Penolakan [2]
Tidak lebih dari 30 menit, Birawa sudah sampai di depan sebuah warung makan di dekat kampus Ticia.
Ia membuka ponsel, berniat menghubungi gadis itu. Namun, saat melihat jam yang tertera di layar ponsel, perasaan bersalah perlahan muncul karena hampir satu jam setengah terlambat menjemput Ticia.
Ah, predikat jam karet tampaknya tak luput dari Birawa.
Birawa
Sudah pulang? Maaf membuat kamu menunggu lama.
Pesan itu terkirim. Birawa diam di atas jok motor sembari menunggu pesan balasan. Lama matanya memandang seorang ibu-ibu yang menggendong sebuah karung berisi sayuran.
Ia jadi berpikir ke mana perginya anak-anak si ibu? Kenapa di usia senjanya masih saja
bersusah payah pergi ke pasar seorang diri?
Lima menit berselang, pesan Ticia menghampiri ponselnya.
Ticia
Ah, aku kenal betul kelakuanmu, Wa. Bisakah kamu memutar tubuh 180 derajat?
Birawa mengernyit membaca pesan yang dikirimkan Ticia. Ia menoleh ke kanan, tidak ada siapa pun lalu ke sisi kiri, hanya ada tukang becak yang sedang mengipasi wajahnya dengan kardus bekas.
Ticia
Bukan menoleh ke samping, Birawa.
Aku menyuruhmu memutar tubuh 180 derajat.
Di tempatnya, Birawa menggaruk kepala yang tidak gatal.
Birawa
Aku tidak tahu 180 derajat menurutmu itu gimana, Ticia.
Ticia gemas sendiri. Gadis itu lekas berjalan
menghampiri laki-laki yang memakai hoodie hijau lusuh—pakaian kesayangan lelakinya. Meski Birawa jauh dari kata modis, entah kenapa ia selalu percaya diri jika bepergian
bersama dengan pemuda itu.
Ticia tahu lelaki yang selalu mengendarai motor antik di hadapannya bukanlah tipikal orang romantis, tetapi Birawa mampu menghadirkan rasa menggelitik atau mendadak mulas saat mengatakan akan mengajaknya pergi.
Sebelum ini, Ticia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang enggan berlama-lama di luar rumah.
“Ish, dasar seratus delapan puluh derajat saja tidak tahu!” gerutu gadis yang mencangklong ransel berwarna biru dongker.
Birawa menyengir saat mendengar suara gerutuan Ticia, sangat jarang melihat gadis itu mengomel seperti sekarang. Benar-benar menggemaskan.
Ticia duduk di atas boncengan, selang beberapa menit motor mulai melaju perlahan. Semilir angin menemani mereka, tak pelak meskipun cuaca sedang terik-teriknya.
Birawa yang biasanya selalu banyak omong, terlihat menjadi pendiam. Ticia jadi bertanya-tanya, apakah Birawa sedang ada masalah? Atau laki-laki itu sedang sariawan?
Ticia menghela napas perlahan berusaha
meredam kegelisahannya. “Birawa ...,” panggil Ticia.
Lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Motor yang mereka berdua tumpangi berhenti, Birawa mengusap pelan tangan Ticia yang melingkar di pinggangnya.
“Hmm,” gumam Birawa.
“Tidak jadi,” sahutnya pelan.
Ticia menghela napas, kembali menyandarkan kepalanya di punggung lebar milik Birawa.
Meski tidak memiliki kadar kepekaan tinggi, lelaki itu paham gadis yang sedang memeluknya sibuk menerka-nerka apa yang ada di benaknya.
Sambil mengulas sebuah senyuman, ibu jarinya kembali bergerak mengelus punggung tangan Ticia.
Motor kembali melaju, terus bergerak membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Asap knalpot dari angkutan umum membuat Ticia sesekali bersin. Ia tidak suka dengan debu karena membuat hidungnya terasa gatal.
“Wa, kamu tidak mandi, ya?” tanya Ticia dengan kepala yang masih bersandar.
“Aku mandi, Cia.” Birawa membuka kaca helm, agar suaranya bisa terdengar jelas.
“Terus kenapa telat?”
Birawa tertawa kecil. “Aku keasyikan melamun di atas kloset, tidak sadar kalau waktuku terbuang percuma.”
Ticia mencubit perut Birawa. “Jorok banget!”
“Cia, dengar, ya ... kadang otak kita lebih mampu bekerja saat sedang ada di kamar mandi. Kamu tahu penulis novel yang sering kamu baca, pasti mendapat ide saat duduk di atas kloset,” sahut Birawa santai.
“Sok tahu kamu!” pekik gadis itu tidak terima.
“Aku memang sok tahu. Kamu paham itu, Cia.”
Lampu lalu lintas kembali merah. Diam-diam Ticia melirik Birawa dari balik kaca spion. Ia tersenyum, lalu kembali menempelkan kepalanya di atas punggung milik laki-laki yang gemar memakai hoodie hijau tosca yang warnanya sudah mulai pudar itu—ini adalah posisi favoritnya saat membonceng Birawa.
Ia suka aroma tubuh Birawa, meski tahu bahwa pemuda itu tak terlalu suka
menyemprotkan parfum di atas tubuhnya.
“Apa yang kamu lamunkan, Wa?” tanya Ticia saat motor mereka mulai berbelok ke arah kanan.
Ticia tidak tahu ke mana Birawa akan membawanya pergi, tetapi ia selalu suka ke mana pun laki-laki itu mengajaknya berkeliling kota.
Jika pada umumnya orang-orang menjadikan bioskop sebagai tempat kencan, maka Birawa akan mengajak Ticia pergi menonton pertunjukan teater. Kalau pria lainnya membawa pasangan untuk makan ke restoran mewah, pemuda berambut sedikit ikal itu lebih memilih membawa gadisnya pergi ke warung makan yang ada di pinggir jalan.
Bukan pelit, tetapi menghargai usaha masyarakat kecil. Bukan memperkaya
investor asing, katanya.
“Hanya tentang masa lalu,” sahut Birawa.
“Kamu tidak hidup di masa lalu, Birawa.”
Birawa bergumam. “Aku tahu, aku lebih senang hidup di masa sekarang.”
Ticia menutup hidungnya saat lagi-lagi asap knalpot angkutan umum terlihat mengepul. Ini adalah salah satu alasan kenapa ia tidak suka keluar rumah, selain merasa novel yang tersusun di atas meja belajar terlalu sayang
untuk ditinggalkan, polusi udara juga membuatnya betah berlama-lama di dalam kamar.
“Kenapa?”
“Karena ada kamunya.” Birawa melirik Ticia dari kaca spion.
Wajah gadis itu memerah entah karena kepanasan atau karena ucapannya. Akan tetapi terlepas dari itu semua, Birawa menyukai apa pun yang ada pada diri Ticia.
Diam-diam dari balik kaca helmnya, pemuda itu menyunggingkan senyum tulus yang selama ini jarang sekali muncul.
“Bukannya sudah kubilang kalau kamu tidak pantas menggombal, Wa?” Ticia melepaskan tanganya dari pinggang Birawa.
Matanya menelisik sekitar mencari tahu di mana keberadaannya sekarang. Sebuah taman dengan lapangan futsal di sisi kiri dan ada lahan yang dijadikan tempat bermain bulu tangkis di bagian kanan. Belahan depannya dibuat melingkar serupa lapangan khusus lari.
Taman itu menarik perhatian Ticia yang selama ini jarang pergi mengunjungi tempat-tempat publik seperti ini. Ia lebih suka berdiam di dalam kamar, memutar musik sambil membaca tumpukan novelnya. Taman itu diapit oleh sarana olahraga, yang jarang dijumpai di tempat lainnya.
Ticia heran kenapa baru tahu kalau ada tempat seperti ini di kotanya.
“Aku baru pertama kali ke sini, Wa. Mengagumkan!” Ticia berseru antusias.
Birawa tertawa kecil. “Ke mana saja kamu selama ini, Cia?”
“Hidupku itu seperti kupu-kupu,” sahutnya sambil mulai melangkah.
“Kupu-kupu?”
“Hm, kupu-kupu. Kuliah-pulang-kuliah-pulang. Membosankan!”
Birawa tertawa mendengar istilah yang Ticia
ucapkan. Hampir satu tahun saling mengenal, ia tidak tahu banyak tentang gadis itu. Selama ini perempuan bernetra teduh itu memilih bertingkah sebagai pendengar saja, bukan sebagai pendongeng.
“Ada-ada saja kamu ini, tapi bagaimana tempat ini?” tanya Birawa.
“Menarik,” sahut Ticia singkat.
“Oh, tentu saja. Aku tahu selera kamu.” Birawa mencubit hidung merah milik Ticia.
Gadis itu mengaduh. Lendir yang ada di dalam hidungnya seperti ingin keluar, tetapi ditahan-tahan. Betapa flu yang menyerangnya beberapa hari belakangan, membuat dirinya kerepotan bernapas.
“Kamu pikir aku mi instan?”
Birawa memegang dagunya bertingkah seolah-olah sedang berpikir. “Hm, mi instan, ya? Boleh juga. Aku suka mi instan.”
Ticia menggelengkan kepala, mulai melangkah menyusuri taman yang sepi. Memang siapa yang mau pergi ke taman di siang bolong seperti ini? Iya, kecuali Birawa yang tega membawa seorang gadis berpanas-panasan.
Birawa mengajak Ticia duduk di salah satu warung yang terletak di sudut taman. Langkah mereka tidak diikuti oleh sepasang tangan yang saling menggenggam—seperti
sepasang kekasih pada umumnya. Mereka melangkah seperti tidak memiliki perasaan khusus dalam hati masing-masing.
💥💥💥
To be continue...
Tenang, ini bukan cerita bersambung kok.
Karena setiap bab jumlah word-nya banyak, jadi aku bagi menjadi beberapa bagian. Biar enggak kepanjangan dan kalian tidak bosan.
Oke, happy reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top