How Have You Been?
Duduk diam ditemani secangkir cokelat yang mulai dingin. Pandangan pada jendela, dimana air hujan mengalir dan membentuk sekumpulan embun. Sudah hampir satu jam duduk di kursi kayu putih tanpa menyentuh cangkir berisi cokelat, menunggu hujan berhenti.
Helaan napas kasar terdengar disertai asap putih yang keluar dari mulut. Bersidekap dan menyandarkan punggung ke kursi, dilihatnya lagi jendela berbingkai putih yang terkunci rapat. Masih ada embun-embun yang tak kunjung hilang.
Orang-orang berjalan dengan payung masing-masing, adapula yang nekat tanpa perlindungan menerobos hujan, ada juga yang memilih untuk berteduh menunggu hujan reda. Tapi sudah hampir satu jam, hujan seperti ini akan abadi sampai sore hari.
Ia tak suka menunggu dan sangat cepat bosan. Pandangannya diedarkan ke sekeliling kafe yang menjadi tempatnya berteduh sekarang. Hanya beberapa orang yang menempati tempat kosong, itupun bersama teman-teman atau orang terdekat.
Sedangkan dirinya, hanya sendiri. Benar-benar sendiri.
.
.
How Have You Been?
Songfiction Challenge @Vessalius04
Boboiboy © Monsta
Allhuman!, Family, Angst, Brotherly Fic
Story © Wizardcookie
Wizardcookie tak mengambil keuntungan apapun dalam menulis fiksi ini.
Selamat membaca~
.
.
Pukul 8 malam. Dengan perasaan takut sekaligus bimbang, Fang membuka pintu rumah sepelan mungkin sampai tak menimbulkan suara. Diluar sedang hujan deras, untunglah ia sampai tepat di depan rumahnya setelah hujan turun.
Kakinya diinjak perlahan untuk masuk ke dalam rumah. Seperti penyusup, sekali lagi ia menoleh ke kiri kanan, memastikan benar-benar tak ada orang yang melihatnya masuk ke dalam rumah. Kalau saja ketahuan, ia yakin, si kakak akan memarahinya habis-habisan.
"Darimana kau?"
Fang melompat saat mendengar suara itu bertanya padanya. Si kakak, Kaizo, bersidekap dan berdiri dihadapannya. Ia sangat tahu, wajah kakaknya saat ini terlihat kesal. Ia menunduk, takut mengangkat kepalanya.
Tak ada jawaban. Fang memilih untuk diam, namun hal itu semakin membuat Kaizo kesal. Lagipula sekarang ia sedang berbicara dengan orang, bukan tembok. Dilihatnya penampilan si adik dari sepatu sampai rambut.
Baju seragam putih yang lecek, ujung lengan baju yang terdapat noda samar berwarna merah, dua kancing teratas yang terbuka, dan lutut yang lecet.
"Kau berkelahi lagi?"
Kali ini suara Kaizo memelan, tapi terkesan berat seperti menahan marah. Fang membulatkan mata. Tetap saja, ia memilih untuk bungkam. Di saat itu, kesabaran Kaizo hampir habis.
Menunggu si adik yang tak kunjung pulang, sekali pulang malah dengan kondisi seperti ini. Ia juga lelah. Nomor yang dihubungi selalu tak aktif, melacak keberadaan pun tak bisa. Sekali ditanya tak dijawab. Ia lelah. Kaizo mengusap kasar wajahnya dan berkata, "Terserah, terserah kau."
Ia berbalik memunggungi Fang dan berjalan cepat menuju kamarnya. Membuka pintu tersebut lalu menutupnya dengan kasar, sampai membuat Fang terkejut. Helaan napas terdengar. Tas ransel digendong di bahu kanan, melepas sepatu sekolah dan meletakkannya di rak sepatu dan berjalan naik ke kamar.
oooo
Kalau sudah ada kata "terserah", biasanya orang-orang tak pernah mau peduli. Kaizo salah satunya. Setelah mengucapkan kata itu pada adiknya semalam, ia sudah tak peduli lagi apa yang dilakukan Fang. Mau dia lari dari rumah juga tak apa, Kaizo benar-benar tidak peduli.
Kebiasaan Kaizo yang sering berkelahi menurun ke adiknya. Namun sekarang, ia benar-benar sudah tobat karena ia takut Fang akan jadi semakin parah nantinya. Bukannya makin baik. Setelah Kaizo berhenti melakukan hal itu, Fang malah makin menjadi.
Sudah sering Kaizo memarahi, memberi hukuman bahkan sampai menyuruh Fang keluar dari rumah selama berhari-hari, itu tak membuat Fang jera. Ia masih terus melakukan hal itu.
Siapa yang membuat Kaizo terasingi di sebuah kota? Siapa yang membuat Kaizo mati-matian mencari uang demi kehidupan sehari-hari? Siapa yang membuat Kaizo menunggu di depan pintu setiap malam?
Fang, adiknya. Dialah penyebab semuanya. Terasingi disebuah kota yang tak Kaizo tahu asal usulnya, bekerja seharian demi makan yang cukup, menunggu kehadiran Fang dan memastikan ia benar-benar pulang ke rumah.
Sikap Fang yang cukup kelewatan harus membuatnya sabar setengah mati. Dia benar-benar tidak bisa menjaga sikap dimanapun. Berbeda dengan Kaizo yang kenal situasi.
Pengasinganlah satu-satunya cara yang mengharuskan Fang agar sikapnya membaik, ditemani Kaizo.
"Biarkan dia sendiri! Aku tak mau bersamanya," elak Kaizo saat berbincang dengan kedua orangtuanya.
"Kalau dia hanya sendiri, siapa yang akan membimbingnya?" tanya si ibu.
Pasrah, yang akhirnya membuat Kaizo menuruti permintaan kedua orangtuanya. Saat itu usia Kaizo genap 20 tahun, studinya pun sudah selesai. Dia tak terikat lagi pada dosen ataupun tugas.
Sudah satu tahun mereka tinggal di kota ini, namun Fang tak menunjukkan tanda-tanda perubahan. Ia tetap sama. Masih suka berkelahi, berbicara kasar, parahnya lagi—merokok. Padahal seragamnya masih putih-biru tua, duduk di tingkat pertama pula.
"Mau kemana kau?"
Kaizo langsung berdiri dari sofa ruang tamu saat melihat Fang berjalan ke pintu rumah. Mendengar si kakak bertanya padanya, ia menghentikkan langkah dan menaikkan kacamata yang sempat melorot.
"Pergi," jawab Fang singkat.
"Kemana?"
"Terserah akulah."
Kaizo mendecih. "Jaga sikapmu."
"Sikapku?" Fang bertanya dengan nada sok tidak tahu. Ia lalu mendengus pelan. "Abang sendiri yang bilang tadi malam 'terserah, terserah kau'. Berarti terserah aku dong aku mau pergi kemana?"
Diam. Keduanya saling bertatapan, melemparkan tatapan menusuk dan melihat siapa yang akan menyerah terlebih dahulu. Decakan kesal terdengar dari Fang.
"Aku pergi."
Setelah mengucapkan itu, Fang keluar rumah dengan pakaian rapi. Entah kemana ia akan pergi, karena Kaizo tak peduli. Pukul 7 pagi, Kaizo bahkan belum sempat menyentuh makanannya di atas meja tamu karena memikirkan pekerjaannya yang berantakan.
Laptop berlogo buah pir itu menyala, menampilkan program berbentuk tabel dengan gambar grafik disana. Tiba-tiba saja ia stuck, lupa dengan apa yang mau dikerjakan. Semuanya hilang setelah bertengkar kecil dengan Fang.
Ia mengacak rambutnya gusar. Mau bagaimanapun, pekerjaan ini harus selesai hari ini juga. Sekitar 2 jam lagi ia akan masuk ke kantor, namun tugasnya masih banyak yang belum tersentuh. Kedua kakinya berjalan ke dapur, membuat secangkir cokelat panas untuk menenangkan pikiran.
oooo
Kaizo harus pulang larut karena lembur yang mengharuskannya untuk tetap di kantor sampai tugasnya benar-benar selesai. Ia tak melihat jam lagi, yang ia tahu sekarang sudah sangat malam.
Tubuhnya dihempaskan ke sofa, bersandar di sandaran sambil menutup kedua mata sejenak. Lampu di ruang tamu pun tak dihidupkannya karena terlalu capek bergerak. Saat akan membaringkan tubuh, terdengar suara pintu rumah yang terbuka. Lantas saja Kaizo langsung bangkit dan melihat ke arah pintu.
Seperti biasa, Fang mengendap-endap masuk ke dalam rumah tanpa tahu kalau kakaknya sekarang sedang berada di ruang tamu. Kedua kakinya melangkah pelan menuju tangga, namun aktivitas itu langsung terhenti setelah Kaizo menghidupkan lampu.
Pakaian Fang masih rapi, berbeda dengan Kaizo yang berantakan. Lagi, ditatapnya si adik dengan tatapan tajam.
"Masih ingat rumah ternyata." Kaizo berbicara dengan sarkas. "Kupikir kau tak akan pulang dan tinggal di club itu."
Kedua mata Fang membola. Darimana Kaizo tahu kalau dia nongkrong di club? Diam, Fang tak mau meladeni kakaknya. Memang benar, harusnya ia tak ingat rumah dan tinggal di club saja.
"Kau ini masih mau diatur atau tidak? Aku mulai lelah dengan sikapmu."
"Kalau lelah jangan sok-sok mengaturku!" balas Fang dengan membentak.
"KAU SENDIRI YANG BERTINGKAH KURANG AJAR!"
Nada bicara Kaizo meninggi—ia berteriak, membuat Fang tersentak. Berkali-kali Kaizo menghela napas kasar, mengontrol emosinya yang kelewat batas. Kalau berteriak seperti tadi hanya akan menganggu tetangga.
Fang mengepalkan kedua tangannya kesal. "Mau aku bersikap baik pun..." Ia menggantungkan kalimatnya, lalu mengadah. "KALIAN TAK PERNAH MEMERHATIKAN AKU!"
—PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Fang, membuat lelaki itu tersentak dan memegangi pipi kirinya yang memanas. Ia melihat Kaizo dengan air muka kesal, tatapan tajam ditujukan padanya, membuat Fang mengalihkan pandangan.
Hari ini dia sudah cukup lelah. Pekerjaan yang baru saja diselesaikan tak bisa membuatnya santai karena adanya Fang yang pulang larut. Biarpun laki-laki, pulang larut malam sangat tidak baik, apalagi Fang baru saja masuk sekolah tingkat pertama. Mau jadi apa dia nanti?
"Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Kaizo datar. "SIAPA?!" tanyanya lagi dengan suara tinggi.
Fang tak menjawab. Ia mendecih dan langsung berlari ke tangga menuju kamarnya sambil memegangi pipi. Kaizo terdiam di tempat lalu mengusap kasar wajahnya. Ponsel yang tadinya berada di saku celana tiba-tiba berdering, membuat lelaki berambut dark violet itu merogohnya dan menjawab panggilan.
"Halo?"
"Halo, sayang. Kamu belum tidur?" tanya seseorang di seberang sana, Ibunya.
Kaizo duduk di sofa dan menghela napas. "Belum, aku baru saja pulang dari kantor."
"Ohh, adikmu gimana? Dia udah tidur?"
Seperti ada sengatan listrik saat si ibu bertanya pada Kaizo. Ada rasa bersalah menyelimuti dirinya. Ia terdiam cukup lama, sampai suara ibunya menyadarkan.
"Sepertinya sudah tidur."
"Kamu enggak cek? Siapa tahu dia lagi main game online sekarang di kamar."
Terdengar kekehan kecil di seberang sana. Kaizo tersenyum tipis. Bohong kalau Kaizo bilang adiknya belum berubah. Bohong kalau Kaizo bilang adiknya selalu keluar setiap malam. Bohong kalau Kaizo bilang adiknya menjadi kasar.
Pang jadi lebih baik, walaupun kadang keluar rumah tapi ia pulang tepat waktu. Ia juga sering makan di rumah. Sepertinya juga dia tidak pernah berkelahi lagi. Sikapnya pun menjadi lebih baik.
Bohong, semuanya bohong.
"Ya sudah, kamu istirahat ya. Jaga adikmu."
"...Iya."
Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan bunyi tut tut disana. Ponsel Kaizo masih menempel di telinga, membiarkan bunyi itu menghilang dengan sendirinya.
Ia tak tega mengatakan kalau Fang, adik kecilnya belum berubah. Itu hanya akan membuat ibunya stres karena terus memikirkan anaknya yang tak berubah. Bahkan kedua orangtuanya pun lelah dengan sikap Fang.
"Aku tak pernah melahirkan anak sepertimu!"
"Shit!"
Kaizo mengumpat. Ia tahu rasanya saat seorang ibu berkata seperti itu pada anaknya. Ia sangat tahu. Sejak saat itulah Fang terasa transparan. Yang diinginkan ibu dan ayahnya hanyalah Fang yang baik, bukan yang nakal dan beringas.
Tapi lama-kelamaan Kaizo sadar, apa tindakan ini tepat untuk anak seusia Fang? Kepalanya diletakkan di atas sandaran sofa, menatap langit-langit rumah berwarna krim itu. Bukankah ia perlu dukungan dari orang terdekat? Orangtua misalnya. Ah, ayahnya saja tak mau melihat Fang sedetikpun.
Di kamar, Fang menangis sejadi-jadinya. Ia tak dapat mendengar suara apapun yang tercipta. Bahkan suara Kaizo yang menelepon di bawah tak dapat didengar. Duduk di belakang pintu sambil memeluk lutut dan menenggelamkan kepalanya disana.
Aku hanya mau diperhatikan... batinnya.
oooo
Akhir pekan, malam minggu. Banyak dari mereka yang menghabiskan waktu dengan teman, pacar atau keluarga. Adapula yang menghabiskan waktunya seorang diri, seperti Fang. Malam ini ia akan pergi ke game center sampai pagi. Mumpung keesokannya hari minggu.
Seperti biasa, jam 7 malam ia siap pergi keluar rumah, dan lagi-lagi ia kepergok oleh Kaizo.
"Kemana lagi?" tanya Kaizo sambil bersidekap. Ia juga sudah malas bertanya dengan pertanyaan yang sama setiap hari.
"Game center."
"Gak boleh."
"Kalau gak boleh juga gak papa, toh biasanya aku langsung pergi."
Fang memegang ganggang pintu dan sekali lagi tindakannya itu dihentikan oleh Kaizo.
"Aku bilang gak boleh," ucap Kaizo dengan nada kesal.
Tak peduli, Fang tetap membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar. Namun langkah kakinya terhenti saat Kaizo menyuruhnya untuk masuk, tapi tak dihiraukan oleh Fang.
Saat Fang sudah berjalan keluar, Kaizo ikut keluar dan menarik lengan Fang agar lelaki itu berhenti. Fang menoleh, melihat kakaknya memegang lengannya dan menatapnya tajam.
"Aku bilang gak boleh. Kau paham gak?"
"Enggak."
Fang menghempaskan tangan Kaizo, namun sekali lagi tangan itu menahan lengan Fang. Ia terlihat jengkel. Berkali-kali ia menghempaskan tangan Kaizo, tetap saja tidak terlepas.
"Masuk!"
"Gak!"
Kaizo menarik Fang masuk, namun Fang menolak. Tentu saja Fang kalah karena perbedaan kekuatan. Kaizo menarik adiknya masuk ke dalam dan menghempaskannya ke sofa. Dilihatnya si adik yang memegangi lengan dan terlihat ingin menangis.
"Jangan nangis!" Kaizo membentak, semakin membuat Fang menjatuhkan air matanya.
Di saat itu Fang terlihat kesal. Semakin menangis, semakin besar rasa kekesalan di hatinya. Dadanya terasa nyeri akibat kekesalan itu.
"Abang jangan sok-sok mengaturku! Emangnya abang peduli denganku?!"
Kaizo diam sambil bersidekap. Di depannya, si adik menangis. Sesekali Fang melepas kacamatanya untuk mengusap air matanya yang terus mengalir ke pipi.
"Abang yang terus dipuji sama mama papa ... abang yang terus diperhatikan sama mama papa ... hiks... abang...abang yang terus dipedulikan sama mama papa..." Fang berkata disela-sela tangisannya. "Tapi aku apa?!" tanya Fang. "Tak pernah dipuji, diperhatikan, dipedulikan ... aku juga lelah seperti ini terus!"
Tahu. Sangat tahu. Kaizo sangat tahu perasaan itu. Ketika adiknya baru lahir, yang diperhatikan hanyalah adik kecilnya. Karena Kaizo dulu sering berkelahi, membuat keberadaan Kaizo terasa transparan. Begitu sampai si adik berusia 3 tahun, Kaizo sadar bahwa hal itu tak membuahkan hasil. Ia mulai belajar dengan rajin agar kedua orangtuanya dapat melihatnya lagi bahwa Kaizo itu 'ada'.
Disitulah ia merasa kasih sayang orangtuanya terbagi untuknya dan adiknya, Pang. Nama panggilan yang diberikan Kaizo untuk Fang kecil. Tapi ... semakin besar, semakin dilupakan. Itu yang dirasakan Fang.
Fang hanya mau diperhatikan...begitupula Kaizo. Ia ingin diperhatikan juga, sebagai seorang kakak yang peduli dan sayang dengan adiknya. Bukan sebagai anak pintar yang dijadikan sebagai objek kebanggaan keluarga di depan orang-orang.
Untuk apa Fang berkelahi? Bolos sekolah? Nakal? Agar diperhatikan kedua orangtuanya. Tapi mengapa sikap itu malah membuatnya semakin menjauh?
"Aku seharusnya tak punya kakak laki-laki!"
Perkataan itu membuat Kaizo tertohok. Seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya, perih tapi tidak berdarah. Mulutnya tak bisa bergerak mengeluarkan kata-kata.
Fang beranjak dari sofa dan pergi keluar dari rumah. Kaizo tak sempat mencegat karena masih sibuk dengan pikiran sendiri. Tak lama kemudian ia mendecih dan ikut keluar rumah. Ditolehkan ke kiri kanan mencari adiknya, namun tidak ditemukan.
Ia menyusuri jalanan malam yang sangat ramai. Banyak orang yang ditabraknya, tapi ia langsung melengos jalan tanpa memedulikan orang yang ditabrak. Yang dipikirkannya sekarang hanyalah Fang.
Sampai di sebuah game center, Kaizo menatap plang nama yang terpampang di atas gedung lekat-lekat, lalu segera masuk ke dalam. Pandangannya diedarkan ke seluruh ruangan berisik itu, kakinya pun ikut berjalan mencari adiknya yang bisa saja sedang bermain. Nihil, ia tidak menemukannya.
Setelah keluar dari game center, otaknya buntu. Kemana lagi ia harus mencari? Kaizo mengatur napasnya sejenak lalu kembali berjalan. Matanya tiba-tiba menangkap seseorang yang sedang berkelahi di samping game center.
Tanpa babibu, Kaizo berlari ke tempat itu. Dilihatnya si adik yang sudah terkapar di lantai semen, sementara beberapa orang yang berada disana sudah memegangi lembaran uang dengan nominal besar.
Tak terima, Kaizo langsung menghajar orang yang memegang uang. Kaget karena 'ketua'-nya tiba-tiba diserang, para anak buahnya pun segera mengerumuni dan menghajar Kaizo satu persatu.
Fang tersadar dan mengangkat kepalanya yang terasa berat. Ia melihat Kaizo yang sedang berkelahi, tepat di depan matanya. Panik, Fang berteriak minta tolong. Namun suaranya terlalu pelan karena takut.
Orang yang dihajar Kaizo mulai tumbang. Tapi mereka tidak menyerah, masih terus melawan Kaizo sampai titik darah penghabisan, tanpa tahu seseorang mengeluarkan pisau di tangannya.
Kedua bola mata Fang membola, segera ia berteriak, "ABANG! AWAAS!"
Entah 'awas' apa yang dimaksud, tapi Kaizo tetap berjaga-jaga. Sampai ada pria botak maju di hadapannya dan menusuk perut bagian kiri. Perih, seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam perutnya.
Kaizo terjatuh, membuat Fang terkejut dan segera menghampiri abangnya. Orang-orang itu segera berlari meninggalkan mereka. Dengan perasaan takut, Fang membantu kakaknya bersandar di dinding. Dilihatnya si kakak yang berlumuran darah dan wajahnya yang menahan rasa sakit.
"Tunggu tunggu, aku telepon ambulans." ucap Fang dengan nada bergetar.
Tangan yang bergetar menggenggam ponsel dan menghubungi ambulans. Setelah tersambung Fang berteriak untuk memanggil ambulans secepatnya yang langsung diiyakan oleh penerima telepon.
Setelah memutuskan sambungan, ia melihat lagi pada kakaknya yang wajahnya mulai memutih. Fang terdiam, mengelus pipi Kaizo yang dingin.
"Abang..." Fang mencicit pelan.
Merasa dipanggil, Kaizo menoleh pada Fang yang sedang memegangi pipinya. Ia tersenyum tipis dan menggenggam tangan si adik yang berada di pipinya.
"Kau tadi bilang kau tak seharusnya punya kakak laki-laki 'kan?" tanya Kaizo dengan suara pelan. Fang menggeleng kuat di sela-sela tangisnya.
"Gak! Aku menarik perkataanku..."
"Tak apa ... karena sebentar lagi mama dan papa akan lebih memerhatikanmu."
"Gak! Gak! Abang gak boleh bilang gitu... hiks."
Kaizo tersenyum lagi sambil mengusap air mata adiknya dengan telunjuk. Perlahan kedua iris ruby itu tertutup, membuat Fang terdiam sejenak sampai menyadari bahwa kakaknya telah tiada.
"Abang...?"
Ia memanggil kakaknya sambil mengguncang bahu Kaizo. Tak ada jawaban, diguncangnya lagi bahu Kaizo sekuat tenaga sambil memangil kakaknya. Tetap saja, tak ada jawaban.
Lagi-lagi air mata itu pecah. Fang menangis sejadi-jadinya sambil memeluk Kaizo yang telah pergi meninggalkannya.
"Abang ... aku sayang sama abang...hiks. Maafkan Pang yang udah nakal...sering bentak abang, sering marah abang, sering cuekkin abang..hiks, maaf maaf."
Tak mungkin ada respon. Tubuh Kaizo memang ada, tapi arwahnya sudah pergi.
oooo
Hujan berhenti, membuat Fang menghela napas kasar. Sebuket bunga matahari yang masih segar yang tadinya ia taruh di atas meja, ia genggam dengan kedua tangan. Kedua kakinya keluar dari kafe sambil memegang bunga.
Jalanan yang masih becek ia tapaki, menyisakan percikan air yang tertinggal di sepatu sneakers miliknya. Tujuannya kali ini adalah rumah sakit.
Ia memasuki rumah sakit dan melesat ke dalam lift yang akan mengantarkannya ke lantai 3. Setelah sampai di lantai tujuan, ia keluar dari lift dan mencari-cari ruangan dengan melihat nomor pada pintu. Nomor 321, tangannya memutar kenop pintu dan masuk ke dalam.
Hanya ada satu orang yang dirawat disana, mengingat ini adalah kelas VIP. Fang membuka tirai putih disana, mendapati seorang wanita berkepala empat yang duduk sambil membaca novel.
"Mama baca itu terus, gak bosan?" tanya Fang.
Ibu Fang tersenyum dan menoleh pada anaknya. "Enggak dong, mama 'kan suka."
Fang mendengus, membuat ibunya tertawa kecil. "Oiya, Papa mana?"
"Lagi makan di kantin. Kamu gak ikut dia juga?"
"Nanti aja, Pang masih kenyang."
Fang menaruh buket bunga di dekat vas yang berisi mawar merah. Oh, bunga itu dari teman-teman Fang, nitip katanya. Padahal udah bawain bunga, mawar pula. Kenapa harus bawain bunga lagi? Fang bingung.
"Dari teman-teman kamu ya?"
"Iya, ma."
"Kok dikasi bunga terus sih, mama 'kan gak makan bunga," ucapnya sambil tertawa kecil, diikuti Fang. "Bercanda kok, bilangin makasih ya ke mereka."
Fang mengangguk, "Iya."
Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirai lalu membuka jendela agar angin masuk ke dalam. Tangannya memegang tirai yang terbang tertiup angin, lalu mengadah menatap langit mendung yang akan berubah menjadi biru.
Ia lalu menoleh pada ibunya yang kembali membaca novel. Bibir bawah ia gigit, dan bersuara, "Ma..."
"Hm?"
"Mama ... pasti sembuh 'kan?"
Ibunya mengalihkan pandangan pada Fang, dilihatnya wajah anaknya yang terlihat sendu. Senyuman tipis terukir di wajah si ibu. Ia menutup novel dan menaruhnya di atas pangkuan.
"Iya. Doain mama biar cepat sembuh dan masak lagi buat kamu, ya?"
Fang mengangguk, berjalan menghampiri ibunya dan memeluknya. Si ibu ikut memeluk anak bungsunya dan mengelus punggungnya.
"Aku gak mau kehilangan siapa-siapa lagi..." suara Fang memelan.
Si ibu tersenyum dan mengelus pelan kepala Fang. "Iya, mama tahu kok."
Fang menenggelamkan kepalanya ke bahu ibunya. Tentu, ia tak mau kehilangan lagi. Cukup dia saja.
可惜回不去那一秒
Unfortunately, we can't turn back time
你,好不好?
How have you been?
End.
Hello ma fellow readerss~!
Senang saya bisa ngepost lagi disini tanpa ada hambatan ehehehehe. Yap, saya bawa fiksi baru dengan fandom baru yuhuy~ Saya suka banget sama adek-kakak ini. Kapan ya cerita mereka ada di serinya hmm :(
Btw lagunya sedih lho :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top