07. Trauma Rifki
"Kamu kenapa?"
"Sakit perut, Bang,"
Ibrahim hanya menatap adik bungsunya yang baru datang dengan wajah meringis sambil memegangi perut. Rifki duduk di kursi dengan kepalanya yang ia tidurkan.
"Ada salah makan apa kamu?"
"Nggak ada," geleng Rifki. "Terakhir aku makan soto di kantin kantor sebelum ke sini."
"Sebelumnya?"
"Nggak ingat, bang Ibam ini nanya mulu kayak Dokter, padahal tukang tambal ban." dumalnya yang merasakan perutnya kembali sakit.
Ibrahim menggeleng, adiknya itu sangat keras kepala.
"Coba cari di meja Abang, kayaknya ada obat sakit perut. Di laci yang plastik warna putih, ada nama apoteknya juga." setelah memberi tahu Rifki, ia kembali melanjutkan memeriksa mesin mobil pelanggan yang rusak.
Rifki menurut, ia masuk ke ruangan Ibrahim dan mencari obat yang dimaksud. Namun, belum sempat ia meminum obat itu, perutnya kembali terasa lebih sakit.
Keluar dengan wajah pucat dan keringat dingin, Rifki menghampiri Ibrahim dengan langkah terseok. Ia membungkuk sambil meremas perut sebelah kirinya.
"Bang ... perutku sakit."
"Astagfirullah!" peralatan bengkelnya langsung ia jatuhkan begitu saja kala melihat Rifki yang tersungkur di sampingnya. Ibrahim langsung memanggil karyawannya untuk membantu mengangkat tubuh Rifki.
Ibrahim langsung membawa Rifki ke rumah sakit. Di ruang UGD, Bella yang kebetulan sedang bertugas kaget melihat Rifki yang tidak sadarkan diri. Ia dan beberapa perawat mulai menangani mantan tunangannya.
"Rifki kenapa Bel?" tanya Ibrahim. Walau hubungan adiknya dan Bella sudah berakhir, namun hubungan mereka tidak berubah. Ibrahim tetap menganggap Bella seperti adiknya.
"Dilihat dari diagnosanya, kayaknya Rifki kena usus buntu, Bang," jawab Bella tanpa embel-embel bahasa formal.
"Usus buntu?"
"Iya, Bang, ini baru diagnosa saja, untuk lebih lanjutnya nanti akan ada pemeriksaan lagi."
"Berarti harus operasi?"
Bella tersenyum sebelum menjawab, "kalau hasil pemeriksaan lanjutnya memang benar usus buntu, Rifki harus dioperasi."
"Anak itu," hela Ibrahim.
"Em ...," Bella terlihat ragu saat akan melanjutkan ucapannya. "Bella gimana kabarnya Bang?"
"Dia semakin cantik dan pintar, sudah bisa berdiri walau sebentar. Habis itu jatuh lagi." Ibrahim terkekeh menjawabnya.
Bella ikut tersenyum menanggapinya. Bayi itu memang sangat cantik dan pintar.
"Ibrahim."
Keduanya menoleh ke asal suara. Yuni dan Ulfa berjalan tergesa-gesa menghampiri Ibrahim. Sebenarnya hanya Yuni yang menampilkan wajah khawatir, sedangkan Ulfa malah takjub dengan kemegahan rumah sakit yang baru pertama kali ia datangi.
"Mama," Ibrahim segera menghampiri Yuni dan menyalaminya.
"Ma," Bella juga ikut menyalami Yuni. Terlihat jelas raut sedih di wajah cantik Bella. Wanita di depannya ini hampir menjadi ibu mertuanya.
"Bella sehat?" Yuni tersenyum sambil mengusap tangan Bella.
"Alhamdullilah sehat, Ma."
Ulfa hanya diam memandang interaksi di depannya. Bella, wanita yang terlihat anggun dan dewasa dengan kecantikan yang sangat menawan.
"Ini Ulfa, istri Rifki," Yuni memperkenalkan Ulfa walau ia tidak enak dengan Bella. Namun Bella harus tahu istri mantan tunangannya.
"Bella," Bella lebih dulu menyodorkan tangannya. Ia tersenyum lembut menatap Ulfa.
"Ulfa," tubuh Ulfa membungkuk hampir sembilan puluh derajat dan hampir juga mencium tangan Bella jika saja Bella tidak cepat menarik tangannya.
"Jadi, Rifki kenapa, Bella?" tanya Yuni yang merasa suasana mulai canggung.
"Rifki didaognosa kena usus buntu, Ma. Untuk lebih jelasnya kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan."
"Astagfirullah, terus sekarang keadaannya gimana?" dari ketiga anaknya, memang Rifki yang hampir tidak pernah sakit dan jarang sekali masuk rumah sakit. Terakhir Rifki sakit parah adalah saat dirinya kelas dua SMA dan itu sudah sangat lama sekali.
"Masih belum sadar, mungkin satu jam lagi baru sadar." ucap Bella, ia melihat jam tangannya. " Bella tinggal dulu ya Ma, ada pasien baru lagi. " pamitnya dan tersenyum saat melewati Ulfa.
Yuni mengucapkan terima kasih saat Bella akan pergi. Ia dan Ulfa segera menuju tempat Rifki di rawat. Sedangkan Ibrahim yang masih mengenakan pakaian bengkelnya harus pulang untuk berganti pakaian dan menjemput anaknya yang dititipkan di rumah mertuanya.
Ulfa meringis meliat Rifki yang terbaring lemah dengan wajah pucat dan sesuatu yang menancap di tangan kanannya. Ini pertama kalinya ia masuk ke rumah sakit sebesar ini dan ini pertama kalinya juga ia melihat secara langsung orang sakit yang diinfus seperti di tivi-tivi.
"Ya Allah, Le, kamu kok bisa kena usus buntu begini sih?" Yuni mengusap kepala Rifki. Wanita itu tidak tega melihat anaknya yang tidak berdaya.
"Mas Rifki kenapa to? Tadi pagi masih sehat apalagi pas ngunci aku di gudang." Ulfa ikut bersuara. Ia masih ingat wajah bahagi Rifki yang berhasil menguncinya di gudang tadi pagi saat ia akan mengambil barang. Namun sekarang, wajah pria itu sangat pucat dengan bibir kering.
"Apa sih dekat-dekat." dengan lemas Rifki menjauhkan wajah Ulfa yang sedang memperhatikan tangannya yang diinfus.
"Lagi sakit masih bisa marah-marah." Ulfa menggeser duduknya sambil mengelus jidatnya.
"Aku kok bisa di sini?" tanyanya setelah sadar bahwa ia berada di ruang rawat inap rumah sakit. "Aku mau pulang."
"Heh!" Yuni memukul pelan pundak anak bungsunya. "Kamu mau dioperasi, enak saja minta pulang."
"Apa Ma? Adududuh!" ia langsung memegangi perutnya. "Operasi? Aku mau dioperasi?"
"Iyo, kamu kena usus buntu." jawab Yuni.
Seketika jantung Rifki berdetak lebih kencang dan cepat. Ia tidak mau lebih tepatnya ia takut dengan alat-alat yang berhubuungan dengan rumah sakit. Dulu ia pernah dijahit di bagian lengan dan kepalanya karena jatuh dari motor saat masih SMA. Sejak saat itu ia trauma, Rifki menjaga tubuhnya agar tidak sakit dan tidak berhubungan dengan ramah sakit. Namun, sekarang dirinya akan dioperasi dengan alat-alat tajam yang akan menyayat perutnya. Demi apa pun Rifki tidak mau!
"Nggak! Aku nggak mau dioperasi! Aku nggak mau perutku disobek-sobek!" seperti anak kecil, Rifki berusaha bangun.
"Kamu mau penyakitnya lebih parah? Mau kena infeksi? Mau?" gertak Yuni.
Rifki langsung terdiam. Jelas ia tidak mau penyakitnya lebih parah tapi dia juga tidak mau disayat-saya oleh benda tajam di ruang operasi nanti.
"Mulai nanti malam kamu puasa, besok kamu dioperasi jam pertama." jelas Yuni. "Mama mau telepon papa dulu." Yuni keluar sambil menunggu panggilannya dijawab.
Dia atas ranjangnya, Rifki hanya bisa menatap cairan infus yang mengalir teratur. Malam ini ia sudah mulai puasa untuk persiapan operasi besok. Perutnya masih terasa perih namun tidak sesakit tadi siang, mungkin karena reaksi obat yang sudah berjalan.
Hanya ada Ulfa yang menemaninya. Gadis itu terlelap dengan dengkuran halus di atas sofa. Kedua orangtuanya telah pulang saat jam besuk berakhir. Bayangan bedan-benda tajam yang akan menyayat perutnya besok sukses membuat Rifki tidak bisa tidur. Padaha Dokter sudah menyuruhnya tidur lebih awal.
🍒🍒🍒
Kurang dari satu jam waktu yang dibutuhkan Dokter untuk melakukan tindakan operasi pada Rifki. Kini, laki-laki itu sudah dipindahkan kembali ke kamar rawatnya. Efek obat bius membuatnya muntah, luka yang baru saja dijahit terasanya sangat nyeri ketika ia mengejan saat muntah.
Tubuhnya terkulai lemas setelah beberapa kali muntah. Rifki benar-benar tidak berdaya hanya untuk membuka mulut.
"Masih mau muntah, Le?" Yuni mengusap-usap dada anak bungsunya.
Rifki hanya menggeleng, tenggorokan terasa sangat kering.
"Haus, Ma." ucapnya lemah.
Yuni mengangguk sambil terus mengusap dada dan kepala Rifki bergantian. "Iya, Mama tahu. Tapi kamu belum boleh minum kalau belum kentut."
Rifki memejamkan matanya, berusaha menahan haus dengan tidur. Sepertinya tahun ini tahun tersialnya, jabatan yang direbut, meniduri pembantunya, gagal bertunangan, menikah dengan terpaksa dan sekarang dirinya harus masuk rumah sakit dan terbaring tidak berdaya. Jika sembuh nanti, ia akan mandi di laut sambil membuang baju kumal milik Ulfa untuk buang sial.
"Ma, ini saya taruh di plasti ya," kata Ulfa yang baru keluar dari kamar mandi untuk membilas selimut yang terkena muntahan suaminya.
Gadis itu tidak merasa jijik sama sekali saat tangannya juga terkena muntahan Rifki. Bahkan ia mengusap mulut suaminya dengan tangannya langsung.
"Mama kan sudah bilang Fa, biar nanti di laundry saja."
"Ndak apa-apa, Ma,"
Yuni tersenyum melihat Ulfa yang sangat telaten merawat anak bungsunya. Wanita yang masih cantik di usianya yang tidak muda lagi itu mendekati menantu dadakannya.
"Mama bersyukur punya menantu seperti kamu, Fa." ucapnya seraya memluk Ulfa. "Rifki kayaknya tidur, Mama mau pulang dulu, nanti malam Mama sama Papa ke sini."
"Iya, Ma. Hati-hati di jalan."
Ulfa mengantar Yuni sampai pintu, ia menyalami mertuanya sebelum pergi.
"Aku ganti baju dulu lah, sekalian wudu." Ulfa kembali masuk ke kamar mandi lagi, beberapa menit lagi azan duhur berkumandang.
Baru saja Ulfa meletakan mukenanya, seseorang mengetuk pintu. Ulfa langsung mempersilakan masuk saat tahu siapa yang datang.
"Maaf Dokter, cuma ada ini," Ulfa meletalan air mineral dalam kemasan gelas.
"Nggak usah repot-repot," Bella menjawab sungkan. "Maaf, saya datang nggak bawa apa-apa. Selesai visit saya langsung ke sini."
"Di sini sudah banyak makanan kok, Dokter. Ndak usah bawa apa-apa." Ulfa menunjuk beberapa kantong buah dan makanan.
"Gimana keadaan Rifki?" tanya Bella, melihat mantan tunangannya tertidur.
Ulfa ikut melihat suaminya. "Mas Rifki baru saja tidur, tadi habis muntah-muntah."
"Oh," Bella mengangguk mengerti. "Kamu bahagia menikah dan menjadi istri Rifki?" Bella bertanya hati-hati, ia takut menyinggung perasaan Ulfa.
Tidak ada niat lain selain ingin tahu kabar Rifki dan Ulfa. Rasa sayang dan cintanya sudah berganti dengan rasa peduli dan khawatir sebagai teman. Bella mengubur kenangan bersama Rifki selama tiga tahun mereka menjalin hubungan dengan hati yang hancur. Namun, ia sudah iklas mungkin jodohnya akan digantikan dengan laki-laki yang lebih baik dari Rifki.
Namun, Ulfa yang ditanya seperti itu hanya menunjukan wajah datar dengan bibirnya yang sedikit mencebil.
"Pas malam itu mas Rifki kesurupan---"
"Kesurupan?" potong Bella haran.
Ulfa mengangguk kencang. "Iya! Pas malam itu mas Rifki kesurupan, dia terus manggil nama Dokter sambil makan bibir saya dan robek baju saya. Saya udah baca ayat kursi tapi ndak mempan!"
"Apa!" mulutnya langsung ia tutup. Bella sangat terkejut mendengar jawaban Ulfa.
"Mas Rifki itu galak, suka marah-marah sama suka ngatain saya. Dia juga suka kesurupan, mas Rifki juga pelit, nggak kasih saya selimut pas tidur di kursi sampai saya masuk angin setiap malam. Saya nggak bahagia menikah sama mas Rifki. Kata mas Rifki, kami menikah cuma satu tahun. Habis itu saya bukan istrinya lagi." tutur Ulfa dengan wajah menunjukan kekesalan terhadap Rifki.
"Ulfa, kamu ...." gadis di hadapannya ini, Bella tidak tahu kalau Ulfa sepolos dan selugu ini.
Kenapa? Kenapa mantan tunangannya itu bisa bersikap kasar pada perempuam? Setahunya, Rifki adalah sosok yang sangat lembut terhadap perempuam. Selama menjalin hubungan dengan Rifki, Bella tidak pernah diperlakukan kasar seperti itu.
Bersambung ...
Kangen gak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top