Rahasia Nur (II)

Tak berhenti sampai di situ. Ternyata senja tak cukup bagi dua manusia yang sama-sama baik. Sebuah luka fisik tak cukup untuk diadukan pada seorang anggota PMR. Dan, mengobati tak cukup untuk seorang yang kesepian.

Berbulan-bulan sudah berlalu sejak senja yang  indah di kamar UKS itu. Dua orang itu sudah tak lagi sering berkomunikasi. Tentu saja, karena siapa mereka sampai harus sering memberi kabar. Namun, bukan berarti ada rasa benci di antara mereka. Tak sedikitpun. Hanya saja, indahnya senja belum mampu menghadirkan perasaan di antara mereka.

Kedekatan pada saat yang indah itu belum mampu menggoyahkan janji manis Nur pada kekasihnya. Juga belum mampu mendatangkan perasaan baru pada Rian setelah setengah tahun belakangan cintanya bertepuk sebelah tangan. Bertubi-tubi mendapat luka mendalam.

Pada hari Minggu itu seharusnya siswa tidak pergi ke sekolah. Namun, karena Rian harus mengikuti olimpiade kimia, maka dia harus hadir di sekolah. Tahun itu sekolahnya yang menjadi tuan rumah. Sedangkan Nur, dia ada acara dengan anak-anak PMR. Sehingga dia juga harus datang ke sekolah

Suasana sekolah tidak terlalu ramai. Tentu saja karena hari Minggu tak akan ada banyak kegiatan. Bahkan, hari itu pun hanya ada dua kegiatan itu di sekolah. Namun, ternyata tanpa keramaian sekalipun Rian tetap kesulitan mengerjakan soal-soal olimpiade. Tetap saja kepalanya harus mengeluarkan begitu banyak asap.

Tanpa sengaja, setelah olimpiade selesai Rian bertemu dengan Nur. Dia yang sedang duduk di depan kelasnya melihat Nur lalu menyapanya yang baru saja keluar dari kelas sebelah.

“Kamu sedang apa di sini?” tanya Rian.

“Aku lagi ada acara diklat anak-anak PMR. Kamu ikutan olimpiade kimia?”

“Iya dong, aku kan suka pelajaran kimia,” jawab Rian membusungkan dada.

“Wah? Hebat dong. Gimana, susah nggak soalnya?” Nur duduk di samping Rian. Dia sepertinya ingin berbincang lebih banyak dengan Rian.

“Jangan ditanya. Udah jelas susah banget. Makanya rambutku jadi acak-acakan gini juga.”

Nur merapikan rambut Rian. Dia harus sedikit mendongak ke atas karena meskipun sedang duduk, tingginya dengan lelaki berambut lurus gondrong itu tetap sangat jauh. “Kasihan banget kamu. Tapi, nggak apa-apa lah. Yang penting udah beres.”

Tak lama kemudian Nur pergi. Sementara Rian masih bermain game di teras kelasnya. Tak lama kemudian, dia melirik jamnya. Dia bangkit dan melangkah pergi bermaksud hendak pulang. Dia pulang menggunakan angkutan umum karena belum cukup umur untuk mengendarai sepeda motor ke sekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Tentu dia harus berjalan sejauh 100 meter dari gerbang sekolah ke jalan raya—tempat angkutan umum berlalu-lalang.

Namun, di saat dia sedang menunggu angkot dia melihat Nur yang sedang mengendarai motor. Dia berhenti sebentar di samping Rian. Dia kembali menyapa Rian.

“Mau pulang, Yan?”

“Iya. Kamu mau ke mana?”

“Aku mau beli karton.”

“Hebat. Ternyata sekarang kamu udah nggak takut mengendarai motor.” Setahuku, Nur memang sempat trauma mengendarai motor. Karena sebelumnya dia pernah menabrak benteng tetangganya. Pantas Rian bertanya demikian.

“Iya lah.”

“Ngomong-ngomong, itu motor siapa?”

“Oh, ini motornya Sari. Temen kamu waktu SMP.”

“Oh iya, aku tahu. Ngomong-ngomong, aku belum pernah mencoba bawa motor bagus. Boleh nggak aku ngebonceng kamu sampai toko alat tulis?”

“Boleh aja. Emangnya motor kamu motor apa?”

“Aku punya motor gigi. Jadi, belum pernah coba motor matic.”

Rian pun menaiki motor beat berwarna biru itu. Dilihat dari plat nomornnya, motor itu baru dibeli sebulan yang lalu. Bukan main, nyaman rasanya mengendarai motor baru katanya. Berbeda dengan motornya yang sudah ada sejak Rian lahir.

Namun, bukan hanya motornya yang nyaman. Melainkan dia juga mulai merasa nyaman dengan kedekatan mereka. Apalagi setelah dia membonceng Nur. Wajar saja dia merasa sangat bahagia bisa membonceng wanita. Meskipun awalnya dia tidak menyimpan perasaan apapun. Itu karena Rian belum pernah sekalipun membonceng seorang wanita selain ibunya sendiri.

Ternyata siang yang terik tak hanya membakar permukaan kulit. Tapi, dia juga membakar setiap janji yang terpatri. Panasnya juga membakar setiap luka dan menggantinya dengan perasaan baru yang akan tumbuh menjadi suatu perasaan yang utuh.

Setidaknya, itulah kisah yang kudengar kemarin, pada hari Senin. Tepatnya sehari setelah kejadian itu berlangsung. Aku mendengarnya langsung dari sahabatku. Dari seorang tokoh utama dalam kisah ini. Dialah Rian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top