08. Suster Ngesot
Jangan lupa untuk Vote Komen dan Share ya!
Udah mulai Up cepet nih aku😘😘😘
↓
Sepi. Itulah yang Rifki dapatkan dari kamarnya saat ia terbangun. Hanya ada dirinya yang diselimuti hampir seluruh tubuh. Memangnya dia mayat. Amit! Amit!
Ke mana orang-orang yang harusnya menjaganya? Tidak tahu apa kalau sekarang dirinya benar-benar haus.
"Whats up bro!"
Rifki yang sedang menggerutu tidak menyadari seseorang telah masuk ke kamarnya dan langsung menepuk lengannya cukup kuat. Hal itu semakin membuatnya kesal.
"Bian sialan!" geramnya. Jika saja keadannya sedang tidak sakit, mungkin ia akan memukul balik sahabatnya itu.
"Aku baru tahu orang sakit bisa mengumpat," cibir Bian yang duduk setelah menarik kursi dari bawah ranjang.
"Mau apa ke sini? Semua kekacauan hidupku gara-gara kamu." serang Rifki dengan kata-kata tajamnya.
Bian salut mendengar balasan Rifki. Walau tenggorokan sahabatnya itu kering namun Rifki masih bisa mengeluarkan kata-kata pedas.
"Bro-Bro, kamunya saja yang nggak bisa tahan napsu." kekeh Bian. "Aku hanya mengajakmu ke kelab untuk melepas penat tanpa harus mabuk, kamu sendiri yang memesan minuman itu."
"Cih! Kedatangan kamu cuma buat keadaanku tambah buruk!"
Bian tertawa keras mendengar jawaban Rifki. Ia tidak ambil hati ucapan sahabatnya yang tajam, pertemanan mereka sejak di bangku SMP itu sudah membuat Bian hapal luar dalam tabiat seorang Rifki Ardi Julian.
Masih dengan tawanya yang coba Biam tahan, ia menyahuti ucapan sarkas Rifki.
"Harusnya kamu minta sama Dokter biar sekalian pasang GPS di perut kamu, biar nggak buntu lagi. Sekalian juga, pasang penyaring suara biar kata-katamu halus."
"Ck!" decak Rifki yang malas meladeni Bian. "Mau apa ke sini?"
"Sahabatku sakit, masa aku nggak jenguk?" Bian melipat tangan di dada. "Harusnya aku makan siang dengan Sesilia hari ini, tapi karena kamu lebih penting jadi aku batalkan saja acara kencanku."
Rifki memicingkan matanya. "Sahabat laknat, aku tahu kamu cuma mau menertawakan aku."
"Terserah." Bian mengangkat bahu tak acuh. "Yang penting niatku baik."
"Permisi," Ulfa masuk dengan membawa dua buah plastik berlogo restoran yang ada di seberang jalan rumah sakit.
"Waw!" takjub Bian, yang melihat Ulfa. "Ternyata selain suster ngesot, di rumah sakit ini juga ada bidadari yang sangat cantik." ucapnya yang tidak mengalihkan pandangannya dari Ulfa.
"Matamu kena katarak atau kanker? Operasi sana!" sahut Rifki yang mual melihat Bian dengan mulut menganga dan mata tanpa kedip memandang Ulfa.
"Apa?" Bian melirik Rifki remeh. "Aku rasa kornea mata kamu yang harus segera diganti,"
"Ck!" Rifki memutar malas bola matanya. "Oy Jawir, bawa apa kamu?" tanya Rifki pongah.
Ulfa yang sedang membuka salah satu bungkus plastik menjawab dengan suara besar. "Bawa makanan dari Mas Ibam. Katanya ini semua buat aku, mas Rifki ndak boleh minta!"
"Heh! Mulai pelit ya kamu--aw!" ringis Rifki ketika perutnya kembali sakit saat berbicara keras.
Bian kembali tertawa keras. Baru kali ini ia melihat ada perempuan yang bisa menolak pesona sahabatnya. Ulfa gadis yang sangat menarik dan unik di pertemuan pertamanya dengan gadis itu.
"Hai, aku Bian teman Rifki." ucap Bian yang menghampiri Ulfa dan duduk di depannya.
Ulfa tersenyum ramah dan membalas uluran tangan Bian.
"Ulfa, salam kenal mas Bian."
"Padahal lagi nggak hujan dan pelangi juga nggak ada, kenapa ada bidadari di sini? Apa selendang kamu hilang di sini?" sambil menyangga dagunya, Bian memandang Ulfa lama.
"Mas Bian lagi nyanyi pelangi-pelangi? Liriknya salah." ucap Ulfa polos.
Di atas tempat tidurnya Rifki tertawa kencang walau sambil meringis menahan sakit. Gombalan Bian yang selama ini selalu berhasil membuat hati para wanita meleleh ternyata tidak berlaku pada Ulfa.
Mendengar sahabatnya tertawa, membuat Bian kesal. Ini pertama kalinya ia diabaikan wanita. Tidak kehabisan stok gombalan, Bian kembali melakukan aksinya.
"Ulfa, kamu tahu nggak? Kuping, kuping apa yang bisa punya anak?"
"Ndak tahu, Mas,"
"Kupingin kamu jadi ibu dari anak-anakku."
Bian membuat bentuk hati dengan kedua tangannya yang disatukan.
"Owalah mas Bian iki eneng-eneng wae toh."
"Ulfa, menurut kamu kalau rambutku diikat begini, aku ganteng apa tambah ganteng?" Bian mengikat setengah rambut sebahunya dan menarik beberap helai di samping pelipisnya dengan karet bekas mengikat sterofom.
"Mas Bian lebih ganteng. Mirip artis yang balapan itu. Sopo yo jenenge?" ucap Ulfa jujur sambil mengingat nama pemain sinetron yang menjadi favoritnya.
Menurut pandangan Ulfa, Bian adalah laki-laki yang sangat tampan. Bahkan Bian lebih tampan dari Rifki, seperti pepatah yang mengatakan di atas langit masih ada langit tapi Rifki terlalu sombong padahal ada yabg lebih darinya.
Bian itu memiliki tubuh yang tinggi dan cukup atletis, wajahnya yang kalem dengan mata sipit dan kulit putih membuatnya mirip seperti artis dan grup penyanyi yang beberapa hari lalu tampil di sebuah stasiun televisi nasional.
"Oke, besok aku bakal ikat rambutku kayak gini," ucap Bian dengan suara selembut kapas.
Rifki menggeram kesal mendengar ucapan Bian yang dibuat lembut. Dengan lemparan cukup kuat, Rifki menimpuk Bian dengan sebungkus roti tawar yang ada di meja nakas.
"Heh bedebah! Kamu ke sini buat jenguk aku, kenapa malah ngegombal sama si Jawir." kesal Rifki. "Kamu juga, cepetan makan."
"Calm Bro," sahut Bian. "Ulfa, mas Bian yang ganteng mau ke suami kamu dulu ya," setelah tersenyum manis pada Ulfa, Bian kembali duduk di samping Rifki.
"Mas Bian ndak mau makan ini?"
"Lihat kamu saja mas Bian sudah kenyang, apalagi lihat senyum kamu, bisa-bisa mas Bian kena stuk."
Ulfa hanya tersenyum, ia tidak mengerti ucapan laki-laki itu. Mungkin ucapan dan bahasa orang kota memang aneh dan tidak masuk akal.
"Bodoh." cela Rifki saat Bian kembali duduk di tempatnya tadi.
Bian terkekeh, ia membenarkan ikatan rambutnya yang asal tadi. Mengabaikan celaan Rifki atas gombalannya tadi, Bian bertanya dengan serius.
"Serius Bro, Ulfa lebih cantik dari pada Bella, dia imut seperti anak SMA yang main tik tok itu. Kamu malah nggak terima menikah sama dia." bisik Bian sambil melihat Ulfa yang sedang makan.
"Bella lebih dari segalanya, aku menikah karena sebuah tanggung jawab yang belum tentu aku lakuin sama dia." Rifki membalas ketus. Sampai sekarang ia masih belum mengingat kejadian malam itu.
"Maksudnya apa?" Bian memicingkan matanya. "Jelas-jelas kamu melakukan itu, darah di seprai, kamu dan dia yang telanjang dan ..." Bian mendekatkan wajahnya. "Ulfa yang nggak bisa jalan. Pasti kamu main kasar malam itu."
"Sialan." Rifki mendorong wajah Bian kuat.
Laki-laki itu tertawa melihat wajah sahabtanya yang memerah.
"Benarkan?" ucap Bian menaik turunkan alisnya.
"Jangan sok tahu kamu." sahut Rifki ketus.
"Tante Yuni menangis waktu cerita itu, beliau sampai rela nunggu aku selesai rapat hanya untuk menanyakan kejadian sebenarnya." ungkap Bian yang baru Rifki tahu.
Rifki menatap Bian tidak percaya. "Mama ke kantor?"
"Iya," angguk Bian. "Tante Yuni minta aku untuk cerita, ya aku ceritakan semuanya. Tapi aku nggak tahu kalau kamu sampai melakukan itu,"
"Sudah aku bilang, aku lupa malam itu!"
Bian kembali tertawa. Wajah Rifki benar-benar menunjukan kekesalannya.
"Jam istirahatku sebentar lagi selesai," Bian melihat jam di tangannya. "Aku pulang dulu, semoga lekas sembuh dan kamu dapat salam dari pak Haryanto."
"Pergi kamu pergi! Bedebah sialan! Lukaku tambah sakit dengar nama orang itu!" usir Rifki sambil menunjuk wajah Bian.
Tidak memperdulikan hardikan Rifki, Bian pamit pada Ulfa tidak lupa dengan gombalan mautnya. Ia berjanji akan datang lagi untuk bertemu dengan Ulfa yang langsung ditolak Rifki.
Setelah kepegian Bian, suasana kembali hening. Ulfa mulai menyantap makanannya tanpa menawari Rifki, karena laki-laki itu masih belum diperbolehkan makan dan minum sebelum buang gas.
"Jawir! Ambilin air aku haus!" panggil Rifki setengah berteriak.
"Kata Dokter, mas ndak boleh minum sama makan." sambil mengunyah, Ulfa menyahut.
"Kamu mau aku mati kehausan? Iya?"
"Aku ndak bilang begitu, mas Rifki sendiri yang bilang ya. Ingat loh Mas, ucapan adalah doa, nanti ada malaikat lewat nyawa mas Rifki langsung dicabut tau rasa."
"Heh!" delik Rifki. "Jadi sekarang kamu doain aku supanya nyawaku dicabut? Kurang ajar ya kamu!"
Kali ini Ulfa benar-benar menghentikan makannya. Ia menatap Rifki sambil bersedakap tangan.
"Aku sebagai istri cuma bisa mengaamiini ucapan suami. Syukur-syukur kalau terkabul."
"Ja-jawir! Awas kamu ya!"
Tubuhnya yang sedang tidak berdaya membuat Rifki tidak bisa membalas ucapan Ulfa atau setidaknya ia menjitak kepala gadis itu.
🍒🍒🍒
Saat jam besuk malam, keluarganya mulai datang. Setelah menanyakan keadaan Rifki, semuanya mulai berbincang santai membiarkan Rifki istirahat.
Alfi yang sedang berusaha mengambil buah di meja langsung berteriak.
"Uwek! Bau!"
"Iya, kok bau sih?" Megan langsung mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Huuwek!" lalu menutup mulutnya ketika perutnya mual.
"Mambu opo to ini? Koyok ndog bosok!" Ulfa langsung bangun, ia mencari sumber bau tersebut sambil menutup hidungnya.
Semua orang yang berada di ruangan itu menutup hidung dan mulutnya. Bau yang menyengat benar-benar membuat mereka tidak tahan ingin muntah.
"Ihhh! Om iki yang bau!" celetuk Alfi yang berada tepat di samping pinggang Rifki.
"Apa?" dengan wajah tanpa dosa, Rifki menyahut.
"Astagfirullah Le! Mbok yo bilang kalau mau kentut! Mambu tenan entutmu iku!" marah Yuni, ia memukul kaki Rifki. "Nggak sopan begitu!"
"Apa sih Ma, orang hidup ya pasti kentut lah." balasnya dengan malas. Perutnya benar-benar terasa lega saat ini.
"Kamu hampir saja buat Mbak lahiran prematur!" Megan ikut nyahut. Ia usap perutnya beberapa kali.
"Sudah-sudah, ayo kita keluar dulu." ajak Ali sambil menarik Alfi.
Semuanya keluar dari ruangan itu. Rifki hanya menampilkan wajah masa bodohnya. Yang penting sekarang dirinya bisa minum dan makan. Lagian, bau gasnya tidak terlalu menyengat kok. Merekanya saja yang berlebihan.
Dua puluh menit lebih berlalu setelah bau gas beracun yang dikeluarkan Rifki, hanya Ulfa yang masuk ke kamarnya. Gadis itu langsung menyemprotkan pengharum ruangan.
"Pelan-pelan Jawir! Kena wajahku nih!" tegur Rifki yang menutup wajahnya.
"Ben ora mambu meneh." setiap sudut ruangan itu disempot.
"Kentut mana ada yang wangi." Rifki melempar Ulfa dengan tissu bekas. "Ambilin minum dong, haus nih."
"Nyah, bissmillah." dengan hati-hati, Ulfa memeberikan minum. "Mas Rifki makan juga?" tanyanya sambil mengelap mulut Rifki dengan tissu tadi.
Rifki mengangguk. "Iya tapi jangan yang dari rumah sakit." tersadar, Rifki berseru. "Jawir!"
Ulfa langsung menyiapkan bubur yang dibawa Yuni tadi. Anggap saja teriakan Rifki tadi suara tutup kaleng yang jatuh.
Kata Yuni, bubur ini memang bubur racikan keluargnya turun temurun untuk memulihkan tenaga orang yang sakit.
"Aku mau kuahnya yang banyak." pinta Rifki.
Ulfa memberikan kuah bubur yang banyak. Ia dengan sabar menyuapi Rifki walau kadang laki-laki itu mengomelinya. Yang katanya menyuapinya tidak iklas. Rifki dengan kesuudzonannya yang mendarah daging memang menguji kesabaran.
Selesai menyuapinya Rifki dan mencuci mangkok kotor, Ulfa melihat makanan Rifki dari rumah sakit masih utuh. Padahal menunya juga enak menurut Ulfa, ada bubur ayam, telur dan buah pisang.
"Jawir," panggil Rifki namun tidak mendapat sahutan.
"Jawir!"
"Iya Mas, ada apa?" Ulfa datang terburu-buru.
Rifki menatap Ulfa aneh. "Punggungku gatal, garukin."
Ulfa menggaruk punggung Rifki yang gatal dengan hati yang coba ia iklaskan.
"Bukan di situ, ke atas sedikit. Ke atas sedikit lagi, nah, ke kiri iya terus, atasan lagi, bukan yang itu. Aku bilang ke kiri atasan lagi Jawir. Yang ini nih, masa kamu nggak tahu sih. Bisa lihat nggak?" Rifki dengan kesal menggoyangkan punggungnya.
Plak!
"Nyah! Nyah! Nyah! Masih gatel ora?" punggung Rifki yang lebar Ulfa tepuki.
"Stop! Stop!" Rifki langsung membalik tubunya. "Mau siksa aku ya kamu!"
"Kan biar merata, ngono loh."
Tangan Rifki yang tidak diifus mengepal di depan wajahnya. "Sudah ah sana pergi, dasar jawir. Lap tuh nasi di bibir kamu, jijik aku lihatnya."
Meraba sudut bibirnya, Ulfa menunduk malu karena ada sisa nasi di bibirnya. Ia pergi ke sofanya dan mulai merebahkan diri.
Beberapa menit berlalu, suara dengkuran halus Ulfa pun terdengar. Rifki yang belum tidur mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat Ulfa.
"Ppfft." Rifki menahan tawanya. "Sayang banget aku nggak pegang hape."
Ulfa tidur dengan kepala terkulai hampir jatuh dari tangan kursi. Mulut dengan bibir bawah yang tebal dan terbelahnya terbuka. Membuatnya terlihat sangat lucu. Lalu, Rifki melirik kotak makannya dari rumah sakit yang sudah kosong.
"Oh, jadi dia makan makanan busuk itu."
Bersambung ...
Kira-kira harus punya stok sabar berapa kubik kalo punya suami model si Rifki ini?
Pas iketan rambut Bian udah dibenerin. Ganteng apa tambah ganteng?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top