1. Hari Pertama Sekolah
Tidak ada yang bilang padaku, SMA Nusa Persada akan sebesar ini.
Setelah melewati jalan yang seperti tidak berakhir, taman yang luasnya bukan main, gedung perpustakaan yang besarnya lebih dari rumah lamaku ditumpuk jadi dua, aku tiba di bangunan sekolah yang tingginya sudah bikin leher sakit.
Kepalaku mendongak sampai pegal tapi rasanya bangunan di sekelilingku tambah tinggi saja setiap kepalaku menengadah ke atas. Dengan tangan, aku menghalangi sinar matahari yang menyusup tanpa ampun ketika hendak mengecek seberapa tinggi atap bangunan yang ada di hadapanku. Dan aku berakhir tercengang sendiri.
"Tiga lantai." Aku memandangi gedung besar di depan yang sejajar tingginya dengan bangunan lain di sekeliling. Artinya aku akan menghabiskan waktu tiga tahun untuk naik turun tangga dari lantai satu ke lantai tiga, paling sedikit satu kali dalam satu bulan.
Aku yakin betisku akan berotot saat lulus nanti.
Dari pamphlet soal sekolah SMA Nusa Persada ini, sepertinya mereka bukanlah sekolah yang mengkhususkan diri untuk membesarkan para atlit. Kebanyakan prestasi mereka justru datang dari bidang ekstrakulikuler dan akademik. Kenapa juga harus membuat sekolah yang menyusahkan begini? Aku juga tidak yakin naik-turun tangga bagus untuk kesehatan sendi dan tulang.
Bukan berarti aku sudah tua dan mengkhawatirkan kesehatan tulang juga.
"Yah...." Aku mengembuskan napas. "Lebih baik dari sekolah satu lantai yang muridnya hampir hab—Aw!"
Aku mengaduh ketika ada seseorang yang menabrak pundakku. Begitu keras sampai aku bergeser dari tempatku berdiir. Dari kerasnya tenaga yang ia gunakan, sepertinya ia sengaja atau sedang berlari kencang.
Kemungkinan yang terjadi adalah yang kedua.
Perempuan yang menabrakku itu main melengos saja, berlari tanpa pernah menoleh ke belakang lagi. Seseorang hampir menjadi penabrak kedua jika aku tidak buru-buru berdiri tegak lagi.
"Mbak, jangan berdiri di tengah jalan dong!" Seorang perempuan paruh baya yang tadi hampir menabrakku menegur. Itu pun sambil lalu. "Heran, deh, anak muda jaman sekarang! Hobi banget bengong di pintu masuk! Ngalangin orang aja!"
"Ah, ma-maaf." Tanpa menjelaskan, aku buru-buru menyingkir dari tempatku berdiri yang ternyata adalah lorong utama tempat orang-orang berlalu lalang, keluar dan masuk sekolah.
Entah aku harus bilang ini karena sekolah ini terlalu mengagumkan atau akunya yang terlalu tolol. Mungkin yang kedua.
Aku menatap koper yang aku bawa di tangan. Membawa benda ini sepanjang jalan benar-benar ujian. Bisa-bisa aku sekekar binaragawan jika membawa koper ini sampai sekolah.
Mendadak saja aku menyesal menolak tawaran Om Dirga untuk diantar ke sekolah.
Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, seseorang menelepon ponselku. Di kontaknya tertulis nama Om Dirga di layar ponsel. Aku celingak-celinguk mencari tempat duduk dan melihat ada dipan kosong di depan sebuah kelas. Tidak pikir panjang, aku duduk di sana dan memasang earphone, lalu menerima panggilan itu.
"Halo, Om?"
"Halo, gimana sekolah Persada?" Suara ramah Om Dirga terdengar di seberang sambungan. "Wah, berisik banget di sana. Kamu lagi di luar, ya?"
"Ya,"
"Belum masuk kelas?"
Aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Haruskah aku bilang, aku belum sempat berkeliling?
"Belum ketemu kelasnya?"
"I-iya." Kali ini aku tergagap. Apa aku tidak sengaja mengucapkannya keras-keras tadi?
"Kamu kesasar?" Om Dirga bertanya dan aku bisa mendengar suara perempuan menyahut di seberang sana. "APA?! Elen kesasar?!"
"A-anu, tolong bilangin tante Mika, Elen bukannya kesasar, kok," ujarku. "Elen Cuma belum masuk karena kagum banget sama sekolah ini. Sekolahnya gede banget."
"Tapi apa kamu kesasar di jalan menuju sekolah?"
Ah, aku lupa. Om Dirga, kan, alumni sekolah ini! Sulit untuk membohonginya atau berkelit. "Yah ... Elen baru pertama kali ke Jakarta juga."
Terdengar suara statis ketika Om Dirga mengembuskan napas kasar di telepon. "Makanya, Om bilang, Pak Maman suruh anter aja sampe ke dalam! Pak Maman udah hapal di luar kepala jalan di dalem sekolah itu!"
Aku hanya bisa tertawa maklum. "Elen cuma nggak enak ngerepotin Pak Maman."
Bisa tolong jangan menyalahkanku, Om? ini pertama kalinya aku pergi dengan supir pribadi. Berdua dengan seorang pria asing di mobil dan berkomunikasi hanya lewat kaca spion saking luasnya mobil kami itu bukan sesuatu yang ingin aku alami setiap hari.
"Alah, kenapa nggak enak?" Suara perempuan mendadak terdengar di saluran utama sambungan, seolah ia yang berbicara secara langsung, bukan lagi asal serobot. Dan ia kedengaran merajuk. "Sekarang pakai aja fasilitas di rumah ini kayak Elin pakai! Kalian saudara! Kita sekarang keluarga! Jangan nggak enakan!"
"Baik, Tante."
Tante Mika berdecak. "Aduh, anak ini! Udah dibilangin berapa kali, masih aja pakai nada formal begitu!"
Aku hanya bisa tertawa. Kebiasaan memang sulit dihilangkan, seperti kata orang. Dan mengakrabkan diri kepada orang asing, tidak peduli sudah seberapa besar usaha orang itu untuk menolongmu, tetap tidak bisa terjadi secara instan.
Suara deham Om Dirga terdengar. Sepertinya Tante Mika merebut ponsel itu dari suaminya tadi.
"Halo?"
"Ya, Elen masih di sini, Om."
"Coba kamu cari satpam atau guru yang keliling," Om Dirga memberi saran. "Biasanya di hari pertama begini, ada guru yang keliling patroli."
Aku langsung mengedarkan pandang, mengamati sekitar sekolah yang ramai. Pikiran negatifku mau tidak mau menengok koridor di lantai dua dan lantai tiga yang penuh dengan para kakak kelas yang cengar-cengir mengamati kami, adik-adik kelas baru. Beberapa siswai ketawa-ketiwi dengan sesamanya ketika siswa-siswa yang—bahkan dalam standarku, harus diakui—tampan nan atletis lewa.
Tidak ketinggalan, beberapa siswa melirik ke arahku sampai aku harus menoleh ke arah lain.
"Gurunya biasanya keliling sampai ke lantai dua dan tiga?" tanyaku, sedikit takut.
"Nggak, lantai dua sama lantai tiga itu untuk kakak kelas," jelas Om Dirga. "Guru yang bakalan ke sana ya guru-guru lama. Emangnya kenapa? Pada keluar kelas ya? Seharusnya sekarang jam pelajaran, tuh."
Mendengar om Dirga tidak terkejut, sepertinya ini bukan hal baru. Yah, sekolah mana pun, selama muridnya masih Manusia, aku rasa fenomena ketidak patuhan semacam ini akan ditemukan.
"Paling juga guru-gurunya lagi sibuk buat persiapan anak-anak baru," Om Dirga tertawa kecil. Aku rasa, ia sedang diserang gelombang nostalgia. "Yaudah, cari aja guru yang jalan-jalan sambil bawa tanda khusus di seragam mereka. Biasanya, sih, bendera warna merah putih atau pin sekolah. Mereka itu yang jadi panitia penerimaan murid baru."
Karena Om Dirga bilang, mereka tidak ada di lantai dua dan tiga, aku mengubah arah pandanganku ke lantai satu. Memang ada kemungkinan para guru itu entah bagaimana di lantai atas, tapi untuk sekarang, prioritaskan di lantai satu dulu. Lagipula ada lebih banyak anak baru dan orang tua murid yang mungkin sama butanya denganku soal sekolah ini. Kemungkinan menemukan para panitia jauh lebih—ah!
"Kayaknya Elen ketemu!" Aku buru-buru berdiri, melihat seorang guru perempuan berjalan melintasi koridor, berhenti sejenak setiap kali menemui orang tua murid yang berpapasan dengannya. "Pinnya warna hitam dan ada lambang sekolahnya?"
Di dada seragam perempuan berhijab itu, aku melihat pin berlambang SMA Nusa Persada! Dia pasti panitia yang dimaksud oleh Om Dirga.
"Ya, bener!' Om Dirga menyemangati. "Cepet kejar dan tanyain di mana kelas kamu, ya! Sebelum telat! Sepuluh menit lagi seharusnya upacara penerimaan murid baru udah dimulai."
"Oke!" Aku menjauhkan telepon. "Nanti lagi, ya, Om!"
Aku menutup telepon itu. Tapi tiba-tiba aku terpikir: tunggu sebentar, jika aku tadi menyebutkan ciri-cirinya dan Om Dirga langsung hapal ... padahal Om Dirga sudah lama tidak main ke almamaternya ... artinya pin dan tanda itu memang digunakan dari dulu? Tanpa mengganti tradisi?
Om Dirga tidak main-main soal bilang SMA Nusa Persada menjaga tradisi mereka.
Sekolah elite benar-benar sulit dipahami.
Eh, tidak, bukan saatnya memikirkan soal hal aneh itu, Elen! Saatnya ke asrama putri dan mencari kelas!
Aku pun bangkit dan hendak menghampiri guru perempuan yang tadi aku lihat. Tidak berapa jauh. Seharusnya dalam lima langkah aku bisa menghampirinya.
"Tolong!"
Mendengar suara itu, aku buru-buru menoleh. Seorang guru laki-laki tampak berlari ke arahku. Wajahnya tampak panik. Tangannya menunjuk ke depan. Awalnya, aku kira ia menujuk ke arahku, tapi ternyata bukan.
Ia menunjuk pemuda dengan jaket jeans yang berlari ke arahku.
"Tolong, siapa aja tangkep bocah itu!"
Sesaat setelah teriakan itu menggema, pemuda itu melesat melewatiku. Dan seketika itu juga, waktu terasa seolah melambat. Anign berembus di sekeliling kami ketika sepasang mata kelabu dari wajah blasteran itu melintas.
Pemuda itu jelas tampan. Sangat tampan. Dengan kulit sawo matang dan rambut yang agak panjang dan dipotong dengan model rambut yang aku tahu, jadi tren belakangan ini, karena banyak artis dan para influencer mengenakan potongan rambut serupa.
Ia sudah ancang-ancang melompat saat tiba di sisiku. Berbeda dari pria di seberang sana, pemuda ini sama sekali tidak tersengal.
Tidak diragukan lagi, jika aku membiarkannya, pemuda ini akan bebas tanpa tertangkap siapa pun.
Dan pria tua malang di seberang sana akan entah menanggung konsekuensi apa. Pria itu mungkin payah berlari, tapi ia guru. Dan jika guru mengejar murid di tempat umum, di banyak kasus, muridnyalah yang bersalah.
Jadi aku mengulurkan tangan, secepat dan seefektif yang aku bisa. Menggenggam kerah jaketnya.
Awalnya hanya satu jari. Tapi gerakan mudah itu membuat sang pemuda terdistraksi. Ia kaget, tidak menyangka. Lalu aku memanfaatkan kelengahan itu untuk memenggenggam penuh jaketnya dan kemudian lengannya.
Kemudian, untuk pertama kalinya, sepasang mata kelabu itu menatapku. Bukan dengan tatapan ramah tentu saja, tapi aku tidak peduli.
"Tertangkap," ujarku dengan kebanggaan terselip dalam hati.
Suara napas tersengal mengikuti kami. Di dekatku, pak Guru itu berhenti. Tangannya menuding ke arah cowok di dekatku.
"Nah-sekarang...." Astaga, napasnya hampir habis. Kasihan sekali. "Mau lari ke mana kamu, Ezra Pradipta?!"
Seketika itu juga aku membelalak kaget dan menoleh ke arah cowok di sebelahku. Jadi dia yang namanya Ezra Pradipta?!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top