Penolakan [1]
“Tidak apa jika kamu terperosok ketika ingin menggapai impian, bukankah kita harus jatuh dulu sebelum pandai mengayuh sepeda?”
—Birawa.
💥💥💥
Sepasang mata bulat memandang seksama layar berukuran 5,5 inci yang ada dalam genggamannya. Ia gulir ke bawah mencari informasi lebih detail. Saat melihat tanggal yang tertera pada papan informasi laman masuk perguruan tinggi negeri, Birawa langsung mengecek kalender yang menggantung di dinding kamarnya.
Sial! Hanya tinggal satu bulan lagi, gerutunya dalam hati.
Birawa gelisah mengingat hanya tersisa waktu satu bulan untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Ini kedua kalinya ia mengikuti tes, tak akan dibiarkan gagal
lagi. Namun, bukannya lekas bangun dan mempersiapkan apa yang perlu disiapkan, lelaki itu tetap betah bermalas-malasan di atas ranjang—kegiatan yang tak luput ketika
sedang libur bekerja.
Jemarinya bergerak lincah di atas layar ponsel, sebelum akhirnya ia mencari kontak seseorang dan menekan ikon gagang telepon. Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, sambungan interlokal itu terhubung.
“Halo,” sapa sebuah suara di seberang sana.
Birawa berdeham berusaha membuat suaranya yang serak terdengar biasa saja.
“Kamu sibuk, nggak?” tanya Birawa.
“Aku lagi di kampus, Wa. Kenapa?”
Birawa mengembuskan napas panjang. Ia lupa bahwa Ticia adalah mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta di daerahnya.
“Nggak apa-apa, Cia. Aku cuma mau ngajak
ketemu.”
“Kencan?” goda Ticia.
Birawa senyum-senyum sendiri di dalam kamarnya. Betapa ia lupa bahwa gadis itu akan terlihat sangat menggemaskan dengan hidung yang memerah—karena sering terserang flu.
“Anggap saja, iya.”
Suara tawa Ticia terdengar. “Karena kita akan berkencan, bagaimana kalau kamu menjemputku di kampus?”
“Siap, Tuan Putri!”
Birawa bergegas bangkit dari ranjang, buru-buru mandi dan berniat segera menemui Ticia. Sesekali suara siulan keluar dari mulutnya, membuat seorang gadis di
seberang sana ikut menyunggingkan sebuah senyuman.
“Aku pulang sekitar 30 menit lagi. Kamu jangan lupa mandi, aku nggak mau dibonceng, kalau tubuhmu masih bau kasur.”
“Iya, iya. Bawel.”
Birawa mematikan sambungan telepon sambil menarik handuk yang digantung dekat pintu. Suara siulan yang berasal dari mulutnya tak henti-hentinya keluar, bertingkah layaknya anak SMP yang sedang jatuh cinta.
Di atas kloset, pikiran Birawa melayang—mengingat kembali jalan yang sudah dilewati selama ini. Rasanya hidup yang ia jalani tidak jauh-jauh dari ‘penolakan’. Dulu, saat baru lulus SD dan ingin melanjutkan ke sekolah
menengah pertama, ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa ‘ditolak’ itu menyakitkan.
Birawa yang beranjak remaja ditolak ketika ingin masuk SMP Negeri bergengsi di tempat tinggalnya. Ia terpaksa harus masuk SMP swasta—yang dianggap berisi oleh orang-orang bodoh. Namun, apa yang meraka katakan tentang tempatnya dulu bernaung selama tiga tahun memang benar adanya.
Ia sering mendapatkan juara pertama, tetapi tidak ada kebanggaan di dalamnya.
Birawa tidak mengerti sebuah esensi dari peringkat satu di antara orang-orang bodoh.
‘Penolakan’ kedua kembali hadir. Tiga tahun Birawa menjalani masa SMP dengan rasa pemberontakan yang ada di dalam hatinya. Ia merasa bebas tatkala dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup untuk mendaftar di SMA 1—salah satu sekolah dengan kualitas murid yang tidak perlu diragukan.
Kala itu bukan nilainya yang ditolak, tetapi dari pihak orang tuanya yang menolak dengan alasan tidak ada biaya. Bapak meminta Birawa agar menunda dulu masuk SMA. Namun, ia menentang keras permintaan itu. Dengan tegas Birawa mengatakan bahwa ingin tetap melanjutkan pendidikan.
Memang siapa yang menjamin nilainya akan berguna jika ia mendaftar tahun depan?
Birawa ingat betul saat itu, bahkan anak laki-laki seperti dirinya diam-diam menangis saat harus menelan kenyataan hidup yang terasa tidak adil. Jika dulu mengenal kata depresi, mungkin ia sudah masuk ke dalam kategori itu.
Tiga minggu berselang setelah bapak memintanya menunda sekolah, ibu memberikan sebuah brosur salah satu SMK swasta. Birawa membacanya dan spontan
menolak. Dengan dalih tidak berminat masuk ke sekolah kejuruan, apalagi swasta.
Ia hidup di desa yang memiliki keyakinan bahwa bersekolah di instansi swasta sama saja harus siap diolok-olok sebagai orang bodoh.
Namun, ibu tetaplah ibu. Bujuk rayunya mampu membuat hatinya terenyuh.
“Nak, bukan seberapa elit sekolahmu, tetapi ilmu apa yang sanggup kamu ambil dari dalamnya,” ujar ibu waktu itu.
“Biar Bapak dan Ibu saja yang hidup susah, kamu berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mau, ya?”
Melihat mata ibu yang sudah berkaca-kaca, saat itu pula Birawa mengalah. Melepaskan mimpinya untuk bersekolah di lembaga yang lebih baik.
Seperti sudah kebal dengan segala ‘penolakan’, Birawa kembali mengalaminya. Ia dinyatakan tidak lolos SNMPTN. Rasa sesak yang sekarang dirasakan berkali-kali lebih menyakitkan dari penolakan lainnya. Ia sudah berbangga diri akan lolos seleksi masuk perguruan tinggi karena juara kelas. Nilai rapornya selalu di atas KKM, bahkan ada yang hampir menyentuh angka sempurna. Pun dengan ujian nasional, nilai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris menyentuh angka 90, menjadikannya juara
umum di kalangan angkatannya.
Kejadian itu membuat rasa malas Birawa muncul, bahkan sampai membenci buku. Dalam hati ia bertanya-tanya untuk apa sekolah selama 12 tahun, tetapi mengikuti
seleksi saja tidak lolos? Untuk apa terus berusaha jika lagi-lagi apa yang diinginkan tak bisa digapai?
Kenapa dunia begitu tidak adil? Apa hanya mereka yang memiliki uang berlebih diperbolehkan mendapat hidup yang lebih
baik? Kalimat-kalimat semacam itu terus bergelayut dalam benak Birawa kala itu.
Entah berapa lama Birawa duduk di atas kloset. Dering lagu yang berasal dari ponsel membuatnya tersadar bahwa sudah hampir satu jam bergeming di kamar mandi, bahkan melupakan niatnya ke sini untuk buang air besar lalu lekas mandi.
Parahnya, Birawa lupa bahwa Ticia sudah
menunggu. Ia menghela napas gusar, menyadari masa lalunya masih saja mampu menguras emosi.
💥💥💥
Penolakan apa yang bikin kalian sampe bilang: kenapa sih dunia itu nggak adil?
Yuk sharing!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top