How To Enjoy Life (1/3)

~~~~~~~~~~~~~~

Keberuntungan bukan dilihat dari sebanyak apa yang kau dapat, sehebat apa yang kau hasilkan, atau sejauh apa yang kau capai. Jika kau merasa bahagia atas dirimu apa adanya, kau beruntung. Jika kau bersyukur dan menikmati semua hal yang kau miliki, kau jauh lebih beruntung dari siapapun.

-Nat-

~~~~~~~~~~~~~~

How To Enjoy Life (I)
Gadis di Kafe

'CHASE YOUR DREAM'.

Jason meremas kartu  seukuran KTP yang berisi lukisan balon udara dan sebuah kutipan di atasnya yang dibagikan oleh kafe tempat ia bekerja. Ia sudah sering membaca kalimat semacam itu hingga bosan dan nyaris tidak bermakna lagi baginya. Mimpi-mimpi semacam itu, menurut Jason, sudah tidak ada artinya lagi.

Laki-laki itu menyelipkan buku catatan pribadi bersampul hitamnya ke dalam buku cetak akuntansi yang nyaris tampak baru walau sudah ia beli selama setengah tahun. Ia pernah menamai buku catatan itu sebagai 'dream note',   yang enam bulan terakhir ini ia ganti menjadi 'death note'. 

Ia menghentakkan sepatunya ke dalam kampus, memasuki kelas ekonomi mikro terakhirnya sebelum ujian akhir tiba, lalu memandang sinis semua manusia di dalam ruangan kelas sebelum membanting tubuhnya di kursi sudut kelas, terpisah di antara mahasiswa lain.

Jason jelas membenci kehidupannya.

"Ini pesanan Anda, Nona. Selamat menikmati." Jason berkata datar sambil meletakkan piring berisi roti isi vegetarian dan telur dadar tanpa minyak dan bumbu di atas meja seorang gadis kurus bertampang pucat.

Pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, gadis kurus ini selalu memesan menu yang sama. Diam-diam Jason mencelanya. Gadis-gadis jaman sekarang, selalu saja berusaha keras untuk diet walaupun tubuh mereka lebih kurus dari tengkorak.

Si gadis tampaknya menyadari ekspresi Jason, sehingga untuk pertama kalinya ia mengangkat kepalanya dari clipboard yang ia pegang dan memandang Jason tanpa ekspresi. "Terima kasih. Semoga harimu menyenangkan," senyum gadis itu.

Jason mengertakkan giginya. Jika bosnya melihat ini, ia akan ditegur dan diberi ceramah panjang karena seharusnya, sebagai pelayan, ialah yang mengatakan itu. Lalu dia berlalu meninggalkan gadis itu, tanpa mengucapkan apa pun. 

Persetan apa kata bos. Jason benci hidupnya.

Pernah sekali, ketika ia terpaksa lembur sampai malam di hari yang sibuk, Jason melihat gadis itu di kafe, sendirian hingga malam. Terkadang ia sibuk mengerjakan sesuatu di clipboardnya, mengetik ponsel, menelusuri layar tab, atau membaca novel. Seharusnya gadis itu seumuran dengannya. Tapi apakah ia tidak kuliah atau bekerja? 

Gadis itu membuat Jason iri. Terkadang, beberapa orang memang jauh lebih beruntung. 

"Ini pesanan Anda, Nona. Selamat menikmati." 

"Aku tidak memesan sosis," kata gadis itu ketika melihat makanan di atas mejanya.

"Aku memesankannya untukmu. Hentikan diet konyolmu. Kau sekurus tulang," ucap Jason. 

"Aku vegetarian."

"Sadarlah, Nona. Hidup ini terlalu singkat jika kau terus menyiksa diri demi tampak seperti orang lain." Jason sendiri terkejut dengan apa yang ia lakukan dan katakan. Belum pernah ia sepeduli ini terhadap kehidupan orang lain.

"Aku tidak makan daging," ucap gadis itu lagi.

Akhirnya Jason kembali mengambil piring berisi sosis tersebut dengan marah dan meninggalkan gadis itu. Ia sudah mengesampingkan harga dirinya dan mengumpulkan seluruh keberaniannya. Tapi gadis itu menolak usahanya, mentah-mentah. Seharusnya ia tidak perlu melakukan ini. Seharusnya ia biarkan saja gadis itu menyiksa dirinya sampai tidak tersisa secuilpun lemak di tubuhnya, lalu menderita kekurangan gizi.

Jason. Membenci. Hidupnya.

"Aku minta maaf jika telah menyinggungmu tadi." Gadis itu menghampiri Jason ketika laki-laki itu keluar dari kafe, bersiap untuk berangkat ke kampusnya. 

Setelah menimbang kalau sekarang adalah di luar jam kerja, dan saat ini gadis itu tidak sedang menjadi pelanggan kafe, akhirnya Jason mengabaikan gadis itu dan terus berjalan tanpa merasa bersalah. Bos tidak bisa memotong gajinya di luar jam kerja.

"Aku tidak ingin merusak suasana hati orang lain," ucap gadis itu sambil berjalan di samping Jason. Ia menenteng tote bag di salah satu tangannya, sedangkan tangan lain menjinjing clipboard.

"Pergi dan dietlah sampai mati. Itu bukan urusanku," tukas Jason ketus.

Gadis itu tertegun. "Kau tidak tahu apa pun," gumamnya, lalu berbalik meninggalkan Jason.

Seketika itu Jason merasa bersalah. Ia menoleh ke arah gadis itu, mempertimbangkan apakah harus memanggil atau membiarkannya saja, sampai akhirnya Jason kembali melanjutkan perjalanannya ke kampus dengan terpaksa. 

Jason bersyukur, gadis itu masih terlihat di kafe di hari-hari berikutnya. Setidaknya ia tidak perlu menanggung rasa bersalah karena menyebabkan kafe mereka kehilangan satu pelanggan. 

Tidak, Jason yang biasa tidak akan peduli dengan hal-hal semacam ini. Selama ia mendapatkan gaji dengan rutin, ia tidak peduli apakah jumlah pelanggan tahun ini menurun drastis, dan bagaimana cara untuk memprediksi kondisi keuangan kafe, walaupun ia mempelajarinya di kelas kuliah.

Jelas ada hal lain yang tidak ingin ia cari tahu.

"Namaku Jason," ucap Jason sambil menarik kursi di depan gadis berambut pendek itu. Si gadis kafe.

Hari itu adalah hari off dia yang ia dapatkan satu bulan sekali. Untuk pertama kalinya, ia menggunakan hari liburnya untuk kembali ke tempat kerjanya. Tapi tentu saja, kali ini ia tidak bermaksud untuk bekerja, walaupun bosnya sempat memberikan lirikan penuh harap.

"Hai," sapa gadis itu ketika melihat Jason. Ia menutup clipboard-nya dan meletakkan di atas meja. "Aku Lana."

Bagus, setidaknya gadis itu tidak mendendam, pikir Jason.

Selama ini Jason selalu iri pada semua pelanggan yang mengunjungi kafe, duduk di kursi berbantal tipis yang nyaman, dan tertawa riang seolah hidup mereka tidak dipenuhi oleh beban. Sekarang akhirnya ia duduk di sini, menjadi pelanggan kafe ini untuk pertama kalinya. Tapi ia malah merasa kalau sepertinya lebih nyaman jika ia menjadi pelayan.

Kalau saja bukan karena apa yang akan ia katakan sekarang.

"Aku ... aku minta maaf dengan ucapanku yang kasar hari itu."

Di luar dugaannya, Lana tersenyum.

Jason tidak pernah menyangka akan memiliki seorang teman bicara. Lebih tidak sangka lagi, teman itu adalah gadis anoreksia yang selalu ia cela sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Jason menceritakan segalanya pada orang lain. Kehidupan pribadi, keluhannya selama bekerja (dengan suara pelan, tentunya), dan impian yang terbuang.

Jason bermimpi menjadi jurnalis, tapi seluruh keluarganya menentang keinginannya. Jason anak pertama, ia harus memilih jurusan yang pasti dan menjamin hidup keluarganya. Kuliah manajemen bisnis sambil bekerja paruh waktu. Ia tidak punya pilihan, dan mau tidak mau ia harus membuang jauh-jauh impiannya, walaupun terkadang ia masih menulis tentang impian tak terwujud tersebut di 'death note'-nya.

Jason tidak pernah bahagia sejak kuliah. Ia benci dunia bisnis. Ia benci kondisi keluarganya. Ia benci nasibnya.

"Aku iri padamu," kata Jason ketika giliran Lana bercerita kalau gadis itu berhenti kuliah akuntansi demi melakukan apa yang ia inginkan. Menggambar. Menikmati hidup. Jason ingin melakukannya juga, tapi ia harus memikirkan orangtua dan ketiga adiknya yang bersekolah.

Lana hanya tersenyum. "Kau tahu kenapa aku vegetarian, dan memesan jenis makanan yang tidak akan membuatmu berselera ketika memakannya?"

"Oh, kau mati-matian ingin kurus, setelah itu melakukan implan payudara setelah pinggangmu seukuran Barbie. Aku mendengar banyak tentang itu," cibir Jason. Rasa iri membuatnya lupa dengan permintaan maafnya tadi dan alasan ia menemui gadis ini.

Lana memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum. "Justru daging akan membuat sel-sel dalam tubuhku semakin jahat. Dan implan payudara sama saja dengan bunuh diri bagiku. Kau tahu kenapa aku membuat keputusan besar dengan meninggalkan kuliah yang tidak kuinginkan, dan mulai melakukan apa yang kusukai? Karena aku tahu, hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan. Aku tidak bisa membuang lebih banyak waktu, sementara waktu yang kupunya bisa saja jauh lebih sedikit."

Jason memandang Lana dengan tatapan bingung.

"Aku mengidap kanker payudara," ucap Lana sambil mengangkat bahu ringan, seolah ia baru saja membahas cuaca.

"Kau bercanda," kata Jason sambil terbelalak.

"Kuharap begitu." Lana tertawa kecil.

"A-aku ...." Jason tergagap. Ia malu sekali telah mengatakan kalau ia iri pada Lana, di saat kondisi fisiknya jauh lebih menguntungkan dari gadis itu. Rasanya ia ingin menghilang dan mengubur dirinya dalam-dalam saat itu juga. "Aku minta maaf. Aku--aku tidak--"

"Tidak masalah." Lana mengangkat bahunya lagi. "Tapi mau tahu lagi, Jason?"

Jason terdiam, menunggu Lana memberitahu kalau ia juga mengidap penyakit mematikan lain.

Lana mengambil salah satu tumpukan kartu di kotak yang tersedia di atas meja, yang memang sengaja dibagikan gratis kepada para pelanggan. "Aku sama sekali tidak iri padamu. Aku bahagia dengan hidupku sekarang, dengan semua kondisi ini."

"Dan ini adalah kuncinya." Ia menyerahkan kartu kecil berlatar pegunungan tersebut pada Jason yang masih membisu.

'Be happy, not because everything is good. But because you can see the good in everything.'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top