05. Mulai Paham

Rifki duduk dengan kasar sampai menimbulkan derit kursi cukup keras, ia juga membalikan piring secara kasar pula. Tentu hal itu membuat kedua orangtuanya terganggu dengan tingkah anak bungsu mereka.

"Pecahkan sekalian, Rifki. Sekalian juga kamu makan belingnya." ibunya menegur dengan ketus. Tidak ada sopan santun sama sekali anak bungsunya ini di depan orangtua.

"Mama kira, aku pemain jaranan?" kenapa pagi ini semuanya terasa menyebalkan baginya. "Nggak sekalian saja Mama suruh aku minum air panas." balasnya tak kalah ketus sambil melirik uap yang mengepul dari kuah sop di depannya.

Yuni akan menjawab namun didahului oleh Ali. "Kenapa wajah kamu?"

Untuk pertama kalinya setelah pernikahannya setengah bulan yang lalu, ayahnya berbicara lagi dengannya walau dengan nada datar. Setidaknya dia masih diperhatikan sebagai anak.

"Dipukul pembantu Papa." jawab Rifki malas. Wajah sok polos Ulfa langsung lewat di kepalanya. Membuatnya semakin tambah kesal.

"Mau Papa tambah lagi pukalan Ulfa?" Ali cukup terkejut. Seorang Rifki bisa dipukul oleh seorang wanita. Selama ini tidak ada yang mau berurusan dengan putra bungsunya ini yang sangat keras kepala.

"Ck! Makasih Pa." bukannya dibela, malah tawaran tidak diinginkan yang ia dapatkan. Dasar pembantu penjilat. Sejenis dengan si Haryanto!

"Ini sayur Bapak, maaf baru matang, Pak." Ulfa meletakan sepiring sayur di depan Ali.

"Kok, masih panggil bapak, sih? Kan Mama sudah bilang, panggil Papa Mama." tegur Yuni.

"Maaf Bu, eh, maksudnya Mama." lidah Ulfa masih kaku untuk mengucapkan kata itu. Selama ini, belum pernah dia memanggil orangtua dengan panggilan itu. Hanya Mbah, Mbah dan Mbah yang selalu dia sebut sebagai orangtuanya.

Mendengarnya, membuat Rifki jengah. Ia memutar bola mata malas. Drama seorang pembantu akan dimulai sebentar lagi.

"Lho, kenapa sayurnya hambar?" tanya Ali setelah memasukan satu sendok nasi dan sayur ke mulutnya.

Yuni ikut mencicipi sayur suaminya. Rasanya memang hambar. Dia kira waktu Ulfa meminta menunggu sayur untuk suaminya matang, sayur itu adalah sayur spesial yang rasanya enak.

"Iya, kok sayurnya hambar gini?" tanya Yuni juga.

Ulfa meringis. Dia hanya mengikuti saran Dokter yang memeriksa mertuanya waktu itu. Tekanan darah Ali sedikit tinggi, maka pria itu disarankan untuk mengurangi dulu mengkonsumsi asin dan minyak-minyakan.

"Saya cuma ikutin saran Dokter saja, Ma. Cuma seminggu, habis itu Papa cek lagi semoga tekanan darahnya turun." terang Ulfa.

"Alhamdullilah ... Papa dapat menantu perhatian." Ali dan Yuni tersenyum. Mereka dengan lahap memakan masakan yang hambar itu.

Papa sakit? Kapan? Kok aku nggak tahu?

Ucapan disertai sindiran itu begitu menohok Rifki. Komunikasinya dengan sang ayah memang agak renggang setelah kejadian itu. Biasanya ia selalu menjadi orang yang akan mengantarkan ayahnya ke Dokter. Namun, kali ini ia bahkan tidak tahu ayahnya sakit.

"Ayah sakit kenapa?" tanyanya khawatir.

"Banyak pikiran gara-gara anaknya." jawab Yuni masih ketus. Sedangkan Ali tetap lahap dengan makanannya.

Rifki mentap tajam Ulfa yang malah seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Semua ini kan gara-gara pembantu itu, andai dia tidak ... ah, sudahlah.

"Ambilin." ucap Rifki, saat Ulfa akan mengambil nasi untuknya sendiri.

Ulfa menurut, ia mengambil makanan untuk Rifki. Ingin rasanya sayur panas ini ia tumpahkan ke tangan laki-laki itu, agar luka sekalian.

"Suapin." Rifki mengakat dagunya angkuh.

"Mas kan ndak sibuk, tangannya juga ndak pegang hape kayak waktu itu," ucap Ulfa. Niatnya akan duduk tertunda.

"Kamu nggak lihat ini?" wajahnya ia tunjuk.

"Kan wajahnya yang luka, bukan tangan."

"Gara-gara siapa aku begini?"

"Gara-gara Mas lah, suruh siapa kasar sama aku." Ulfa tidak mau disalahkan atas apa yang terjadi semalam.

"Melawan ucapan suami, kamu ya." geram Rifki. Ia lupa jika di meja itu bukan hanya dirinya dan Ulfa saja.

Ali dan Yuni saling lirik mendengar perdebatan anak dan menantunya ini. Jadi, sebelumnya Rifki pernah minta disuapi Ulfa? Dasar pertengkaran pengantin baru.

"Sadar kamu sekarang jadi suami?" ucap Ali. Menuruni sifat siapa anaknya ini?

"Bahkan aku sadar waktu ijab kabul." balas Rifki. Ia kembali menatap Ulfa. "Cepetan suapin. Jangan lupa ditiup dulu." desaknya tidak sabar.

Sabar-sabar, ini pahala istri melayani suami.

🍁🍁🍁

Keras kepala, tidak mau mengalah dan disalahkan padahal salah, suka seenaknya sendiri, apa-apa minta dilayani seperti anak kecil. Tidak bisa makan-makanan pedas, selalu lupa membawa handuk saat mandi, mulutnya seperti ibu tetangga sebelah yang cerewet dan marah-marah tanpa sebab. Itu yang Ulfa pahami selama satu bulan menikah dengan Rifki.

Laki-laki itu akan selalu berkata ketus ketika berbicara dengannya. Ditambah wajah menekuk dan lirikan mata tajamnya yang sinis. Sudah cukup membuat Ulfa sangat paham dengan watak dan tabiat Rifki. Laki-laki itu memiliki mood swing seperti remaja labil.

"Awas ya kalau di sana malu-maluin." Rifki menunjuk wajah Ulfa. "Jangan planga plongo apalagi norak sama kampungan." ultimatum itu ia muntahkan di depan Ulfa yang hanya diam mendengarkan.

Hari ini mereka akan menghadiri acara pembukaan pusat perbelanjaan baru. Rifki yang mendapat undangan terpaksa mengajak Ulfa atas paksaan ibunya yang mengatakan bahwa mereka harus sering keluar bersama.

Rifki yang teramat mencintai dan menyayangi ibunya dan sangat takut dikutuk menjadi batu kali yang lumutan mengabulkannya. Ia mengajak Ulfa untuk ikut bersamanya walau terpaksa dan setengah hati.

"Satu lagi." Ulfa menabrak punggung Rifki saat pria itu menghentikan langkahnya mendadak. "Ck! Jangan ngobrol sama orang yang nggak kenal di sana. Paham?"

Ulfa lagi-lagi hanya mengangguk, dia sebenarnya malas untuk ikut dengan Rifki. Selain ia akan mendengar omelan pria ini, dia juga pasti akan menjadi objek kekesalan Rifki walau bukan dirinya penyebabnya.

"Paham nggak?"

"Iyaaa Mas, aku paham kok."

Rifki berdecak mendengar balasan Ulfa yang terlihat malas. Ia berjalan cepat menuju mobilnya. Saat mobil sudah melaju dan keluar dari area komplek perumahannya, Rifki terpaksa meminggirkan mobilnya saat Ulfa memukul lengannya dengan tangan kiri yang menutup mulut.

"Apa sih Jawir, kita hampir telat!" geram Rifki. Dua puluh menit lagi acara akan dimulai.

"Mmm!"

"Apa?"

Ulfa makin kuat membekap mulutnya, matanya sudah mengeluarkan air mata dan wajahnya yang separuh terlihat sudah memerah.

"Emmmp!"

"Kamu mau bilang apa sih?!" Rifki melepaslkan sabuknya. Ia menghadap Ulfa berniat melepaskan tangan gadis itu. "Jangan buat aku marah ya, pake segala nutup mulut gitu."

"Emmmphh!"

"Ck! Ngomong apa sih--jangan bilang ka--"

"Huwweekk!"

Rifki teridam hampir sepuluh detik. Rasa hangat di tangan dan pahannya lah yang menyadarkannya. Seketika itu juga kepalanya terasa mendidih dan siap meledakkan lava panas.

"Jawiiir!"

                                 🍒🍒🍒

Acara menghadiri undangan hari itu gagal total. Seharian itu juga mood seorang Rifki Ardi Julian berada di tingkat paling bawah batas kesabarannya. Ulfa yang muntah di mobilnya dan mengenai tubuhnya sukses membuat pria itu uring-uringan selama hampir dua hari. Mobilnya langsung ia steam, hampir satu lusin pengharum mobil ia letakan di setiap sudut mobilnya terutama di bagian depan.

Ulfa yang tidak meminum obat anti mabuk tidak bisa menahan rasa mual saat aroma pengharum mobil dan udara AC masuk ke pernapasannya. Dia tidak biasa menaiki mobil, di kampung dia selalu berjalan kaki jika ingin pergi karena jarak yang tidak terlalu jauh ditempuh. Karena terlalu sibuk dengan omelan Rifki, dia sampai lupa meminum obat anti mabuknya.

"Cuma kena muntah saja, mobil sampai service full body begitu. Lebay kamu." Ibrahim, kakak sulungnya sampai geleng kepala melihat adiknya yang datang ke showroom dan bengkelnya dengan dramatis.

"Nggak ada kata lebay buat kejadian semua ini. Coba bang Ibam bayangin, mobilku itu masih baru, sudah dikotori sama muntahan si Jawir!" sungut Rifki berapi-api. "Bella mau lagi?" anak kecil yang berada di pangkuannya membuka mulut dengan gigi yang mulai tumbuh.

Ibrahim atau yang sering dipanggil Ibam kembali menggelengkan kepalanya. "Ulfa itu istrimu, Ki. Coba jangan kasar sama dia. Kasihan, semua kan gara-gara kamu,"

Salahku lagi!

Alih-alih mendengarkan nasihat kakaknya, Rifki malah asyik mengajak Bella bermain. Ia sedang tidak ingin membahas masalah gadis itu, yang pasti berujung perdebatan nantinya. Jika sudah begitu, otomatis service mobilnya tidak akan gratis.

Hampir tiga jam menunggu mobilnya selesai diservice dan sekalian menjadi baby sitter Bella, sebagai ganti bayarannya. Rifki pulang dengan walah puas. Mobilnya sudah jauh lebih baik setelah disalon. Selain itu, ia juga mendapat nasihat lebih banyak dari Ibam yang ditelan bulat-bulat olehnya.

Dapur adalah tujuan pertamanya ketika sampai. Jus jambu kemasan yang dingin pasti sangat menyegarkan. Di dapur, Uwi dan ibunya sedang memasak. Menyadari kehadiran seseorang, Yuni segera melihat ke arah pintu.

"Sudah pulang kamu," sapa Yuni.

"Belum, masih di jalan." Rifki membuka pintu kulkas, tanpa memakai gelas, ia langsung meminum jus dari wadahnya.

"Oh ..." wanita itu mengangguk, "mungkin ini setan, Wi, coba ambilkan surat yasin."

Uhuk!

Rifki tersedak, ia menatap Yuni tajam.

"Mama kira aku jin yang nyelonong masuk begitu saja!"

"Memang iya, kalau manusia mana mungkin masuk rumah tanpa salam, ibunya sendiri tidak disapa, ditanya malah jawabnya ngalor. Apa namanya kalau bukan jin?"

Memasukan jus dengan kasar, Rifki kembali menatap Yuni.

"Kalau aku jin, Mama apa? Ratunya jin?"

"Rifki!"

Kol bulat yang akan dijadikan masakan melayang. Rifki yang lebih cepat bergerak bisa selamat dari lemparan ibunya. Sambil tertawa, ia masuk ke kamarnya yang ... tumben bau minyak kayu putih? Apa Bella main ke sini sebelum ia ke showroom Ibrahim tadi?

"Huwwek! Huwwek!"

Suara orang muntah dari dalam kamar mandinya membuat Rifki mendekati pintu itu. Ia tempelkan telinganya agar bisa lebih mendengar.

"Ini sudah dua hari, masih mabok kamu?"

Sambutan dengan nada ejekan itulah yang menyambut Ulfa saat membuka pintu. Dalam hatinya ia menyumpahi pria yang sedang bersandar di pinggir pintu itu agar ... astagfirullah! Dia tidak mau menjadi istri durhaka.

"Lihat wajah mas Rifki saja aku bisa mabok." Ulfa melengos menuju sofa. Ia berbaring sambil mengusap minyak kayu putih pada perut dan tenggorokannya.

"Selain mabok, kamu juga mulai katarak ya?" Rifki duduk di kepala sofa. Ia mencubit jari kelingking kaki Ulfa yang kecil. Yang membuat Ulfa menarik kakinya. "Mukaku ini masuk ke dalam majalah The One Hundred Most Handsome Asian Face dua ribu dua satu."

Terserah, mau masuk lubang sumur juga aku ndak peduli.

Ulfa yang kepalanya masih pusing memejamkan matanya. Sepertinya kehadiran Rifki membuat keadaannya bertambah parah. Mabok darat ini benar-benar menyiksa, bau aroma AC dan pengharum mobil masih terbayang-bayang dipenciumannya. Bahkan, baru melihat mobil saja ia bisa kembali muntah karena terbayang kedua aroma itu.

Tidak diacuhkan oleh Ulfa, Rifki berdecak kesal. Ia belum puas membuat gadis itu kesal dan melihat wajah cemberutnya. Dengan sengaja, ia kembali mencubit lengan Ulfa.

"Dasar kampungan, baru naik mobil saja sudah mabok, gimana kalau naik pesawat? Bisa pingsan kali. Paham aku sekarang, orang kampung kayak kamu itu memang nggak pantas jadi orang kota."

Selesai dengan itu, wajah Rifki sukses menjadi tempat pendaratan sempurna bantal yang yang dilempar Ulfa.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top