Hujan, Kelam, Damai
Chanbaek AU
- Baekhyun Hujantera
- Damaiwana Chanyeol Seputra
Hujan, membisu saat menyaksikan haru biru ku.
Kelam, gelap gulita dan awan kelabu adalah pendahulunya.
Damai, kesan positif yang dihaturkan di setiap irama air turun dan petrikor.
Warn!
Ini cerita tentang gay! Ada male pregnant nya juga! Bagi kalian yang homophobic silahkan melonggar dan hush pergi jauh.
Karakter murni ciptaan tuhan, saya hanya mengkonfigurasikan mereka ke cerita ini. Sebagai salah satu warga Indonesia.
Cerita ini juga terinspirasi dari salah satu short film Melayu yang saya gatau judulnya apa. Jadi, kalau ada yang tahu judulnya. Bisa dm saya, Sama-sama.
Summary :
Hubungan pernikahan administratif mereka telah mencapai 15 tahun. Selama ini, keadaan keluarga mereka baik-baik saja. Hingga berita yang Chanyeol berikan menjungkir-balikkan asumsi Baekhyun.
Mau mencoba buat cerita sedih, tapi enggak tau. Bakalan beneran sedih atau kesannya klise.
.
.
.
.
Hujan, Kelam, Damai
.
.
.
.
Gelap. Rumah kecil ku yang letaknya di Komplek Perumahan Gahari menjadi kelam. Gara-gara hujan.
Mereka menjatuhkan dirinya ke dunia dan pecah dengan bodohnya. Sama seperti ku. Aku mengerti, pasti karena aku bodoh. Ia membuat pengakuan ini.
Kami berdiri di balkon, jauh dari kamar putra kami yang tengah terlelap. Ini masih pukul 14.00, dan jadwal putra kami untuk lelap siang.
Ia menghela nafas, dan mulai berbicara. "Aku rasa, aku selingkuh Baek."
Aku tidak terkejut sama sekali. Aku mengetahuinya. Tapi ia tidak tahu kalau aku mengetahuinya.
"Ternyata benar." Kataku. Aku melihatnya mengernyitkan dahi. "Aku sebelumnya tidak percaya dengan ucapan teman-temanku. Tapi, ternyata mereka memang benar." Lanjutku.
Ia mendekatiku dan mencengkeram kedua bahuku dengan lembut. "Apa maksudmu Baekhyun?"
"Dio pernah memberi tahuku bahwa ia melihatmu pulang kantor dan menuju apartemen bersama seorang wanita."
Pedih sekali, mengingat saat itu. Aku terpuruk sendirian, ia baru pulang esoknya. Aku menarik nafas untuk mencoba tegar, lalu melanjutkan, "Aku tidak percaya, karena buktinya hanya berupa foto. Tapi sekarang kau pun mengakuinya, Chan."
Chanyeol menatap mataku dengan sendu. "Kau ternyata sudah mengetahui nya sejak lama. Lalu, mengapa kau tidak melakukan apa-apa?"
"Aku malas."
"Kau... Apa?"
"Kau berjanji di altar, tapi kau ingkar. Aku tidak mau mengingatkan seseorang tentang janjinya. Karena itu adalah urusan antara dirinya dan keteguhannya."
"..."
Aku mengeluarkan amplop yang kusembunyikan sedari tadi. "Ini, surat cerai. Bulan depan adalah perceraian kita. Aku menggugatmu."
Wajah Chanyeol tampak sedikit terkejut mendengar ucapan dan tindakanku. "Tapi sebelum hari itu, kau harus bertingkah seperti biasanya. Sehun akan mengikuti ujian penerimaan. Aku tidak ingin mentalnya terganggu karena ulahmu."
Ku lihat Chanyeol mengangguk. "Kalau begitu, aku akan ke kamar dulu." Kataku. Meninggalkan Chanyeol termenung disana.
Kamar ini mungkin akan aku tinggalkan sebulan lagi. Mengingat tingkah Chanyeol. Jadi ia bersikap baik dan mesra selama ini, hanya untuk menutupi kebohongannya.
Aku berjalan mendekati sebuah pigura besar bercorak perak dengan bunga biru yang memikat. Di balik kaca bening jernih itu, terdapat foto kami berdua. Foto pernikahan kami.
Chanyeol memakai tuksedo perak dan aku memakai tuksedo putih sambil menggenggam sejerat bunga mawar putih. Indah.
Aku mulai bermonolog. Tetap menatap pigura antik ini. "Apa aku sudah tidak cantik lagi, Chanyeol?"
"Jika masih, kenapa kau membiarkan rona wanita itu membayang-bayangimu?"
"Apa aku sudah tidak pandai lagi?"
"Jika masih, kenapa kau membiarkan dusta wanita itu membuaimu?"
"Apa aku tidak bisa melayani mu dengan baik lagi?"
"Jika masih, kenapa kau membiarkan kepedulian palsu wanita itu menekuk lututmu?"
"Apa.. apa kau sudah tidak.. hiks, menyayangiku lagi, Chan--hiks." Aku tidak bisa membendungnya lagi.
Lantas aku bersimpuh tepat di bawah pigura itu dan menahan tangis. Ini terlalu menyakitkan.
Apa yang kau lakukan Park Chanyeol?
Ah, aku tidak melihat Chanyeol masuk ke kamar ini dari tadi. Dimana dia?
Aku pun bangkit dan berjalan ke luar kamar. Ke kamar Sehun lebih tepatnya. Manik kelam ku menangkap sesuatu yang membuatku sesak. Benar-benar sesak.
"Maafkan ayah, Sehun-ah." Kata Chanyeol.
Aku melihat suami ku terduduk di pinggir kasur sembari mengusap dan memainkan surai hitam pekat anak semata wayang kami.
"Ayah membiarkannya masuk dan merusak kebahagiaan Ibumu."
Aku masih mengintip sambil menguping. Juga menutup mulutku menahan isakan.
"Maafkan ayah, Sehun. Hiks."
Aku berlari menjauh, suara tangisan suamiku yang jarang terdengar meruntuhkan segala pertahananku. Aku tidak ingin mendengar tangisannya, aku tidak ingin membuat semua menjadi berbelit. Aku hanya ingin melihat senyuman lebarnya.
Mulai hari itu, Chanyeol bersikap biasa. Tidak terlalu mesra seperti beberapa hari belakangan ini. Menampilkan kebohongan hanya untuk membuat anakku merasa baik.
.
.
.
.
Hujan, Kelam, Damai.
.
.
.
.
Chanyeol tengah bekerja di kantornya hari ini. Seperti biasa, aku akan membuatkan sarapan yang lezat untuk keluarga kecil ku yang sebentar lagi akan runtuh ini.
Sehun juga sudah pergi ke sekolah. menunggu hari pembagian rapor, sekolahnya mengadakan remedial.
Aku pun kini tengah duduk di meja toko baju ku. Aku punya butik. Memang, bukan butik besar agung nan mewah. Tapi, butik inilah yang menjadi sumber kebahagiaanku. Penat dan rasa lelah hilang ketika aku mulai menggores di buku sketsa.
'CLING'
Lonceng yang ada di depan pintu masuk berbunyi. Ada seorang pelanggan rupanya. Aku pun mendekatinya. Wanita ini sangat cantik, rambutnya pirang dan ia sangat ramping.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
"Ah iya! Perkenalkan namaku Mawar Parkandari. Aku ingin baju yang sesuai untuk acara pertunangan." Katanya dan mengulurkan tangannya. Ramping, pantas saja.
"Kalau boleh tahu, tema acaramu seperti apa?" Tanyaku.
"Lumayan mewah, bertema mawar lebih tepatnya. Tapi aku juga tidak ingin memakai gaun panjang."
Aku tersenyum dan menarik pergelangan tangannya dengan lembut menuju area display baju.
"Aku menyarankan dirimu untuk memakai gaun pendek ini. Panjangnya hanya sebatas lutut dan warnanya cocok dengan rambut pirangmu."
Wajahnya terlihat berbinar. Sepertinya ia menyukai gaun ini. Faktanya, gaun berwarna rose gold ini memang sangat musim semi. Bagian pinggul ke atas, dihiasi oleh gantungan bunga mawar berwarna senada yang cukup kecil. Juga dengan mutiara yang berwarna agak pink.
"Aku suka yang ini. Aku ambil."
"Baiklah, silahkan tunggu di meja kasir ya, Nona." Kataku sambil tersenyum ramah dan mengarahkan tanganku ke arah meja kasir. Tempatku tadi.
Ia pun berjalan dengan sangat anggun menuju area itu. Aku mengambil gaun tersebut dan melipatnya, kemudian membawanya menuju meja kasir.
Wanita itu sepertinya tidak fokus dengan kegiatanku. Dia tetap memainkan smartphone-nya, lalu tertawa renyah. Aneh.
"Nona, silahkan."
Dia terperanjat, kemudian tersenyum kepada ku. "Terimakasih, aku akan bayar cash."
Kemudian aku menyerahkan nota, dan ia langsung mengeluarkan lembaran uang merah dan memberinya padaku.
"Terimakasih, semoga pertunangannya berjalan lancar." Cih, aku munafik sekali.
I
Sehun, bagaimana dengan anak bongsorku itu? Aku tidak mau ia punya trauma atau penyakit mental gara-gara semua ini.
Apa yang harus aku lakukan?
Pukul 3 sore, aku akan istirahat saja. Aku pun melangkah keluar dan menaruh gantungan di pintu bertuliskan "recessing." Lantas aku pergi keluar lewat pintu belakang.
Jalanan disini memang berbeda dari jalanan ibu kota. Disini bersih, asri, dan sejuk. Distrik pertokoan ini memang terkenal bersih, juga ada beragam pertokoan disini. Bahkan, restoran.
Eat well, aku masuk ke restoran bertema industrialis. Aku menelpon salah satu temanku untuk makan bersama disini, sekaligus bertanya soal kehidupan suami ku di kantornya.
"Halo, Dio. Aku di Eat Well, mau makan bersama?" Tanyaku.
"Ah, 15 menit lagi aku akan sampai, tolong pesankan aku makanan. Terserah kau."
Aku tersenyum. "Tentu. Bye Dio."
"Bye Baek!"
Telepon pun terputus, dan seorang pelayan datang padaku.
"1 porsi Fish and Chips, 1 porsi kentang goreng, 1 porsi Chicken Cordon Bleu. Dan, air mineral dua botol." Pelayan itu mencatat lantas pergi.
14 menit berlalu dan aku melihat surai hitam terang yang sangat ku kenali. Kemudian wajahnya tampak namun menggunakan masker hitam.
Aku melambaikan tangan, dan sosok itu juga. Matanya menyipit, sepertinya ia tersenyum. Makhluk itu agak berlari dan langsung menghampiriku.
"Hai, Baek!"
"Halo, Dio." Kataku sambil tersenyum.
Namanya Dio Ambra Nugraha. Sudah kawin dan dikaruniai anak laki-laki yang tampan.
"Kau sudah memesankan ku?"
"Sudah."
Dio pun mentransmisikan tatapan binar bahagianya menjadi kelam kelabu. "Kau pasti ingin menanyakan tentang Chanyeol ya?"
"Kemarin dia mengakui segalanya, Dio."
Dio sontak terpekik namun ditahannya, dia tentunya masih waras untuk tidak berteriak di tempat umum.
"Aku seharusnya memberi tahu ini lebih awal, maaf Baek."
Aku tersenyum lalu menggenggam tangan putihnya. "Aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Karena disini aku yang salah, aku salah karena memilih orang sepertinya."
"Ayolah, Baek. Itu bukan salahmu! Dengar, ini semua gara-gara wanita itu."
Kenapa air mataku mudah sekali lolos, sih?
"Ti-tidak Dio. Ini salahku karena aku tidak cantik, ini salahku karena tidak menawan. Maka dari itu, Chanyeol memilih untuk menjalin hubungan dengan orang lain." Kataku.
****
Belakangan ini Chanyeol benar-benar seperti yang ku inginkan. Sebelum perceraian kami, ia betul menyempatkan waktunya untuk keluarga kecil ini.
Aku tidak tega padanya, Chanyeol pasti sangat sakit jika jauh dari orang yang dicintainya. Ya kan, Chan?
Kami saat ini tengah menyantap makan malam di meja makan. Buatan Chanyeol sih, aku hanya membantu menghidangkan.
"Ah ya, Sehunnie." Kata Chanyeol.
Sehun mendongak dan menatap wajah ayahnya dengan mulut yang penuh nasi. Btw, Chanyeol memasak sayur asem.
"Um?"
"Bagaimana ujian masuk mu?"
Sehun menunduk dan mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak tahu, lumayan susah. Tapi aku bertemu seseorang, yah!"
Mata Sehun seketika berbinar. Namun, saat itu juga hujan jatuh. Tiba-tiba sekali. Petrikor kembali terhirup. "Hah, hujan terus, ayah akan sulit berangkat ke kantor."
"Ayah! Dengarkan Sehun dulu!" Kata Sehun sambil mengembungkan pipinya.
"Maaf, maaf. Seseorang seperti apa yang kau maksud?"
"Sangat cantik ayah! Aku rasa dia dari SMP yang letaknya di dekat mall itu!"
Aku terdiam sejenak. Oh yatuhan, jangan sampai ini terulang.
Chanyeol menjadi girang mendengar ucapan Sehun. "Yang aku tahu, namanya Irene yah! Dia itu sangat cantik dan dia juga sangat ba--"
"Bagaimana dengan Luhan?" Kata ku memotong ucapan Sehun.
Sehun meletakkan sendok dan garpunya dan menunduk sedikit. Kemudian aku berpidato lagi, "Kau belajar menghianati seseorang sekarang?"
Sehun mengangkat kepalanya. Ah, anak ini cengeng sekali. "A-Aku.. uhm."
"Apa kau tidak memikirkan perasaan Luhan, huh?"
Aku lupa mengatakannya. Luhan adalah kekasih Sehun, bahkan Sehun meresmikan Luhan di hadapan ku dan Chanyeol, juga orang tua Luhan.
"Hanya saja, aku-uhm.. aku menemukan orang yang lebih cantik."
Aku melirik Chanyeol sekilas, dan ternyata ia menunduk juga. Aku tidak menyadari sedari tadi. Pandanganku kembali teralihkan ke Sehun. "Jangan terbuai Sehun, karena sifat seseorang yang harus diprioritaskan. Rupa itu hanya bonus."
Aku berdiri dan mulai meninggalkan Sehun juga Chanyeol yang masih terduduk.
"Jangan membuat orang malah membencimu Sehun."
Aku pun pergi meninggalkan mereka berdua. Sorry to say, tapi peribahasa itu memang benar adanya.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Aku percaya peribahasa mulai sekarang.
****
Hari semakin berlalu dan tanggal perceraian kami semakin dekat. Seperti janji nya, Chanyeol bertingkah seperti biasa. Tidak, bukanya seolah tidak terjadi apapun.
Tapi Chanyeol memperlakukan ku seperti di awal 15 tahun pernikahan kami.
Sehun baru saja berangkat menuju SMA barunya, dan sekarang aku sedang memasak resep bolu yang aku temukan di facebook.
Grepp
Chanyeol memelukku dari belakang. Ah, aku jadi merindukan peristiwa melankolis seperti ini. Dimana Chanyeol memelukku saat aku sedang memasak, kemudian melakukan love talk yang kadang membuatku sampai menangis haru.
"Resep baru?"
Aku sedikit menoleh kemudian tersenyum, "Iya, Dio memberitahuku. Uhm.."
"Ada apa, Baek?"
"Kau tidak pergi ke kantor?"
"Tidak. Aku ingin menghabiskan waktu bersama mu."
Aku tersenyum lagi mendengarnya. Ah! Baekhyun kau harus ingat ini adalah hal manis terakhirnya! Setelah ini kau akan pergi.
"Ya sudah, kau bantu saja aku membuat bolu." Kataku.
Dan akhirnya kami berdua memasak bersama. 'Ku terjebak di ruang nostalgia.
Bersamaan dengan itu, hujan kembali turun. Hujan memang selalu menyertai setiap kenangan manis ku. Dan hujan yang menyertai kenangan burukku adalah hujan saat itu.
Saat Chanyeol mengakui semuanya.
Semoga tidak ada hujan buruk yang kedua.
****
Hah, hari perceraian. Aku, uhm. Entahlah. Tidak tahu bagaimana cara menanggapi suasana hati yang seperti ini.
Bahagia? Tentu. Aku bisa terbebas dari dosa. Dosa menghalangi orang yang mencinta.
Sedih? Tentu. Aku harus kelihangan orang sepertinya.
Kecewa? Tentu. Karena hasilnya tidak sesuai rencanaku.
Aku sudah memberitahu Sehun masalah ini, untungnya bocah itu bisa mengerti. Walaupun dia menangis seharian, tapi untung saja dia tidak bebal.
"Apa?" Kata Sehun. Ia memandang kami berdua yang duduk berseberangan di meja makan.
"Seperti yang kau tahu Sehun, aku dan ayahmu tidak bisa bersama lagi." Kataku meyakinkannya.
Aku melihat Sehun mulai menangis. Aku paling tidak tega melihat anakku menangis.
"B-baiklah. Aku rasa ini memang yang paling baik. Aku tidak ingin Ibu tersiksa lagi. Aku akan ikut ibu."
Sehun kemudian memelukku. Apa maksudnya tadi? Apa..
Apa ia tahu tentang ini?
Aku mengalihkan pandanganku dari Sehun--yang memelukku sambil bersimpuh--ke arah Chanyeol yang menatap kami dengan sendu.
"Maafkan, Ayah."
"Tidak apa Chan. Setiap perbuatan pasti ada alasan kan? Tenang, aku tidak menyalahkanmu, ataupun Mawar."
Aku kemudian melepas pelukan Sehun dan beranjak ke kamar. Guna mengemasi barang-barangku.
Harapan ku tentang hujan buruk itu sirna. Ia memang turun lagi ternyata.
Paginya, tunggu. Ini bahkan belum fajar haha. Aku menatap Chanyeol yang tertidur dengan selimutnya. Kemudian mengecup bibirnya, dan pergi.
"Berbahagialah, Chan."
Aku lalu ke kamar Sehun. Aku melihat matanya yang bengkak. Ia pasti menangis dalam waktu yang cukup lama.
"Maafkan ibumu Sehun. Kau tinggallah dulu dengan Ayahmu. Ibu akan tinggal dengan Paman Kai untuk sementara waktu sampai persidangan, lalu Ibu akan ke Bucheon."
Aku mengecup dahinya cukup lama, kemudian beranjak pergi dari rumah itu.
Ini salahku karena tidak menarik lagi, oleh karena itu semua ini terjadi. Aku salah karena membiarkan Chanyeol berkegiatan sepuasnya. Salahku juga hingga rumah tanggaku hancur.
"Kau siap, Baek?"
Aku terkejut saat Dio menepuk bahuku. Kemudian aku berdehem, "Aku siap."
Aku memasuki pintu besar kayu itu. Ruang pengadilan. Bahkan aku sudah melihat Chanyeol terduduk di kursi tergugat.
Sidang terus berjalan dan aku hanya melihat tatapan sendu, memohon, dan pasrah dari Chanyeol.
Sepanjang sidang berlalu, Chanyeol tidak menyangkal apapun. Aku bahkan melihat siapapun ada di pihak Chanyeol. Dia terlihat seperti narapidana.
Ibuku tidak bisa datang, ia sedang di Bucheon. Kalau Sehun, aku menitipkannya di rumah Tuan Wu, rindu Luhan katanya.
Yang hadir disini adalah ayahku, Dio, dan anggota keluarga Chanyeol.
Sidang selesai sudah, dan kami berdua sudah menyandang status mantan suami. Aku berjalan keluar dan... Ah, aku tidak kaget lagi.
Ini adalah hujan burukku yang ketiga. Aku tidak menyangka, hujan yang begitu aku sukai dan memberi kedamaian kepadaku ternyata bisa kelam juga.
Walau tidak menutup kemungkinan setelah ini akan muncul pelangi. Tapi tetap saja.
"Baekhyun." Aku menoleh. Melihat Ibu mertua ku sambil menangis seperti ini, membuat ku luluh. Entahlah.
Tiba-tiba ia memelukku dan berbicara dengan sangat lembut, "Maafkan Chanyeol ya nak."
Aku membalas pelukannya. "Tidak apa-apa, ini yang terbaik."
"Aku harap kau hidup bahagia Baekhyun, berbahagia lah Baekkie."
Setelah itu Ibu mertua ku pergi sambil dirangkul suaminya juga kakak iparku, Yura.
"Baek."
"Ada apa, Chan?"
"Uhm, aku tidak tau harus berkata apa."
Aku tersenyum kemudian. "Kau tidak perlu berkata apapun, cukup hidup dengan baik dan jaga dirimu. Temukan orang yang lebih tepat dariku, okey?"
Lalu aku mengulurkan tangan kanan ku. Dia meraihnya dan tersenyum.
"Kita berteman, Chan!"
"Tentu, kita tetap berteman."
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untuku....
sendiri....
"Hiks--"
The End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top