2. Permusuhan yang Dimulai?
Aku tidak bisa bersuara sejak satu menit lalu. Maksudku, di tengah situasi ini, siapa yang bisa berkata-kata?
"Kamu sekarang udah naik kelas, jangan bikin malu angkatan kamu dengan tingkah kamu yang kekanakan ini, Ezra?!"
Pria paruh baya dengan seragam guru di depanku, sibuk mengomel sejak satu menit lalu, kepada cowok yang sekarang berdiri dengan aura gelap di sebelahku. Omelannya sedari tadi tidak henti soal reputasi, nama baik, dan tingkah laku buruk. Sial, masalah sebesar apa sebenarnya yang aku ikuti ini?
Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat. Hiks.
Aku hanya bisa menangis dalam hati. Padahal aku hanya ingin bersekolah dengan tenang bersama Elin.
"Hei!" Terdengar suara tajam di sebelahku. Suara tajam yang membuatku langsung terkesiap. Melirik, aku langsung bersitatap dengan sepasang mata yang menyorot tajam. Aku tarik kembali wajah tampan yang tadi aku sebutkan. Sekarang cowok ini menakutkan! Mengerikan! "Sampai kapan lo mau pegangin jaket gue? Lo mau ganti rugi kalau jaket ini sampe rusak?"
Kalau jaketnya sampai rusak hanya karena dipegangi, harusnya dia mengomeli pedagang jaketnya, kan? Pasti ada yang salah pada jahitannya, kalau begitu. "Itu...." Tapi bagaimana cara menjelaskannya kepada orang lain tanpa membuat sumbu emosi pendek mereka, meledak saat itu juga? Haish, tidak semua orang mengerti logika sesederhana itu! "O-oke...."
Sudahlah, mengalah saja.
"Jangan dilepas, Nak!" Tapi bentakan guru di depanku membuat nyali ini lebih ciut. Sudahlah, separah-parahnya mencari masalah dengan murid, nilaiku masih dipegang oleh guru, kan? "Ini, nih! Kamu nggak malu di depan adik kelas yang baru masuk?! Kamu udah jadi contoh yang nggak bagus, nggak Cuma buat teman-teman, tapi juga buat seluruh sekolah ini!"
Ah, mumpung topiknya sudah beralih ke adik kelas, aku sebaiknya menyela. Lagipula, pak guru di depanku ini memakai pin hitam lambang sekolah. Dia panitia penerimaan murid.
Alasan kenapa dia mengejar kakak kelas bisa dipikirkan lain kali. "Anu, Pak ... kebetulan saya baru, jadi saya cari...."
"Oi."
Kata-kataku berhenti ketika suara itu tiba-tiba memotong. Cowok di sebelahku sedang mendelik ke arahku. Uh-oh, ini pertanda gawat.
"Lo masih nggak mau lepas juga?"
Sebenarnya aku mau-mau saja lepas, tapi aku tidak bisa. Dan sayang sekali aku tidak bisa bicara sejujur itu di depan cowok menakutkan ini. Kasihan melihatnya diomeli karena kesalahannya sampai seperti ini, tapi aku tidak punya pilihan lain, kan?
"Maaf, tapi...." Aku melirik pak guru yang masih belum juga selesia mengomel di depan kami.
Ezra mendebas di sebelahku. "Lo yang salah, kalau begitu."
"Eh?"
"Sebagai ganti karena lo udah pegang gue seenaknya," Ezra melirik dengan sorot mata yang jauh lebih mengerikan. "Jangan salahin gue."
"Ezra, kamu dengar, nggak, apa yang saya omongin?!" Pak guru di depanku masih saja mengomel. "Ezra?!"
"Cewek ini beneran nggak boleh lepasin saya nih, Pak?"
"Kamu ini! Masih belum sadar juga salah kamu apa?!" Pak guru itu menuding ke arah wajah Ezra dengan berani. "Udah bolos tanpa kabar satu minggu berturut-turut, dikasih surat peringatan dan diskors tiga hari! Masih juga kamu belum berubah! Kamu pikir semua hukuman itu lelucon?! Kalau kamu nggak bisa hargain peraturan, lebih baik kamu nggak usah sekolah sekalian! Cuma karena kamu anak salah satu donator terbesar sekolah ini—
"Berisik."
Suara dingin itu datang begitu tiba-tiba, dingin dan menusuk, sampai tidak ada yang bisa bergerak. Seolah waktu dan ruang ikut membeku bersama cowok itu. Bahkan pak Guru yang tadi tampak berapi-api, kini ikut terdiam. Kami seperti terlempar dan terjebak di tempat yang berada jauh di bawah titik beku dengan cowok di sebelahku sebagai pusatnya.
Kemudian, secepat datang, secepat itu pula kami kembali ke depan sekolah yang ramai dengan banyak orang menyaksikan. Suhu dingin menusuk itu tidak lagi ada di dekat kami. Dan Ezra tidak lagi menatap dengan seram ke arah siapa pun. Sebaliknya, ia menghela napas.
"Kalau Bapak nggak mau suruh cewek ini lepasin saya, yaudah." Tanpa diduga, cowok itu melirikku. Sorot mata tajamnya tampak mengintimidasi. Ia menyeringai kecil. "Saya bawa cewek ini sekalian."
"Eh?" Dan suara keheranan ini tidak hanya datang dariku, tapi juga dari pak guru yang sedang tercengang menyaksikan kami.
Sayangnya, Ezra tidak sedikit pun memberi penjelasan. Ia malah langsung membopong badanku. Ya, benar. Tidak salah. Dia benar-benar membopongku, dengan dua tangan mengangkat tubuhku begitu mudah. Dua lengannya menyelip ke antara betis dan punggung sampai kedua kakiku tidak lagi menempel ke tanah.
"E-EH?!" Aku memekik, tapi sepertinya Ezra Pradipta ini punya pendengaran yang rada minus.
Jadi alih-alih mendengarkan, ia malah langsung kabur dari tempat itu.
"Eh-eh?! Ezra, mau kamu bawa ke mana anak nggak berdosa itu?!" Pak Guru itu, bahkan lebih menyedihkan dari sebelumnya, berteriak tanpa arti di lorong sekolah.
"Tadi nggak nyahut, sih, pas saya tanya! Siapa suruh!" Ezra menyahut. "Cewek ini saya pinjem sementara sampai dia mau lepasin saya, ya!"
"Ezra Pradipta, berhenti sekarang! Siapa aja, tolong cegat Ezra! Osis, Panitia, semuanya!" Teriakan pria malang itu membahana ke sepenjuru lorong, tapi percuma. "Saya bilang berhenti! EZRA!"
Pak guru malang. Tidak ada yang menurutinya. Tidak ada yang mau membantunya. Malahan, orang-orang seperti menyingkir ketika kami berlalu. Diiringi sorakan CIYEE yang tidak henti-henti sepanjang cowok ini berlari. Sorakan yang aku yakin, tidak akan berhenti di momen ini saja. Mungkin bahkan aku akan terus dihantui oleh sorak sorai norak ini sampai lulus.
Elin, aku ingin menyusulmu ke rumah sakit sekarang.
***
Untuk ukuran laki-laki, ralat, untuk ukuran manusia, stamina cowok ini benar-benar gila. Maksudku, dia membopong lima puluh kilo berat badanku melewati seluruh sekolah, berkeliling, melompat ke sana ke mari, nonstop. Hanya demi menghindari pak guru yang sepertinya sudah menghimpun pasukan sekarang, jadi alih-alih satu orang yang mengejar, seluruh panitia penerimaan murid baru mengejar kami sekarang.
"A-anu...." Aku memberanikan diri untuk bersuara di tengah-tengah pelarian kami. Ah, benar juga. Dia belum kenal aku, kan? Dan jangan sampai tadi aku kelepasan berekspresi terlalu banyak di depannya.
Ini misi rahasia, ingat Elen! Ingat bayarannya!
"Kakak, namanya kak Ezra, kan?"
Ezra Pradipta tidak menyahut. Sialan.
"To-tolong, boleh ... turunin saya?" ujarku yang sekali lagi sia-sia. Kemudian aku mengangkat tangan, menunjukkan dua tangan yang bebas kepadanya. "N-nih, saya udah lepas tangan saya dari baju Kakak, ya? Sekarang to-tolong ... ini baru hari pertama saya, Kak."
Tolong kasihani anak yang hanya ingin belajar ini, wahai berandalan berengsek yang hobinya seret-seret anak orang tanpa izin!
Terdengar suara tawa dari atas kepalaku. Ketika mendongak, aku baru sadar, cowok itu sedang tertawa. Bukan tawa mengejek atau mengancam seperti tadi. Benar-benar tawa polos seperti anak kecil. Benci mengakui ini, tapi wajahnya dua ratus kali lebih tampan saat tersenyum tulus begitu.
Yah, orang-orang paling berengsek di bumi ini memang kebanyakan punya wajah rupawan, itu fakta tidak terbantahkan.
"Lo ternyata tolol juga, ya," HAH? "Lo pikir bisa lolos begitu aja setelah seenaknya sama gue?"
Bukankah kita impas sekarang, Bangsat? Memangnya sekarang siapa yang sedang memegang orang lain tanpa izin? Terus-terusan pula. Dasar tidak tahu diri.
"A-anu ... saya minta maaf udah sembarangan," Aku meminta maaf dengan setulus yang aku bisa sekarang. "Tolong ... sebentar lagi bel masuk kelas bunyi, Kak. Saya takut—
PLAK!
E-eh? Tadi aku tidak salah lihat? Itu batu kerikil yang baru saja menimpuk kepalanya?
Oke, jangan tertawa, Elen! Jangan tertawa! Nyawamu sedang dipertaruhkan! Ingat imej pertama itu penting! Imej pertama!
Derap lari cowok itu berhenti seketika. Dan oh dasar makhluk kurang ajar, cowok itu bahkan menjatuhkan aku ke tanah. Aku menahan rengekan rasa sakit ketika pantatku mendarat. Jika sampai ada noda kotor di rok baru ini, aku akan patahkan satu tulang cowok ini, tidak peduli hukuman apa yang akan aku terima nanti!
"Ezra, astaga, kok kamu tega jatohin cewek kayak gitu?!" Aku tertegun. Suara itu bukan suara laki-laki. Bukan suara pria yang serak juga. Tapi suara tinggi yang feminin. Suara seorang perempuan.
Dan benar saja, seorang perempuan langsung berlari menghampiri, diikuti oleh seorang lelaki berkacamata di belakangnya.
Cowok bernama Ezra itu berdecak. Tampak kesal, tapi berbeda dari sebelumnya, kali ini ia tidak lari. Bahkan ketika cewek asing itu dengan kesal mengomelinya, Ezra tidak kabur atau menatap balik dengan sorot menakutkan. Malah sebaliknya, ia menerima semua omelan itu dengan tenang seperti anak kecil yang kepergok berbuat onar oleh ibunya.
"Kamu ini, ya! Tolong dikurang-kurangin, dong, bikin orang khawatir! Ini hari pertama semester baru, lho! Baru hari pertama! Jangan bikin jantung aku copot! Pak Bardan nyari-nyari kamu di sepenjuru sekolah, tau!"
Untuk satu detik yang lama, aku menatap cewek itu dengan heran.
Tadi aku tidak salah dengar, kan? Ia mengomeli Ezra saat menjatuhkanku ... tapi ia malah menghampiri Ezra?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top