Penolakan [3]
“Cia ...,” panggil Birawa.
Gadis itu menoleh, menatap Birawa dengan lekat melalui matanya yang teduh.
“Aku ingin bertanya.”
“Kamu selalu banyak tanya, Wa.” Sebuah senyuman manis tersungging.
Mereka duduk di bangku panjang menghadap ke arah jalanan. Semilir angin mampu mengurangi teriknya siang ini. Rambut sepunggung milik Ticia bergerak-gerak tertiup angin.
“Betul juga, ya.” Birawa menganggukkan kepalanya.
“Jadi?” Ticia meletakkan ranselnya di atas meja.
“Bagaimana ceritanya kamu bisa mendapat beasiswa di kampusmu?”
“Bukannya aku sudah bercerita?”
Birawa menggeleng. Obrolan mereka terhenti karena seorang wanita paruh baya datang membawakan pesanan mereka, es teh dan tempe goreng tepung yang digoreng setengah matang.
“Aku baru sadar kalau selama ini aku yang terus bercerita, lalu kamu selalu berlakon sebagai pendengar,” sahut Birawa. “Terima kasih, ya?”
Ticia mengangguk. Ia pun baru sadar belum pernah bercerita tentang semua kisah yang sudah dilalui. Namun, mendengar Birawa bercerita seperti melihat dirinya dalam versi lain. Ada bagian dari benak Ticia yang menyukai setiap goresan kisah masa lalu milik Birawa.
“Dulu, aku gagal masuk PTN melalui jalur
undangan. Aku sudah percaya diri akan lolos karena memiliki banyak prestasi penunjang. Dimulai saat baru masuk SMA, aku selalu mencari informasi tentang perlombaan yang memiliki nilai tambah. Aku belajar mati-matian supaya bisa menang Olimpiade tingkat nasional. Sampai aku lupa caranya bersenang-senang di masa sekolah karena sibuk belajar. Puncaknya kelas dua belas, kegiatan sehari-hari diisi dengan buku. Bahkan hari libur pun aku tetap belajar. Sekolah dan bimbel menjadi makanan sehari-hari.” Ticia melirik Birawa yang sedang menatapnya lekat. Nampaknya laki-laki itu benar-benar mendengarkan apa yang ia katakan.
Birawa merasa kisahnya sama dengan Ticia, tetapi jalan yang mereka ambil berbeda. Entah kenapa egonya sedikit terusik. Pikirannya mulai berlarian, bersiap untuk mencari kalimat-kalimat pembelaan jika nanti dibutuhkan.
“Waktu pendaftaran SNMPTN, semua piagam penghargaan yang kupunya selama masa SMA aku lampirkan. Dengan percaya diri, aku ambil Kedokteran di UI. Karena yakin bakal lolos, aku nggak ada persiapan lagi buat masuk lewat jalur ujian bersama. Mungkin karena terlalu sombong, sampai aku mendahului ketentuan takdir. Tuhan negur aku lewat pengumuman SNMPTN. Aku nggak lolos, Wa.” Ada gurat luka di mata bening milik Ticia.
“Aku kecewa tentu saja, bahkan hampir bunuh diri karena merasa malu dengan sikap congkak yang melekat pada diriku. Aku malu saat teman-temanku bertanya, apakah aku lolos atau tidak. Aku takut ditertawakan.” Ticia menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Lalu?”
“Aku sudah tidak memiliki niat untuk melanjutkan pendidikan dan melewatkan ujian masuk bersama begitu saja. Bahkan sampai bulan Agustus, belum ada niat untuk mendaftar melalui jalur mandiri sekalipun. Lalu, mendekati akhir bulan, aku disadarkan oleh seseorang. Katanya; kegagalan bukan untuk jadi hambatan kita terus merangkak maju. Kegagalan ada buat dijadikan pelajaran, bukan malah diratapi. Memang kalau kita meratapinya, hidup kita akan berubah?”
Birawa diam. Ia seperti tertampar mendengar apa yang Ticia ucapkan. Betapa selama ini selalu merasa jalan yang diberikan Tuhan tidak adil. Ia malu karena sudah bertingkah seolah masalah yang dihadapi sangat berat, padahal di luar sana masih banyak yang lebih menderita daripada dirinya.
“Satu hari itu, aku merenung. Batinku berbisik; Apa hanya karena tidak lolos hidupku akan berhenti sampai di sini? Ibu tidak membesarkanku untuk menjadi pecundang yang baru saja menghadapi satu kali kegagalan sudah mau tumbang. Setelah itu, aku putuskan untuk mendaftar di kampus yang sekarang. Tanpa diduga-duga aku mendapatkan beasiswa full selama pendidikan. Dari situ aku menyadari sesuatu, jika Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.”
Ticia mengalihkan fokus matanya pada Birawa sambil menyunggingkan senyum.
“Jadi bagaimana? Apa sudah cukup menyedihkan untuk membuat seorang Birawa membisu?” goda Ticia.
Birawa membuang muka. Ia lupa bahwa gadis itu gemar sekali menggoda, meskipun cerita yang baru saja didengar berhasil mematahkan egonya. Ah, rasanya ego yang bersarang dalam hatinya masih belum mampu terkikis, padahal semesta sudah sering menegur lewat orang-orang di sekitarnya.
“Aku malu,” cicit Birawa.
“Kamu juga biasanya malu-maluin.” Ticia tertawa.
Wajah berbentuk oval itu terlihat semringah, seperti apa yang ia jalani selalu baik-baik saja. Seolah dunia siap ditaklukan di bawah telapak tangannya. Itulah yang membuat Birawa menyukai Ticia. Gadis itu selalu tenang dalam menghadapi peliknya perkara kehidupan.
“Aku ingin mencoba SBMPTN lagi tahun ini,”
terang Birawa.
Ticia terperangah. “Serius? Kebetulan kalau begitu. Mari kita mencoba dengan sisa keberuntungan yang kita punya!” Ia berseru semangat.
“Kamu juga akan mendaftar?” tanya Birawa.
Ticia mengangguk antusias. “Apa salahnya? Siapa tahu aku masih punya keberuntungan.”
Birawa tersenyum melihatnya. Gadis itu benar-benar memiliki semangat kuat untuk hidup memiliki kehidupan lebih baik. Di sisi lain, ia selalu merasa bahwa mereka memiliki luka yang sama. Yang berbeda hanya bagaimana cara menyimpannya saja.
“Tapi, aku sudah lupa tentang bagaimana
matematika bekerja.” Birawa mengusap wajahnya sembari menghela napas gusar.
Setelah lulus sekolah, ia tidak bekerja di bagian yang lebih sering menggunakan otak. Namun, mengandalkan tenaga dan perkakas yang ada di bengkel.
“Nggak apa-apa. Jurusanku yang sekarang pun jarang berkutat dengan angka. Jadi kita seimbang, Wa. Satu sama.”
💥💥💥
Gimana, kalian punya temen/pasangan yang bisa diajak buat ngejar mimpi bareng, nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top