12. Hilang

Hanya butuh satu hari bagi Rifki untuk pulih dari demam mendadaknya. Badannya sudah bugar kembali, apa lagi mulutnya. Sangat lancar ketika mengejek Ulfa. Rasanya dia sangat puas kemarin telah membuat wanita itu kewalahan dengan segala keluhannya ketika sakit.

"Nah, itu Ulfa. Sini Fa!" Megan memanggil.

"Ish! Apaan sih mbak Me! Aku nggak mau ah! Mau ditaru di mana mukaku ini?" Rifki sudah rusuh.

Ulfa yang akan ke dapur mendekati Megan dan Rifki. Matanya memicing melihat Rifki yang sibuk sendiri.

"Fa, kamu sama Rifki tolong beliin mbak perlengkapan bayi, ya. Mbak gak berani jalan jauh-jauh." Ucap Megan sambil memegangi perutnya.

"Boleh Mbak, nanti saya pilihkan yang lucu-lucu buat adek bayi." Ulfa menjawab dengan semangat.

"Mbak Me, bukannya baju bekas si Alfi masih bagus-bagus? Kenapa mesti beli baru sih?" Rifki masih berusaha menolak.

Megan memutar bola matanya malas. Adiknya ini sangat susah diperintah sejak kecil.

"Alfi itu laki-laki, calon adiknya ini perempuan. Mana cocok bajunya! Udah ah sana kamu pergi, keburu sore nanti!"

"Kan ada baju bekas Bella, minta saja sama bang Ibam."

"Ya nggak enak dong Mbak, Ki. Lagian baju-baju Bella itu banyak kenangannya."

Rifki langsung diam mendengar ucapan terakhir Megan.

"Ya sudah tunggu, aku siap-siap dulu." Rifki beranjak menuju kamarnya. "Heh jawir, cepetan ganti baju juga! Pake baju yang layak!" Tegur Rifki.

"Iyo! Iyo!" Ulfa mengikuti suaminya.

"Sana-sana."

Megan mengibas-ibaskan tangannya pada Ulfa. Bukan tanpa alasan Megan menyuruh pasangan suami istri yang tidak pernah akur itu untuk pergi berbelanja. Baju-baju untuk calon anaknya sudah sangat banyak. Suaminya pun sedang ada di rumah bermain dengan Alfi. Megan beralasan jika suaminya sedang berada di luar kota.

Megan hanya ingin mereka seperti pasangan suami istri pada umumnya. Keluar rumah saat weekend, jalan-jalan dan makan di tempat romantis. Melihat rutinitas Ulfa yang seputar hanya di dalam rumah membuat Megan merasa iba.

Di lain sisi. Ulfa dan Rifki berganti pakaian di ruang berbeda. Ulfa di kamar mandi sedangkan Rifki di kamarnya. Setengah hati sebenarnya Rifki menuruti permintaan wanita hamil di bawah sana. Mengajak Ulfa ke pusat perbelanjaan terbesar di kota  adalah hal yang tidak mudah ia lakukan. Mengingat Ulfa adalah orang yang ...

"Obat anti mabok ku mana ya?"

"Dasar orang kampung. Kita ini mau ke mall ngapain sih pakai segala minum obat anti mabuk!"

Inilah yang dikhawatirkan Rifki. Dia takut Ulfa membuat ulah dan membuatnya malu di sana.

"Ya buat jaga-jaga to Mas." Sahut Ulfa sambil mencari obat anti mabuk.

"Udah ah buruan! Mallnya tuh deket bukan di ujung kulon sana!" Rifki menyambar kunci mobil. "Cepetan, aku tinggal nih!"

Ulfa yang belum menemukan barang yang dicarinya buru-buru menyusul Rifki.

"Jangan lupa pulangnya beliin Mbak martabak sultan ya!" Seru Megan.

Rifki tidak menghiraukan permintaan Megan. Dia masih kesal dengan kakaknya.

Di sepanjang perjalanan Ulfa lebih banyak diam. Hal itu ia lakukan untuk mengurangi rasa mual akibat aroma pengharum mobil yang tidak cocok di indera  penciumannya.

"Di sana itu bukan kayak di pasar. Tempatnya luas, kamu jangan jauh-jauh dari aku nanti hilang. Tapi awas saja kalau kamu bikin aku malu. Oh iya, di sana barang-barangnya nggak bisa ditawar. Jadi, kamu jangan norak!"

Rifki terus berbicara mewanti-wanti Ulfa agar dirinya tidak malu di sana. Membawa gadis udik dari pelosok ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kotanya.

"Yo, aku ngerti kok, Mas." Balas Ulfa yang sudah sangat malas mendengar ocehan Rifki.

Tiba di tempat, Rifki segera mengajak Ulfa menuju toko perlengkapan bayi.

"Ya ampun! Iki lucu tenanan, apik!"

"Nek iku ono kupinge topine!"

"Eladalah! Opo to iki? Mbok ya gemesin buanget to mas! Delok e!"

"Oke stop!"

Ulfa diam, selimut karakter dengan topi berbentuk boneka panda itu direbut Rifki dengan kasar.

"Aku sudah bilang kan tadi? Jangan norak, jangan bikin malu!" Kesal Rifki meletakkan selimut sembarangan.

"Tapi itu lucu."

"Halah! Udah cepetan pilih, gak usah menye-menye. Ini lucu ... Ini gemes ... Malu tuh dilihatin orang!"

Ulfa melihat sekeliling, orang-orang tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tidak ada satu orang yang memperhatikannya kecuali Rifki.

"Mana? Ndak ada kok yang lihatin aku. Cuma mas Rifki doang dari tadi marah-marah."

"Dasar jawir!" Jidat Ulfa di dorong dengan ponselnya. "Bella?"

Ulfa yang memegangi jidatnya memutar tubuh melihat arah pandang Rifki. Di arah pintu masuk, terlihat perempuan berjalan cepat menuju arah lain.

"Bella tunggu!" Teriak Rifki. "Kamu pilih sendiri dulu, nanti aku ke sini lagi." Setelah berucap, Rifki keluar toko mengejar Bella.

"Itu mbak dokter Bella?" Gumam Ulfa. Memilih baju baju dalam diam.

🌜🌛🌜🌛🌜🌛🌜🌛

"Bella!"

Perempuan dengan dress peach itu terus berjalan cepat. Pura-pura tidak mendengar suara yang memanggilnya dari belakang.

"Bella tunggu!"

Akhirnya. Lengan ramping berkulit putih mulus berhasil dicekal Rifki.

"Bella, pliiss."

Tidak ada perlawanan, Bella hanya diam tanpa melihat Rifki yang memegang tangannya.

"Kita harus bicara lagi."

...

Suasana restoran di mall itu sedikit lenggang. Hanya ada beberapa pengunjung dengan jarak kursi yang jauh. Menu minuman dan makanan di hidangkan pelayanan pada meja dekat jendela.

"Terima kasih."

Ucap Bella setelah pelayanan meletakkan pesanan.

"Jadi, Ulfa hamil?"

"Nggak."

"Masa? Terus ngapain kalian di toko bayi?"

"Kenapa? Kamu cemburu?"

Bella tertawa sambil mengaduk-aduk minuman di depannya. Tawa yang terdengar dipaksakan.

"Cemburu? Aku cuma tanya Rifki." Menatap mata mantan tunangannya. "Eh, aku lupa. Nggak seharusnya juga aku tanya begitu, kita bukan siapa-siapa lagi." Kembali mengaduk minuman.

Rifki menarik tangan Ulfa. Menggenggamnya saat Bella akan menarik tangannya.

"Lihat aku!" Tekan Rifki. "Jujur sama aku, kamu masih cinta sama aku kan? Aku juga masih sangat mencintai dan sayang sama kamu. Apa yang terjadi antara aku dan Ulfa, itu kesalah pahaman." Terang Rifki dengan sungguh-sungguh.

"Terus, apa hubungannya sama aku?"

Ulfa masih berusaha menarik tangannya dan menghindari tatapan Rifki. Padahal tadi dia sangat berani menatap mata Rifki.

"Lihat aku, Bel, aku tahu kamu, aku kenal kamu lama. Perasaan kita masih sama."

Bella menatap Rifki. Keduanya saling tatap.

"Tapi keadaannya sekarang beda. Kamu yang aku anggap lelaki baik nyatanya apa?"

"Nyatanya apa? Yang terjadi antara aku dan Ulfa hanya salah paham. Harus berapa kali aku bilang sama kamu? Harus dengan cara apa lagi aku yakinin kamu, Bel? Kamu juga tahu aku, kan?"

Tangan Rifki yang lain menggenggam tangan Bella yang digenggamnya.

"Aku ke sini itu untuk beli baju calon anaknya mbak Megan. Ulfa nggak hamil, aku dan Ulfa memang nggak melakukan apa yang seperti kamu dan orang-orang pikirkan. Aku jamin itu."

"Apa jaminannya?"

"Aku membuat perjanjian dengan Ulfa."

"Perjanjian apa?" Kini mata Bella sudah memerah. Ada harapan di setiap ucapannya.

"Maaf, aku nggak bisa kasih tahu kamu untuk saat ini. Tapi aku jamin, aku nggak ada apa-apa sama dia."

Bella hendak menarik tangannya saat pertanyaannya tidak mendapat jawaban.

"Yang, pliisss, kamu nggak lihat kesungguhan aku? Aku tahu kamu masih cinta sama aku, aku pun begitu sebaliknya sama kamu."

Tidak ada jawaban, Bella hanya menangis tertunduk dan menggenggam tangan Rifki semakin erat.

"Aku mau antar kamu ke suatu tempat, kamu mau?"

🌜🌛🌜🌛🌜🌛🌜🌛🌜

Sudah hampir 4 jam Ulfa menunggu di depan toko baju bayi. Belanjaan yang sudah dipilih dan menurutnya sangat cocok untuk calon kakak iparnya itu tergeletak di meja kasir.

Dia tidak membawa banyak uang. Hanya uang berwarna biru tiga lembar yang ada di dalam dompetnya. Sedangkan harga baju-baju bayi itu memerlukan enam digit nomor untuk membayarnya.

Beberapa kali penjaga toko menanyakan Ulfa kapan akan membayarnya. Hanya jawaban menunggu suaminya yang Ulfa berikan. Perkataan Rifki yang akan kembali lagi nyatanya tak kunjung datang hingga petang. Beberapa toko sudah ada tutup.

"Sudah mau jam sepuluh, kok mas Rifki belum datang juga ya?"

Kaki Ulfa bergantian ditekuk untuk mengurangi rasa pegal. Berdiri di depan toko menunggu kedatangan suaminya.

"Maaf Mbak, toko mau kami tutup. Baju jadi dibeli atau tidak?"

Pelayanan toko datang, bertanya dengan nada sedikit sinis.

"Aduh, gimana ya Mbak, suami saya belum datang." Ulfa meringis, merasa tidak enak pada penjaga toko.

"Mungkin suami Mbak sudah pulang. Lebih baik Mbak pulang juga. Kalau tidak punya uang belanja di pasar saja." Penjaga toko semakin sinis menanggapi Ulfa.

"Maaf ya Mbak, saya ---"

"Ya sudah Mbak, tokonya mau saya tutup." Perempuan seusia Ulfa itu pergi masih sambil mengomel halus.

"Maaf Mbak," Ulfa pergi setelah lampu toko dimatikan. Ada rasa tak enak pada penjaga toko itu.

"Mas Rifki ke mana to? Aku pulang gimana?" Ulfa bergumam sendiri dia yang baru beberapa kali ke mall kesulitan mencari jalan keluar.

"Kenapa Mbak, ada yang bisa saya bantu?"

Satpam menghampiri.

Ulfa yang sedang duduk di salah satu kursi langsung berdiri.

"Anu, Pak, saya ndak tahu jalan keluar."

"Ohh, mari saya antar."

Hanya menuruni dua eskalator, Ulfa diantar satpam ke pintu utama mall.

"Terima kasih banyak Bapak satpam." Ucap Ulfa sambil membukukan badan.

"Sama-sama Mbak."

Hujan deras mengguyur, ketika Ulfa keluar dari Mall. Bagaimana dia bisa pulang? Sedangkan Rifki tidak tahu di mana.

"Gede banget hujannya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top