How to Enjoy Life (3/3)
-----------------
Semua manusia memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya, tentu saja. Tapi apakah pernah terbersit di pikiranmu kalau sebenarnya apa tujuan kita hidup di dunia ini? Kenapa kita begitu menginginkan umur panjang? Sebenarnya apa yang ingin kita lakukan di kehidupan kita?
-Nat-
-----------------
How to Enjoy Life (End)
Makna Hidup
Sudah beberapa hari ini Jason tidak melihat Lana. Nomor ponselnya tidak aktif, sedangkan Jason tidak mengetahui alamat tempat tinggal gadis itu. Berbagai pemikiran gelisah berkecamuk di kepalanya. Untuk pertama kalinya, Jason merasa takut.
Tidak, kata Lana, ia harus optimis, karena pada akhirnya, semuanya akan baik-baik saja. Mungkin Lana hanya terlalu sibuk akhir-akhir ini. Pasti banyak yang memesan gambarnya.
Ia benar-benar berharap begitu.
"Apakah kau Jason Lewis?" tanya seorang wanita gemuk paruh baya berseragam suster sambil menghampiri Jason yang sibuk mengelap salah satu meja kafe.
Jason menegakkan tubuhnya sambil menatap wanita itu. "Benar, bagaimana kau bisa tahu?"
"Ada titipan untukmu." Wanita itu menyerahkan sebuah buku padanya. Jason mengambil buku tersebut, dan langsung mengenalinya sebagai buku sketsa yang sering dibawa Lana, tapi tidak pernah diizinkan untuk mengintipnya.
"Di mana Lana sekarang?" tanyanya tergesa-gesa.
"Maaf, aku hanya ditugaskan untuk mengantar ini," jawab wanita itu sambil pergi.
"Tunggu!" Jason berlari menghampiri wanita itu sambil mencekal atas lengannya. "Beritahu aku di mana Lana sekarang."
Wanita itu melepaskan tangan Jason dengan sopan, lalu berkata, "Kau akan tahu jika membaca surat di dalamnya." Kemudian wanita itu pergi.
Jason tidak membuang waktu, diam-diam ia mengikutinya sampai wanita itu masuk ke dalam sebuah mobil, lalu Jason memberhentikan taksi untuk membuntuti mobil itu. Selama di dalam taksi, Jason membuka buku sketsa itu dan membaca secarik kertas dengan tulisan Lana di atasnya. Tulisan itu, tidak seperti tulisan Lana lainnya, terlihat berantakan dan terkesan rapuh. Tapi Jason masih bisa mengenali karakter Lana di dalamnya.
Hey, Jason.
Aku hanya ingin bilang kalau aku senang sekali bisa mengenalmu. Semoga Tuhan memberkati hari di mana kafe itu dibangun. Seandainya aku bisa memperpanjang waktu lima bulan bersamamu ini...
Buku gambar ini adalah satu-satunya barangku yang paling berharga, dan satu-satunya kenang-kenangan yang bisa kuberikan padamu. Karena toh aku juga tidak akan memerlukannya lagi suatu saat.
Aku tahu kau mati-matian ingin melihatnya. Dan sekarang, huray, permintaanmu terkabulkan. Kau resmi menjadi pemilik sah buku ini. Kuharap kau menjaganya untukku...
Dan aku ingin kau selalu ingat, sukses tidak ditentukan dari seberapa kaya dirimu, atau berapa banyak orang yang mengagumimu. Jika kau bersyukur dan berhasil menikmati setiap hal kecil di sekitarmu, kau telah sukses dalam hidupmu sendiri.
Maaf tidak sempat pamit sebelumnya. Aku tahu ini mendadak.
Oh ya, jangan mencariku lagi. Percayalah, aku sudah bahagia sekarang.
With love,
Lana
Jason membuka halaman-halaman buku tersebut, dan menemukan gambar-gambar Lana di dalam. Suasana keseluruhan kafe, sepasang kekasih yang tertawa di pojok kafe, setangkai bunga mawar yang tergeletak di atas meja kafe, lalu ada Jason yang memakai seragam pelayannya dengan wajah cemberut, wajah marah Jason, Jason yang sedang tertawa, dan lebih banyak lagi gambar Jason di dalam.
Jason menggigit bibirnya dengan keras, berusaha menahan cairan apapun yang tampaknya sudah mulai mengumpul di pelupuk matanya. Jason tidak pernah menangis, dan tidak akan menangis.
Mobil yang dinaiki suster itu akhirnya berhenti. Ketika Jason melihat bangunan di depannya, hatinya mencelus. Kini ia berada di rumah sakit.
Tergesa-gesa, nyaris berlari, Jason menghampiri resepsionis, dan nyaris berseru lega ketika mengetahui Lana masih dirawat di rumah sakit ini setelah menjalani operasi. Jason berjalan cepat menyusuri lorong, menuju ke ruangan dengan nomor yang sudah ia hapal mati di luar kepala, lalu mendapati seorang gadis kurus bergaun rumah sakit longgar yang terduduk di atas tempat tidur. Gadis itu tampak jauh lebih pucat dari yang pernah ia ingat, dan rambut pendek yang sebelumnya membingkai kepalanya kini telah tiada. Pemandangan ini membuat hati Jason sakit.
Lana beserta suster wanita yang mengirimkan buku itu menatapku terkejut. Suster itu melirik Lana dengan perasaan bersalah, sebelum akhirnya Lana tersenyum tipis dan meminta suster itu untuk meninggalkannya berdua dengan Jason.
"Siapa yang sedang bahagia sekarang?" tanya Jason, suaranya tercekat.
"Aku," jawabnya, masih tersenyum.
"Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa kau tidak ingin bertemu denganku lagi?" Jason duduk di salah satu kursi di samping tempat tidurnya.
"Aku tidak ingin kau melihat ini," jawabnya lemah sambil menunjukkan selang infus di tangannya.
Jason menatap Lana dengan terluka. Ini tidak adil. Seharusnya Lana baik-baik saja. Ia telah menjalani program vegetarian dan makanan anti pengawet selama setahun. Lana selalu kuat dan percaya pada dirinya. Bahkan terkadang Jason merasa kalau Lana jauh lebih pantas hidup dibanding dirinya.
Kanker merupakan hal yang begitu mengerikan. Ia merengut orang yang kau sayangi tanpa kau sadari, dan tiba-tiba saja, kehadiran mereka hanya bisa kau rasakan di memorimu.
Dari sekian banyak orang di dunia, kenapa harus Lana?
"Kau bercanda." Jason tertawa kecil. Tapi tawanya terdengar menyedihkan.
"Kuharap begitu."
"Apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba aku merasa pusing hebat dan pingsan. Lalu tahu-tahu saja aku sudah dioperasi," ucapnya.
"Di mana orang tua dan keluargamu?" tanya Jason sambil memandang sekeliling, seolah berharap kalau orangtuanya sedang bersembunyi di balik kolong tempat tidur untuk mengawasi mereka.
"Mereka sibuk." Lana mengangkat bahu, seolah itu sudah merupakan hal yang biasa.
"Di saat kau dalam kondisi seperti ini?" tanya Jason marah. "Seharusnya mereka di sini, menemanimu!"
"Mereka telah menyewa suster untuk menemaniku."
"Orang tua macam apa itu? Mengutamakan bisnis di atas putri mereka?" suara Jason meninggi. Itulah kenapa ia semakin membenci dunia bisnis.
"Kau salah, Jason. Orang tuaku menyayangiku. Mereka sengaja melakukan ini karena mereka tidak ingin melihatku dalam kondisi seperti ini. Ini membuat hati mereka sedih." Suara Lana mulai bergetar. Ia menarik napas pelan, seolah butuh usaha keras baginya untuk mengucapkan kalimat yang agak panjang. "Kami adalah keluarga yang bahagia, sampai penyakit itu menghampiriku. Sejak saat itu, kami jarang berbicara. Aku mengerti. Keluargaku menjaga jarak denganku karena mereka takut akan segera kehilanganku. Mereka tidak ingin menciptakan lebih banyak memori yang menyakitkan."
"Lana," ucap Jason pelan. "Itu kejam bagimu."
"Aku tahu. Awalnya berat. Tapi aku sadar, kalau aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi mereka."
"Kau tidak pantas mendapat semua ini," gumam Jason sambil mengelus pundaknya lembut. Hatinya bagai teriris ketika ia merasa seolah sedang mengelus tulang berbalut kain.
"Ini bukan soal pantas atau tidak pantas, Jason," bisik Lana lemah. "Tapi inilah yang seharusnya terjadi."
Jason membantu Lana membaringkan tubuhnya. "Kau tidak boleh menyerah, Lana. Kau gadis yang kuat, ingat itu," ucapnya tajam.
"Hidup ini hanyalah persinggahan sementara kita, Jason. Manusia terus memperjuangkan hidup mereka mati-matian, tapi apa yang akan mereka capai?" Lana menarik napas dengan susah payah.
"Jangan berbicara lagi," gumam Jason.
Lana tidak menghiraukan perkataan Jason. "Karena aku sudah melakukan apa yang aku inginkan, Jason. Aku sudah mencapainya, di dalam diriku. Aku... aku siap untuk--"
Jason menahan kata terakhir Lana dengan memberi kecupan singkat di bibirnya. "Jangan mengucapkan kata itu."
"Terima kasih, Jason," bisik Lana.
"Jason," panggilnya lagi. "Lakukanlah hal yang tidak akan kau sesali di kemudian hari."
Jason mengunjungi Lana hampir setiap hari--di sela-sela jam kerja, atau ketika ia membolos kuliah--dan semakin hari ia semakin frustrasi melihat kondisi Lana. Lana nyaris tidak bisa berbicara tanpa harus menarik napas di setiap katanya. Operasi sama sekali tidak membantu. Kini kanker di dalam tubuh Lana telah menyebar sampai ke paru-paru dan hati, dan Lana dipindahkan ke unit khusus.
Sempat terbersit di benak Jason untuk tidak terlalu sering menjenguk Lana, agar ia tidak perlu menyaksikan penderitaannya. Tapi dengan begitu, ia sama saja dengan keluarga Lana. Dan Jason membenci pikiran busuk di kepalanya itu.
"Kau akan sembuh," ucap Jason sambil memijat punggung tangan Lana. "Sebagian penderita kanker bisa bertahan hidup sampai berpuluh-puluh tahun kemudian."
Jason selalu membisikkan pada Lana, tempat-tempat yang akan mereka kunjungi, dan hal-hal yang akan mereka lakukan ketika Lana pulih nanti. Dia benar-benar menyesal, kenapa ia tidak terpikirkan untuk melakukan semua itu sebelumnya?
Lana tersenyum lemah sambil melirik Jason setelah laki-laki itu mengoceh kalau ia akan berbicara pada bosnya agar Lana bisa mendesain ulang kafe mereka, kemudian Lana akan mendapat banyak tawaran dan menjadi terkenal. "Aku... mungkin... memang... optimis. Tapi... aku... juga... realistis," katanya lemah, nyaris tidak terdengar jika wajah Jason tidak berdekatan dengan wajahnya.
Jason telah seberusaha mungkin untuk menerima kenyataan, yang selalu ia tepiskan jauh-jauh oleh setumpuk harapan akan keajaiban. Di antara semua keajaiban yang terjadi di dunia, kenapa tidak ada satu pun yang menimpa Lana?
Lana adalah teman dekat pertamanya. Dan ia tidak ingin kehilangan teman dekat satu-satunya.
Tapi, ia tetap harus menerima kenyataan yang telah terjadi.
Karena pada akhirnya, orang yang kau sayangi akan meninggalkanmu juga.
Tidak ada pemandangan indah yang menemani hari kerjanya di kafe lagi. Tidak ada ocehan yang mengiringi langkahnya menuju kampus. Sekarang, yang tersisa hanyalah memori, dan buku sketsa di tangannya ini menjadi saksinya.
Jason tidak pernah mengunjungi upacara penghormatan kematian sebelumnya. Dan jelas pengalaman ini bukan yang ia sukai. Ia tidak kuasa menatap foto Lana yang tersenyum sehat di depan ruangan, lalu keluarganya yang menangis histeris di samping petinya.
Jason pernah sekali bertemu dengan orang tua Lana, ketika mereka hanya berdiri di ujung kamar rumah sakit, menatap Lana sambil terisak, lalu meninggalkan ruangan dalam kurang dari lima menit.
Berusaha tidak memberi tatapan sinis pada keluarga Lana, Jason melangkah ke depan foto Lana, mengumpulkan hatinya untuk menatap foto tersebut. "Terima kasih, Lana. Kau telah mengajari banyak hal padaku. Dan semua hal yang kau berikan bahkan jauh lebih berharga dari apa pun di dunia ini. Aku tahu kau sudah bahagia di sana sekarang. Bolehkah aku merasa iri lagi padamu?"
Jason tersenyum kecil ketika membayangkan suara Lana yang menceramahinya. "Benar, aku sudah bersyukur dengan apa yang kupunya sekarang. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan pada hidupku. Berkat dirimu. Selamat jalan, Lana."
***
Langit masih berwarna biru gelap ketika Jason mengayuh sepedanya menaiki bukit. Jalanan bebatuan dan tanjakan yang agak curam tidak membuatnya menyerah. Awan-awan mulai tampak semakin jelas, dan ia harus sampai ke puncak bukit sebelum semburat jingga mulai menampakkan ronanya.
"Kau lihat garis-garis oranye yang mulai tampak itu? Itu seperti harapan yang muncul setiap kali kegelapan menyelimuti hidup kita. Matahari telah bangkit, artinya hari yang baru telah tiba. Aku selalu terbangun sebelum matahari terbit, karena aku senang masih bisa menyambut hari lagi, dan lagi. Aku juga suka melihat matahari terbenam, karena artinya aku diberi kesempatan untuk melewati satu hari yang indah, lagi dan lagi. Rasakan hangatnya sinar mentari, dan kau akan bersyukur walau hanya diberi kesempatan satu hari lagi. Hari ini terlalu indah, apa kau bisa merasakannya, Jason?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top