Tips 5
Suasana Minggu pagi di jogging track sangat cerah dan masih agak sepi. Udara dingin menembus jaket Kai dan Seyon. Keduanya terlihat sibuk berlari menyelesaikan putaran ketiga mereka. Tak lama berselang, jarak lari antara keduanya kian jauh. Kai memimpin di depan, meninggalkan gadis itu di belakang. Seyon memperlambat larinya lalu berhenti. Ia memegang kedua lututnya. Napasnya tidak beraturan.
"Ya... Tunggu aku..." pinta Seyon lemas.
Kai menoleh ke belakang. Seyon terlihat sedang jatuh terduduk dan merintih, mengelap keringat yang bercucuran di wajah dan lehernya dengan handuk kecil. Omelan gadis itu jelas terdengar dari kejauhan. Kai tertawa pelan, menggelengkan kepala, lalu berlari menghampiri Seyon.
"Kau lelah? Bagaimana kalau istirahat sebentar?" usul Kai. "Duduk dan luruskan kakimu. Kalau posisi kakimu terlipat seperti itu, ototmu bisa kaku."
"Ne... kau benar...."
Seyon merangkak duduk ke tepi track berkarpet rumput. Ia meluruskan kaki sesuai arahan Kai dan sesekali memijatnya. Kai berjongkok di sampingnya dan menyodorkan botol minum yang tergantung di bahunya. Dalam beberapa teguk, air dalam botol sudah masuk ke kerongkongan Seyon.
"Bagaimana perkembangan lariku?" tanya Seyon berbinar.
"Hmm, sudah bisa dapat 75," jawab Kai sambil berpikir, mengusap dagu. "Jal haesseo! (Kerja bagus)"
Seyon tertawa geli. Ia menepuk-nepuk rerumputan halus di dekatnya, memberi kode agar Kai duduk di sisinya.
"Aku yang seharusnya berkata seperti itu. Beasiswa kali ini, aku yakin kau yang akan mendapatkannya. Presentasimu kemarin sangat bagus, lebih keren dari Suho sunbaenim!" puji Seyon bangga. "Aku yakin mereka semua akan berpihak kepadamu."
Senyuman di bibir Kai memudar. Ia tidak langsung merespon. Ia duduk meluruskan kaki dan menahan tubuhnya dengan kedua tangan di belakang. Pandangannya menerawang menatap langit, tersenyum samar. Seyon kebingungan dengan reaksi Kai. Biasanya pria itu sangat percaya diri membanggakan kecerdasannya. Dari sorot matanya, seakan Kai merasa terbebani dengan pernyataan Seyon.
"Benarkah?" respon Kai pendek. "Entahlah, kali ini aku agak ragu. Sepertinya ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang dimiliki Suho sunbaenim, yang tidak ada di diriku."
Seyon mendengus pelan. Lagi-lagi merendahkan diri! Ia memukul pelan lengan Kai, membangkitkan semangat pria itu. Seyon kemudian mengubah posisi duduknya. Ia berbalik menyandarkan punggungnya di punggung Kai, merebahkan kepalanya di bahu pria itu sambil tersenyum, sekali lagi menyikut pelan lengannya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak! Itu akan mengusikmu. Berpikir positiflah! Bukankah kau selalu mengatakan hal itu kepadaku?" ujar Seyon ikut menengadah. "Selalu ada reward untuk orang yang bekerja keras dan bersungguh-sungguh. Percaya saja pada dirimu!"
Kai tertegun. Baru kali ini ia mendengar seorang Jin Seyon mengucapkan hal yang begitu menginspirasi. Ia melirik Seyon di belakangnya. Gadis itu dengan riang mengangkat tinggi sebelah tangannya ke atas, memblok sinar matahari yang menyinari mereka berdua. Langit pagi saat itu sangat biru, bersih, tanpa ada awan putih. Sekali lagi angin sejuk menyibak. Di bawah cahaya matahari yang hangat, mereka berdua tersenyum menatap langit.
Tips kelima : Duduk belajar dalam waktu lama bisa membuat stres. Imbangi dengan olahraga yang teratur agar aliran darah ke otak lancar. Dengan begitu, pikiran akan kembali segar.
Seketika Kai bangkit berdiri, membuat tubuh Seyon hampir jatuh ke belakang. Ia mengulurkan sebelah tangan.
"Lari lagi, yuk!" ajaknya penuh semangat.
Ekspresi memelas langsung terlukis di wajah Seyon. "Oh, Tuhan!"
***
BUKKK!!!
Jam olahraga. Bola voli berkekuatan penuh datang dari lapangan sebelah, menghantam dahi Seyon hingga gadis itu tersungkur ke belakang. Sontak semua murid yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. Baekhyun dan Chanyeol sampai mengeluarkan air mata, tertawa berguling ke tanah. Kyungsoo memukul-mukul keras lengan teman-temannya yang lain. Sehun tertawa gila sambil bertepuk tangan, memperlihatkan mata khasnya yang menyipit melengkung.
Brengsek! Kurang ajar! Seyon mengumpat dalam hati sekaligus malu. Untung saja Kai sedang tidak ada di tempat itu. Dengan perlahan, Seyon mencoba duduk sambil meringis, mengelus dahinya.
"Gwaenchana?"
Suara Kai menyeruak dari arah belakang. Seyon tersentak. Tubuhnya tiba-tiba sudah dalam posisi berdiri dengan bantuan pria itu. Kai berada tepat di depan Seyon, agak sedikit membungkuk menyamakan tinggi badan, dengan serius menyingkirkan poni gadis itu dari dahinya untuk memperjelas penglihatannya. Seyon menghela napas pelan. Jangan lagi!
Seperti biasa, dalam jarak dekat seperti ini, detak jantung Seyon kembali menggila. Wajahnya merona menatap pria itu yang hanya beberapa sentimeter darinya, berharap pria cerdas itu tidak menyadari betapa kakunya tingkah dan ekspresi Seyon saat itu.
Kai memegang sebelah lengan Seyon. "Dahimu lecet. Ikut aku ke UKS!"
Seyon menahan langkahnya. "Kau tidak menertawakanku?"
"Ada kemungkinan aku akan dipecat kalau tertawa," goda Kai tersenyum geli.
Seyon memiringkan bibir. "Ishhh..."
Di ruang kesehatan, Kai sendiri yang memberi pengobatan pada luka kecil di dahi Seyon. Disterilkannya dahi yang lecet itu sebelum ditutupi plester luka. Dibalik sikap kaku dan tegangnya, sesekali Seyon meringis, merintih pelan. Kai tak henti-hentinya menyuruh gadis itu untuk diam dan tidak bergerak. Gadis itu kerap kali memukul pelan lengan Kai bila ia merasakan perih. Kai hanya tertawa melihatnya.
Semua candaan itu sirna ketika seseorang dari balik tirai putih ruang kesehatan muncul di hadapan mereka. Keduanya dalam sekejap berdiri dan membungkuk memberi hormat. Orang itu, kepala sekolah. Kai menyadari adanya balutan perban baru di tangan kiri orang itu. Seperti biasa, terkena abu rokoknya sendiri.
"Annyeonghaseyo!" sapa Seyon pelan.
"Kim Jongin ssi, ke ruanganku sekarang juga!"
Setelah melirihkan kalimat perintah yang dingin itu, kepala sekolah berjalan keluar ruangan. Kai melirik Seyon sejenak dan meninggalkan gadis itu tanpa berkata apapun. Alis Seyon berkerut penasaran. Ia sebenarnya tidak begitu menyukai watak kepala sekolahnya yang tidak ramah. Senyum saja tidak pernah.
Setelah duduk menenangkan diri beberapa menit di tempat tidur, perhatian Seyon tertuju pada benda yang terjatuhdi lantai. Diraihnya benda tersebut. Pematik perak bercorak elang. Seyon berdecak. Ia tahu benda ini adalah kepunyaan kepala sekolah. Itu berarti ia harus mengantarkan benda tersebut ke ruangannya. Menyebalkan!
Seyon melangkah malas menuju ruangan orang itu. Sesampainya di sana, ia memanjangkan leher dari pintu depan, mencoba mengintip situasi di lobi tamu. Tidak ada orang-orang. Pintu ruangan kepala sekolah terlihat agak sedikit terbuka. Seyon penasaran apakah Kai masih ada di dalam. Ia mencoba melangkah lebih dekat, mengintip dari balik pintu. Kai sudah tidak ada lagi di sana. Terlihat Lee seonsaeng sedang mendebatkan sesuatu dengan kepala sekolah. Sepertinya hal genting. Seyon memasang telinga baik-baik. Dalam beberapa menit, Seyon menegang oleh percakapan itu, membuatnya tak bergerak.
***
Seyon mencoret kasar catatannya. Kelas sudah dimulai 30 menit lalu dan tidak ada satu pun penjelasan guru yang bisa ditangkapnya. Konsentrasinya hilang. Diliriknya Kai di bangku paling depan. Dari sudut matanya, pria itu sejak tadi hanya menatap lurus ke bukunya, tak bergerak sama sekali, seperti mengkhayal. Baru pertama kali Seyon melihatnya seperti itu.
Apa tidak apa-apa melakukan ini pada Jongin? Dari segala aspek, dialah yang paling kompeten dibanding Joonmyun. Bisa belajar di luar negeri adalah impian terbesarnya.
Tanyakan pada dirimu. Menurutmu, apa yang akan dikatakan Kim sajang, ayah Joonmyun, kalau aku mengirim orang dengan latar belakang keluarga seperti Jongin?
Sungguh Seyon menyesali perbuatannya mencuri dengar percakapan kepala sekolah dan gurunya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa sekolah ini ternyata lebih memerhatikan kepentingan masing-masing daripada muridnya sendiri. Yang Seyon tahu, seniornya Suho, mantan ketua OSIS sebelum Kai, sebenarnya tidak terlalu memusingkan soal beasiswa. Orangtuanya dari kalangan konglomerat. Tanpa beasiswa sekalipun, ia bisa belajar di luar negeri dengan mudahnya.
Yang menjadi permasalahan adalah seniornya itu harus bersaing dengan Kai. Bayangkan betapa malunya keluarga Suho bila anak lelaki kebanggaannya dikalahkan oleh Kai yang bukan anak siapa-siapa. Namun, tetap saja tidak adil. Kompetisi adalah kompetisi. Jelas-jelas mereka mengakui kemampuan Kai. Mereka tidak boleh berbuat seenaknya saja. Amarah Seyon belum mereda, membayangkan kembali peristiwa tersebut.
Kai meminta izin untuk keluar kelas. Langkah kakinya berat. Dari raut wajahnya, jelas sekali terlihat sorot kekecewaan. Begitu ia menghilang di balik pintu, Seyon ikut meninggalkan bangku, mencoba menyusul Kai. Dengan cemas Seyon memerhatikan dari kejauhan. Kai melangkah pelan menuju lokernya. Gadis itu mengintip dari balik tembok. Kai terlihat mengeluarkan sesuatu dari loker. Begitu Seyon menyipitkan mata, ia tahu benda itu adalah proposal kerja beasiswanya.
Dengan tatapan murung Kai menatap benda itu dalam waktu lama. Pria itu lalu menutup loker dengan perlahan dan berjalan menuju pintu menuju halaman samping sekolah. Kekhawatiran Seyon memuncak. Ia bermaksud memanggil nama pria itu namun tertahan. Kai menghempaskan kesal benda hasil kerja kerasnya itu ke tempat sampah di sisi dinding koridor dan berhambur ke luar gedung. Pria itu frustrasi. Seyon tertegun menatapnya dari balik jendela koridor.
Kai, kali ini giliranku yang akan menolongmu.
***
"Bukankah ini masih jam belajar, Jin Seyon ssi?"
Kepala sekolah tidak menatap langsung mata Seyon yang berdiri di depan mejanya. Ia sibuk menandatangani berkas-berkas yang bertumpuk. Seyon membungkuk dalam, memohon dengan nada suara bergetar, menyembunyikan wajah pucatnya yang sebenarnya ketakutan.
"Tolong pertimbangkan keputusan Bapak!" pinta Seyon tegas.
"Kau sudah mengintip dan menguping di ruanganku. Sekarang, kau meminta untuk mengubah keputusanku?" ujarnya sinis. "Tak kusangka gadis sepertimu datang memohon kepadaku demi pelayanmu sendiri."
Seyon tertegun. "Eh?"
Kepala sekolah mengambil satu batang rokok dan menyalakan pematik peraknya. Bumbungan asap pekatnya membuat Seyon menahan napas.
"Cara berpikirmu masih sempit, Jin Seyon ssi. Dunia ini lebih tertarik kepada orang yang berpengaruh dibanding orang yang cerdas. Kim Jongin... dia tidak punya kekuatan untuk membuat orang-orang berpihak kepadanya. Kurasa aku tidak perlu menjelaskan alasannya lebih lanjut. Kau sudah tahu sendiri."
Tatapan Seyon menajam. Ucapan kepala sekolah hampir membuatnya tak berkutit, seakan mati kutu.
"Bapak bisa berkata demikian karena Bapak tidak tahu bagaimana Kai berjuang keras selama ini. Bapak tidak mengerti..." Seyon mengepalkan kedua tangan, menahan amarah. "Ini tidak adil untuk Kai!"
Nada suara kepala sekolah meninggi. "Bukankah apa yang kau lakukan sekarang ini justru terkesan lebih merendahkannya? Kau tidak memikirkan perasaannya? Betapa malunya ia jika tahu sang majikan datang memohon demi dirinya. Kau seolah menginjaknya harga dirinya dari belakang!"
Geraman orang itu menyadarkan Seyon. Gadis itu tidak mampu berucap lagi. Kepalan tangannya melemah. Kedua matanya berkilat oleh selaput tipis air mata. Lama-kelamaan, yang bisa ia lakukan hanya menunduk.
***
Tanpa sadar langkah Seyon tertuju pada halaman samping gedung sekolah yang luas. Tempat itu sepi karena masih waktu jam belajar. Bangku-bangku tamannya sedang kosong, tidak ada yang menempati. Pepohonan di sekitarnya melambai tertiup angin. Rambut Seyon tersibak pelan, agak menutupi pandangannya yang sayu. Hal itu masih tidak menyadarkannya dari lamunan.
Menyebalkan...
Teringat kembali saat-saat dimana Seyon diam-diam memerhatikan Kai selalu terlihat serius dalam mengerjakan setiap hal. Kai tidak lemah. Kerja kerasnya seakan sia-sia.
Hubungan majikan dan pembantu ini benar-benar memuakkan!
Suara gesekan kaki pada daun kering yang berguguran membuyarkan lamunan Seyon. Gadis itu menoleh. Kai sedang berjalan pelan di seberang halaman sana, tidak menyadari kehadiran Seyon. Tatapannya kosong. Gadis itu menghentikan langkah. Melihat ekspresi pria di depannya, ada rasa sakit yang menyelubung masuk, membuat dada nyeri, membuat mata basah. Satu tetes air bergulir turun. Seyon tertegun.
Sial! Kenapa aku harus menangis?
Pandangan mereka bertemu. Sorot mata Kai yang sayu semakin membuat Seyon terluka. Sekali lagi, air mata gadis itu menetes turun. Pikirannya buyar sampai ia tidak sadar Kai sudah berdiri di dekatnya, memegang kedua lengannya, menatapnya begitu cemas.
"Seyon?"
Gadis itu tidak berkedip. Ditatapnya Kai lurus-lurus. Tetesan air yang jatuh kian banyak. Ia tahu Kai yang berdiri di depannya saat itu sedang menyembunyikan rasa sedihnya. Hal itu semakin membuat Seyon merasakan perih. Tidak seharusnya Kai mendapat perlakuan seperti itu.
Padahal Kai sudah berusaha keras...
"A, ada apa?" tanya Kai khawatir.
Padahal Kai sangat baik...
"Kau kesakitan? Apa karena hantaman bola tadi?" tebak Kai yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
Kenapa mereka kejam sekali... Kenapa mereka melakukan ini padanya...
Seyon tersentak saat jemari Kai menyingkirkan pelan poni yang menutupi luka di dahinya. Kai memberinya senyuman terhangat, senyuman yang sangat disukai Seyon. Pria itu maju selangkah. Diraihnya kepala Seyon dan merebahkannya ke pundaknya. Seyon bisa merasakan sebelah pipi Kai bersandar di puncak kepalanya. Sebelah tangan Kai mengelus pelan rambut Seyon. Tangan yang satunya menepuk-nepuk bahu gadis itu dengan lembut.
"Bersandarlah dan pejamkan matamu. Jangan banyak bergerak. Mungkin ini bisa mengurangi rasa sakit di kepalamu..."
Mendengar hal tersebut, tangis Seyon justru pecah. Bahunya berguncang hebat oleh isakan tangis. Gadis itu memeluk Kai begitu erat, meluapkan rasa sedihnya. Ia tidak mampu menahannya lagi.
"Sakit sekali, ya?" tanya Kai cemas. "Kau mau kuantar ke rumah sakit?"
Seyon menggeleng pelan di bahu pria itu. Kaimembiarkannya menangis sejadi-jadinya. Tidak ada candaan seperti biasa untuk menggodadan menghibur gadis itu karena ia sendiri sedang terluka. Entah gadis itu sadaratau tidak, diam-diam Kai juga ikut melepaskan kesedihannya dalam pelukan gadisitu. Hanya ada diam di halaman sepi tersebut, memperjelas bunyi tiupan anginyang menyibak pepohonan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top