Ruang Dimensi [2]
Deru knalpot motor tua berhenti pada pelataran rumah yang tidak terlalu luas. Pemilik kendaraan itu melepaskan helm, lalu beranjak turun dari jok motor.
Niatnya untuk melangkah masuk ke dalam rumah diurungkan. Ruangan berukuran 4x4 meter itu sudah menjadi ruang singgahnya selama beberapa bulan tinggal di kota ini—Yogyakarta—sebuah tempat yang katanya
terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.
Birawa sudah terlalu betah singgah, melupakan fakta bahwa jauh dari orang tua dan sanak saudara itu menyedihkan. Sekarang ia memiliki satu lagi zona nyaman yang tak bisa lagi diganggu gugat.
Yogyakarta memang terlalu istimewa untuk ditinggalkan. Bukan hanya karena kotanya, tetapi sebuah kisah yang tersaji di dalamnya
menjadi salah satu alasan tetap tinggal lebih lama.
Jika selepas hujan seperti ini, ia mendadak rindu dengan rumah. Kehangatan yang tersaji di dalamnya, bersama obrolan-obrolan ringan yang akan ia bicarakan dengan bapak sembari minum teh buatan ibu. Kadang mereka berbincang hingga lupa waktu. Kalimat-kalimat gurauan yang sering ia lontarkan untuk orang tuanya tidak akan berhenti sebelum suara azan menginterupsi mereka. Saat matahari berpamitan, horizon mulai berwana oranye bercampur ungu, meninggalkan kegelapan dan kehampaan.
Birawa termangu di beranda rumah. Ia memandangi langit yang sudah mulai redup dan dedaunan yang masih basah oleh hujan. Kemudian merasakan sisa-sisa kehangatan pelukan Ticia di atas tubuhnya yang dibalut
kaus berwarna gelap.
Lalu ingatan Birawa seperti kembali pada tiga bulan silam sebelum ia singgah di kota ini untuk mencari pengalaman hidup, katanya.
“Dulu, saat aku kecil ingin makan ayam goreng saja harus menunggu lebaran datang. Sekarang, melihatnya saja sudah tak berselera,” ujar Birawa, memecah hening
di antara mereka.
Bapak yang sedang duduk sembari menikmati secangkir kopi, menatap anak sulungnya. “Itu artinya kamu tidak bersyukur,” sahut bapak.
“Aku juga ingat saat aku meminta uang 500 rupiah, tapi harus mendapatkan omelan selama berjam-jam oleh Ibu.” Birawa mengenang masa kecilnya.
Wanita paruh baya dengan sepiring pisang goreng menghampiri mereka. Aroma tepung yang dipadukan dengan pisang lalu digoreng itu menguar—berhasil membuat perut Birawa seketika keroncongan.
“Kamu tahu, Wa. Dulu saat Ibu memarahi kamu hanya karena uang 500 perak, Ibu diam-diam menangis. Bukan karena pelit, tapi karena Ibu memang tidak punya.” Suara wanita itu terdengar untuk pertama kali.
“Sekarang saat roda kehidupan sudah berputar, dulu yang awalnya kita di bawah, lalu perlahan merangkak naik ... harusnya kamu lebih pandai bersyukur.” Wanita paruh baya itu mengusap rambut anaknya.
Birawa terenyuh, betapa saat ini ia lupa cara
bersyukur. Justru ia senang menghamburkan uang, tidak memakan makanan yang ia beli, atau membeli barang yang tidak dibutuhkan hanya karena merasa mampu mencari uang sendiri.
“Aku ingin merantau, kebetulan aku mendapat panggilan interview di kota sebelah,” ucap Birawa tiba-tiba, membuat suasana mendadak dilingkupi suasana canggung.
Memang ini yang ingin Birawa katakan, tetapi menunggu waktu yang tepat tidak selalu dapat. Akhirnya sekarang, ia bisa mengutarakan keinginannya.
Birawa menyiapkan hati atas semua risiko yang akan diterima. Sang ibu sudah pernah berpesan, agar tak perlu bekerja jauh-jauh. Namun, apa yang ia dapat dari tempatnya
bekerja sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhannya.
Ah, apakah benar itu semua tentang kebutuhan? Bukan tentang gaya hidup?
“Kenapa mendadak?” tanya ibu.
“Sebenarnya tidak mendadak, aku ingin berbicara dari satu minggu yang lalu. Tapi, karena kalian sibuk dengan warung, akhirnya aku menunda untuk mengatakannya,” jelas Birawa.
“Kenapa sampai jauh-jauh ke kota orang?” Kali ini bapak ikut bertanya.
“Hm, aku ingin mencari penghasilan yang lebih besar, Pak. Lagipula aku juga ingin mencari pengalaman hidup. Aku tidak ingin masa mudaku hanya dihabisi oleh waktu dan selamanya akan duduk di balik meja kerja yang bukan milikku.” Birawa menjelaskannya dengan penuh kehati-hatian, takut apa yang ia katakan menyinggung perasaan kedua orang tuanya.
“Bersyukur, Wa, bersyukur! Sudah Ibu bilang, selama kamu tidak pernah mensyukuri apa pun yang ada, kamu akan selalu merasa kekurangan. Bukankah di atas langit masih ada langit?” tegas sang ibu.
Birawa hanya terdiam dengan kepala tertunduk. Kemudian bertanya-tanya, apakah ia sudah bersyukur?
“Kamu tidak ingin hidup di atas perintah atasan, bukan?” tanya bapak.
“Iya, Pak.”
Laki-laki yang usianya menginjak angka 50
tahun itu, paham betul tabiat anaknya yang tidak suka diperintah-perintah. Anak sulungnya berjiwa bebas, tidak dalam kekangan.
“Kalau begitu, berwirausahalah,” putus bapak.
Birawa menghela napas berat. Ia tidak pernah menjatuhkan minatnya pada sesuatu yang bapak katakan. Ia merasa berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Melakukan apa pun, sesuai dengan kehendak hati.
“Birawa ndak berminat, Pak,” lirihnya.
Suara tawa garing terdengar. “Terus kamu akan bekerja di mana? Bukankah selama kamu bekerja dan ikut orang lain kamu akan tetap dalam kukungan orang itu? Dengar, Wa ... sekecil apa pun usahamu, kamu tetap bosnya.”
Birawa menggeleng. Keputusannya untuk merantau sudah bulat. “Birawa tetap ingin mencoba dengan sisa-sisa keberuntungan yang masih dimiliki.”
Suara langkah kaki terdengar menjauh, meninggalkan sebuah kursi kosong. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan kesal yang bercokol di dalam tenggorokan.
“Kuncinya cuma satu, Wa. Bersyukur!”
Suara itu sayup-sayup terdengar oleh Birawa. Namun, ia tak mengindahkannya, kaki jenjang itu tetap melangkah masuk ke dalam rumah bersama segala emosi yang mulai bercokol di ubun-ubun.
Birawa mengusap wajah menggunakan telapak tangan. Seketika merasa kerdil dengan dirinya sendiri. Betapa ia selama ini merasa bahwa gaji yang ia terima selalu kurang. Padahal upahnya sekarang lebih besar daripada saat bekerja di kampung halamannya.
👉👈
Cerita ini ditulis berdasarkan naskah versi buku.
Selamat membaca 💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top