2

Ceramah yang dituturkan oleh kepala sekolah yang datang saat upacara masih berlangsung di tengah jalan adalah pidato yang sudah kuketahui sebelum kepala sekolah mulai naik ke panggung.

Materinya yang membosankan dan penuh siksaan bagi lutut siswa-siswi yang berdiri di lapangan membuatku ingin menjentikkan jariku dan membuat setengah penduduk Bumi leny.... Maksudku menjentikkan jari dan mempercepat waktu selama satu jam ke depan.

Aku pun teralihkan pada salah satu murid yang berbaris di depanku.

'Ah, lihat laki-laki itu. Dia mencoba melakukan apa yang barusan kupikirkan.... Sayang sekali, nak. Jangankan palu petir atau sarung tangan lima berlian, kau saja masih belum layak untuk mengendalikan kekuatanmu dengan benar.'

Akan tetapi, mau godaan seperti apapun yang diberikan oleh hatiku kepadaku, aku tetap menahan jariku untuk diam di tempat karena sebagian hal ini adalah salahku juga karena kekuatanku yang ribet ini.

Pada titik ini, kalian mungkin bingung dan ingin bertanya,

"Tapi Zen, bagaimana bisa kau membuat dunia berjalan secara natural jika bukan karena kekuatanmu yang bisa mengubah kenyataan? Tentu saja semua hal yang telah terjadi sampai sekarang, termasuk dengan ceramah itu, telah terpikirkan olehmu, kan?"

Itu benar, tapi juga salah. Maksudku, apa kalian pernah berimajinasi dan membiarkan imajinasi itu berjalan dengan sendirinya tanpa harus berpikir keras terhadap alur cerita yang akan terjadi?

Tentu saja kalian tidak pernah. Kalau tidak, kalian tidak akan menanyakan pertanyaan tersebut kepadaku dan membuang waktuku untuk menjawab pertanyaan dari kalian para pembaca.

Tapi, dipikir-pikir lagi.

'Kenapa pidato yang membosankan itu melayang ke pikiranku!?' geramku.

Jika otakku punya sel yang menyaring pidato yang membosankan dan yang tidak membosankan, akan kutegur sel otakku itu lalu memecatnya dan menyuruh sel lain yang lebih profesional untuk menggantikan pekerjaannya.

Mau tidak mau, aku harus bisa bertahan terhadap siksaan yang satu ini, menahan kekuatanku sambil mengikuti pidato yang akan langsung dilupakan sesaat setelah upacara selesai.

Setelah lima menit berlalu sejak ceramah dimulai, murid-murid lain sudah mulai ada yang bertindak mencurigakan. Sebagain dari mereka ada yang pura-pura pingsan lalu diangkat oleh anggota PMR ke UKS, ada juga yang permisi ke toilet dan tidak kunjung kembali ke lapangan, dan ada yang mencuri kesempatan saat tidak ada guru yang melihat untuk jongkok sebentar.... Klasik.

Meskipun begitu, aku tidak termasuk ke dalam golongan murid yang biadab tersebut. Dengan kekuatanku, aku melakukan sedikit kecurangan untuk membuat tubuhku tidak merasa lelah dan bertahan selama satu jam yang rasanya seperti satu abad dalam posisi tegap.

Terus terang saja, untuk hal yang semacam ini, kekuatanku sangat berguna.

Saat  kepala sekolah mulai mengantarkan penutup pidato, seluruh murid yang ada di lapangan sekolah pun seketika bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Sorakan itu adalah tangisan kemenangan mereka yang masih bertahan pada di titik ini. Tak ada yang bisa memberitahu berapa tetes darah yang telah mereka korbankan dalam mengikuti upacara ini.

....Itu karena memang tidak ada darah yang dikorbankan oleh murid-murid itu.

Aku berani bertaruh bahwa tak ada seorang murid pun yang tahu dengan apa yang dibahas pada pidato kepala sekolah tadi. Bahkan, pria yang berbaris di depanku malah tidur berdiri selama pidato berlangsung. Aku ingin membangunkan dia karena air liurnya yang mulai menetes dari dagunya, akan tetapi dia terlihat sangat pulas sehingga aku tidak tega untuk membangunkannya.

'Rest in peace. Semoga kau terbangun sebelum guru membangunkanmu.'

Upacara berlangsung normal di bawah langit yang masih mendung. Pada saat memasuki sesi berdo'a, aku mendengar beberapa murid yang berdo'a agar hujan turun sebelum bel masuk kelas berbunyi. Begitu pula dengan murid yang berdo'a agar terjadi kebakaran sekolah tanpa ada penyebab yang logis.

'Kalau kau ingin, aku bisa saja sih membakar sekolah ini, tapi kau kurang beruntung karena di alur waktu ini aku tidak akan melakukannya. Kau terlambat dua alur waktu yang lalu.'

Yah, murid-murid yang sesat seperti ini pasti selalu ada di sekolah manapun, murid dengan otak psikopat, tapi tidak cukup berani untuk melakukan apa yang mereka pikirkan.

Tak lama kemudian, setelah upacara selesai, kami menerima pengumuman untuk secara teratur melihat nama kami yang terpajang di papan pengumuman supaya kami mengetahui di kelas mana kami berada.

Jujur saja, aku sebenarnya tidak perlu melihat papan pengumuman tersebut karena aku telah mengetahui segalanya, namun aku tetap melihat papan pengumuman seperti murid biasa yang lain.

Setelah berjalan dan melihat sekilas papan itu dari kejauhan, aku pun memutar arah menuju kelasku, kelas 10-A.

Ini adalah kelas yang sama dengan kelasku pada beberapa alur waktu yang lalu.

*Srekk

Aku membuka pintu geser kelasku.

"Ooh, masih kosong!" Aku berpura-pura terkejut.

'Tak peduli apakah ada orang yang melihat atau tidak, yang penting adalah bagaimana kesanku dalam meniru orang biasa,' yakin diriku.

Aku kemudian berjalan melewati beberapa baris meja belajar menuju tepat ke meja paling belakang, di sudut dekat jendela luar. Tempat ini adalah tempat yang cocok bagi murid biasa sepertiku.

Aku duduk dan berpura-pura tidur sambil menunggu teman kelasku yang lain masuk ke kelas. Pada selang waktu ini, aku mencoba untuk berpikir sekaligus tidak berpikir bahwa di tanganku ada pena.

Aku ingin melatih kekuatanku untuk tidak aktif walaupun aku sedang memikirkan sesuatu. Alhasil, lihatlah ini!

'Hanya setengah bagian pena yang muncul di genggamanku?'

Setidaknya, pena ini masih berfungsi dan aku masih cukup bagus dalam menjaga kenyataan ini agar tidak menjadi kenyataan liar seperti mimpi malam hari yang selalu berubah secara tiba-tiba.

Misalnya, kalian sedang mimpi berada di sekolah dan kalian belajar seperti biasa, namun secara tiba-tiba sekolah kalian itu menjadi tempat zombie bermunculan dan mengubah mimpi normal menjadi mimpi buruk.

'Tenang saja, kenyataan-3234! Akan kupastikan hal seperti itu tidak akan terjadi lagi!' semangat batinku.

"Tapi, kapan calon teman kelasku masuk ke sini?" gumamku pelan.

*Srekk

'Ngomongin tentang orangnya akhirnya ada yang muncul.... Dan tentu saja aku bergumam tadi bukan karena aku tahu kalau ada orang yang akan masuk ke kelas 10-A.'

Layaknya murid biasa, aku mengangkat kepalaku sedikit untuk melihat siapa yang masuk ke dalam kelas sebelum kembali pada posisi tidur semula.

"Oh?"

'Lihat itu, gadis yang ketakutan saat melihatku tadi.'

Saat mata kami bertemu, dia kembali gemetaran seolah-olah sedang melihat hantu blau. Dia pun mengambil tempat duduk yang sangat berlawanan denganku.

Aku tidak tahu ingin merespons seperti apa, jadi aku mengabaikannya kembali, mengurusi urusanku sendiri.

Tak lama kemudian, terdengar sepasang langkah kaki serta nada tawa dari dua orang yang semakin mendekat ke dalam kelas.

Setelah satu-dua langkah, pintu kelas pun terbuka, menampakkan dua laki-laki yang penampilannya seperti berandalan.

Yang satu memiliki rambut berwarna merah, sedangkan yang satunya lagi memiliki rambut berwarna biru. Tidak hanya rambut mereka saja yang menjadi masalah, seragam mereka juga tidak terpasang dengan rapi. Kemeja yang keluar kancing kerah yang tidak terpasang, dan dasi mereka terpasang dengan longgar.

Meskipun begitu, aku tidak terlalu mempermasalahkan mereka. Asalkan mereka tidak menggangguku, mau mereka membunuh seseorang pun aku tidak peduli.

Mereka berjalan masuk. Langkah mereka berhenti sejenak di depan pintu untuk melihat tempat duduk mana yang cocok bagi duo merah-biru seperti mereka.

Setelah beberapa detik kemudian, mereka berdua memutuskan untuk duduk di dua bangku yang ada di depanku, si merah duduk di depan si biru yang duduk tepat di depanku.

Bingung?

Nah, baca ulang dengan lebih teliti.

Terlepas dari itu, mereka masih saling mengobrol satu sama lain. Di sisi lain, aku tetap mempertahankan posisi tidurku walaupun aku mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Hey, lihat dia, tidur di kelas. Bangunkan gih. Kegetkan dia dengan bilang kalau guru sudah masuk." Si merah menunjukku.

Mendengar hal itu, aku hanya bisa menghela nafas. Kenapa pemikiran yang seperti ini terjadi? Kenapa otakku tidak bisa membuat kehidupan sekolahku lebih santai?

Maksudku, aku bisa saja sih, tapi yang aku komplain saat ini adalah imajinasi naturalku yang selalu menemukan cara untuk memberiku cobaan.

'Baiklah, kalau itu maumu! Akan kuladeni semua cobaan yang kau berikan padaku, diriku!'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top