bawang sekilas, tanpa mengalihkan atensi, dia berucap, "Lo ngeledek gue karena cuma bisa masak ini? Gue lagi pegang pisau, loh."

Mendengarnya, Prana mundur beberapa langkah. Diangkatnya kedua tangan, dengan kehati-hatian Prana berujar, "Bukan, maksud gue ... gue emang suka banget sama tahu bejek buatan lo." Prana mengelus dada saat Hula sudah kembali mengiris daun bawangnya.

Sahabatnya benar-benar mengerikan.

"Apa yang bisa gue bantu, Nyonya?"

***

"Cuci piringnya sama gue aja. Lo pulang, sana."

Tangan Hula masih setia memisahkan piring kotor di meja makan. "Lo ngusir gue?"

"Iya." Prana mengambil alih piring kotor di pangkuan Hula. Dia menyimpannya di wastafel cuci piring lalu menyempatkan melirik arloji yang terpasang di lengan kirinya.

"Udah sana ... nyokap lo pasti butuh bantuan lo sekarang."

Hula berdecak. Membayangkan dirinya menjaga Hukama atau mencuci piring kotor di rumahnya membuatnya malas. "Ya udah ... gue pulang, ya. Bye."

"Iya, bye. Makasih, ya, tahu bejeknya."

Sementara Hula berjalan ke luar rumah, Prana membereskan cucian piring kotor bekas mereka, dengan sedikit terburu-buru. Diliriknya arloji berkali-kali, dia berlari kecil menaiki anak tangga setelah membawa ranselnya di ruang tamu.

Menutup pintu kamar rapat, Prana bernapas lega saat didengarnya deru mesin mobil yang mendekat, lalu dimatikan oleh pemiliknya.

Prana duduk di tepi kasur. Air mukanya berubah tak enak seiring rasa sesak yang menyeruak.

***

Hai, hai. Lagi-lagi, aku ucapin terima kasih buat kalian yang sudah mampir!

Tasikmalaya, 4 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top