04. Broken
Sudah satu jam Bella menangis. Perempuan itu benar-benar marah dan kecewa saat calon mertuanya datang ke rumahnya dan menceritakan apa yang terjadi. Semua yang didengarnya membuat hati Bella hancur seketika. Laki-laki yang dicintainya selama tiga tahun itu ternyata sudah meniduri gadis lain dengan cara paksa. Walau orang tuanya marah dengan keluarga Rifki, mereka tetap menerima pembatalan pertunangan anaknya. Nasihat ayahnya yang memberi semangat untunya mengatakan Rifki bukan calon suami yang baik untuk Bella, jika laki-laki itu berani meniduri gadis lain tanpa ikatan yang sah.
Rifki sendiri tidak memiliki satupun pembelaan atas dirinya. Ia sangat tidak suka melihat wanitanya menangis karena dirinya. Ingin sekali ia hapus air mata itu, ingin sekali ia peluk dan menenangkan tangis Bella.
Namun, perempuam itu menolak setiap skin ship yang akan Rifki lakukan.
"Yang, malam itu aku benar-benar nggak sadar. Aku kira pembantu itu kamu." penjelasannya lagi-lagi ditolak Bella.
"Terus, kalau misalnya orang itu aku, apa kamu juga akan melakukan hal itu?" pertanyaan Bella ini membuat Rifki terdiam. "Kamu nggak bisa jawab, artinya kamu juga akan melakukan hal yang sama." ucap Bella menangis.
"Bukan begitu, Yang. Waktu itu aku sedang kacau, posisiku di kantor direbut. Kamu juga susah dihububgi saat aku butuh penyemangat. Aku ikut ajakan Bian dan semuanya terjadi begitu saja."
"Kamu kan tahu, aku sedang dinas. Nggak mungkin aku pegang hape saat pasienku ada yang sekarat."
"Aku tahu itu, aku benar-benar kacau malam itu, Yang."
"Aku nggak peduli, aku benar-benar kecewa sama kamu. Aku ini Dokter, Rifki, tapi kenapa calon suamiku suka mabuk. Itu akibat yang harus kamu pertanggung jawabkan."
Rifki menggeleng. Ia tidak mau Bella pergi darinya. Bella adalah penyemangat hari-harinya. Ia tahu ia salah karena masih meminum minuman itu, namun ia sudah sangat jarang dan hampir dua tahun ini ia menjahui minuman itu. Ajakan Bian waktu itu entah mengapa membuatnya ikut begitu saja.
"Aku tahu aku salah, harusnya aku nggak minum waktu itu." Rifki menggeser duduknya lebih dekat dengan Bella. "Aku mohon, Yang---"
"Jahat kamu." isak Bella. Tiga tahun kebersamaan mereka nyatanya berakhir menyakitkan seperti ini.
"Hanya sampai satu tahun, Yang. Sampai pembantu itu melahirkan, aku akan menceraikannya dan menikahi kamu. Kamu mau kan nunggu aku?" kali ini tangan Bella ia genggam erat agar perempuan itu tidak bisa menolaknya.
Bella terkejut. Kali ini keputusannya sudah mantap, biarlah dia sakit hati asalkan dia tidak memiliki suami seperti Rifki. Dengan paksa Bella menarik tangannya dari genggaman Rifki.
"Satu tahun? Kamu pikirin nggak istrimu itu baru melahirkan. Gimana sama anak kalian? Gimana istri kamu yang masih butuh dukungan. Mau kamu terlantarkan anak kamu?" Bella mengusap air matanya. "Kamu nggak pikirin perasaannya? Nggak kasihan sama dia dan anak kamu? Selama tiga tahun, aku ternyata baru tahu watak kamu."
Rifki mengusap wajahnya kasar.
"Kamu pikiran perasaanku juga nggak, Yang? Semua keluargaku nyalahin aku, padahal aku nggak sengaja melakukan itu. Aku nggak ingat sama sekali kejadian itu, Yang? Bisa saja kan pembantu itu ngarang cerita?"
"Rifki!" bentak Bella. "Apa sih yang ada di otak kamu? Aku nggak nyangka kamu seperti ini!"
"Kamu Yang, hanya kamu." balas Rifki cepat. "Aku mikirin kamu yang akan tinggalin aku. Sumpah Yang, aku nggak siap kalau kita pisah." lirihnya.
Bella menggeleng dan tersenyum masam dengan mata yang berlinang. "Sekarang mataku terbuka, kamu bukan suami yang baik buat aku." Bella berdiri dan mengambil tasnya. "Mulai sekarang, kita nggak punya hubungan apa-apa lagi." pergi dengan sakit hati. Bella mengabaikan teriakan Rifki, ia percepat langkahnya.
"Bella! Bella!" percuma saja, Bella sudah jauh dengan mobilnya.
Cintanya pergi, pernikahan impian dan rumah tangga idamannya hancur. Ia ditinggalkan begitu saja. Kenapa semua berpihak pada pembantu itu? Padahal semua masalahnya gara-gara perempuam itu. Andai pembantu itu tidak mengarang cerita, pasti semuanya tidak akan seperti ini. Bella tidak akan meninggalkannya, orangtuanya tidak akan mendiamkannya, saudara-saudaranya tidak akan menjauhinya. Semua ini gara-gara pembantu baru yang udik itu. Tunggu pembalasanku!
Ulfa tergopoh-gopoh membuka pintu yang digedur dengan kasar. Kenapa lagi dengan mantan majikannya ini? Padahal pintu kamar tidak dikunci, harusnya dia bisa dengan mudah membukanya.
Tubuhnya langsung terdorong begitu ia membuka pintu dan Rifki masuk. Suasana yang tidak asing terulang lagi. Ulfa sudah gemetar ketakutan.
"Dasar pembantu sialan." ucap Rifki menunjuk Ulfa dengan sempoyongan. "Bella pergi gara-gara kamu!"
Ulfa menutup hidungnya. Aroma mulut Rifki sangat menyengat, apa dia habis makan bangkai lagi? Perutnya langsung mual seketika.
"Kamu senang ya tidur sama aku?"
"Amit-amit!" balas Ulfa. Melihat wajah pria itu saja ia tidak mau walau terpaksa.
"Apa? Jadi kamu kesenengan aku sentuh-sentuh? Iya?" apa yang keluar dari mulut Ulfa, terdengar balasan iya di telinganya. Rifki menyeringai. "Semuanya sudah kacau, kenapa aku nggak nikmati saja kekacauan ini."
"Sadar Mas, istigfar! Kamu kesurupan lagi ya!" Ulfa sudah dijatuhkan di kasur. Ia melawan Rifki yang berusaha mendekatinya. "Umm ... Huweeek!" bau Alkohol dari mulut Rifki benar-benar membuatnya ingin muntah.
"Nggak usah sok nolak, kalau kamu sebenarnya suka!" tubuhnya sudah mengurng tubuh Ulfa. Ia sudah basah, kenapa tidak sekalian berenang saja.
"Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum ..." ayat kursi adalah salah satu ayat yang ditakuti setan. Itu yang Ulfa tahu. Namun, sayangnya Rifki bukan kemasukan setan, melainkan pengaruh Alkoho sudah memenuhi otaknya.
Ulfa benar-benar ketakutan. Bacaan ayat kursinya tidak mempan sama sekali pada Rifki. Sepertinya setan yang merasuki tubuh Rifki sangat kuat. Pria itu sudah berhasil membuat kancing bajunya terlepas.
"Aw!" ini sakit. Rifki terlalu kasar sampai bibirnya berdarah.
Tidak mau tinggal diam, Ulfa balas menggigit bibir Rifki yang sedang mengunyah bibirnya. Cara itu berhasil, Rifki menjauhkan wajahnya. Wajah pria itu terlihat sangat emosi.
Tangan Ulfa yang bebas meraih apa saja agar bisa menjauhkan tubuhnya dari kurungan tubuh Rifki.
"Dasar pembantu sia---"
Rifki langsung tidak sadarkan diri begitu sesuatu yang keras menghatam pelipisnya. Ia terjatuh menimpa tubuh Ulfa.
"Maaf, Mas," Ulfa mendesah lega. Ia bergeser tubuhnya agar lepas dari kungkungan Rifki. Terima kasih pada asbak kecil yang sudah membuat Rifki pingsan. Ia bisa selamat juga malam ini.
Membalik tubuh Rifki yang tengkurap, Ulfa memeriksa napas pria itu. "Ternyata masih hidup." desahnya lega. "Anggap ini balasan aku waktu malam itu. Bibirku sakit kamu gigit sama dikunyah, Mas!" ucapnya marah sambil meraba bibirnya. Jejak darah ikut menempel di jarinya.
Melihat darah yang mengalir di wajah Rifki, Ulfa segera mebersihkannya dan mengobati lukanya. Lalu mengobati Rifki yang pingsan dengan mengenaskan. Sebenarnya ia tidak tahan dengan bau dari napas Rifki, bangkai apa yang dimakan pria ini sampai-sampai baunya membuat ingin muntah.
"Astagfirullah, aku ndak mau lihat siluman cacing raksasa lagi." gerakan membuka ikat pinggang Rifki terhenti. Ulfa yang akan membersihkan tubuh pria itu masih trauma dengan pemandangan yang dilihatnya malam itu.
Beranjak turun sambil bergidik ngeri, Ulfa lihat sekali lagi pria yang menjadi suaminya itu. Muka kamu itu menipu.
"Dia lagi pingsan, nggak mungkin kedinginan, kan? Aku pinjam selimutnya ya, Mas? Iya ambil saja." setelah menjawab sendiri, Ulfa membawa selimut hangat itu dan tidur di kursinya.
🍁🍁🍁
Sama seperti hari-hari sebelumnya setelah menjadi istri Rifki, Ulfa meletakan kembali selimut di dekat pemiliknya sebelum pria itu bangun. Dia selesaikan cepat urusannya di kamar. Keluar dan membantu bi Inah memasak sekarang sudah menjadi rutinitasnya.
"Bibir kamu kenapa, Fa?" Yuni bertanya khawatir. Setelah Ulfa menjadi menantunya, wanita itu lebih sering ikut memasak di dapur.
Seminggu setelah Ulfa menikah, Yuni yang melihat menantunya memasak mencoba masakan buatan Ulfa. Rasanya sangat enak, Yuni meminta untuk diajarkan bagaimana cara memasaknya. Bi Inah tentu saja senang, Ulfa sangat diterima di keluarga majikannya yang terkenal kaya.
Ulfa meraba bibirnya yang luka sebelum menjawab. "Digigit mas Rifki, Bu."
"Gusti mbok!" bi Inah tidak sengaja menjatuhkan wajan yang akan ia pasang di kompor.
Yuni hanya tersenyum, menantunya ini sangat lugu. Kasihan sekali Ulfa harus bersanding dengan anaknya yang keras kepala. Ia juga terkejut mendengar jawaban Ulfa tadi, hanya saja ia tidak mau ikut campur masalah rumah tangga anaknya. Mungkin masih pengantin baru.
Selesai membantu memasak di dapur, Ulfa kembali ke kamarnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya juga, Rifki masih terlelap di kasurnya. Pria itu sangat susah dibangunkan untuk sembahyang lima waktu.
"Bisa nggak sih kamu itu nggak ganggu tidur aku?" Rifki terbangun ketika jendela kamarnya dibuka. Ia meringis saat kepalanya terasa sakit. "Tutup lagi silau tahu! Badan aku juga panas kena sinarnya!" ucapnya kesal sambil membelakangi Ulfa.
Ulfa mengangkat alisnya. Hangat begini dibilang panas. Masih lebih panasan api neraka kali!
"Siapa yang ganggu? Aku cuma buka jendela, ndak berisik juga."
"Tapi aku kesilauan, tutup lagi jendelanya. Aku masih ngatuk!" menyadari sesuatu ia langsung bangun. "Kamu apain aku semalam? Kenapa baju aku nggak ada?"
Tubuh atasnya yang polos semakin membuatnya marah. Pasti pembantu baru itu melakukan hal yang macam-macam padanya saat ia sedang terlelap. Kepalanya yang sakit membuat Rifki menidurkan kembali tubuhnya. Bukan hanya kepalanya saja tapi bibirnya juga terasa nyeri.
Ulfa mendengarkan saja omelan Rifki, ia segera membereskan baju kotor pria itu yang tergantung di kastok untuk dicuci. Heran, padahal gantunganya sudah penuh, Rifki tetap saja menggantung bajunya bahkan sampai ada yang jatuh saking tidak muatnya gantungan itu. Padahal Ulfa sudah menyiapkan keranjang untuk baju kotor.
"Yang ada, Mas yang ngapa-ngapain aku. Aku semalam cuma mau bantu mas Rifki saja." sahut Ulfa, sambil merogoh saku baju Rifki memastikan tidak ada benda yang ikut tercuci. Masih mending semalam dia bantu pria itu untuk membersihkan diri. Malah nuduh, nggak tahu terima kasih banget jadi orang!
"Mana sudi aku ngapa-ngapain kamu." bantah Rifki. Cukup sekali saja ia menyentuh makhluk alien itu. "Jangan fitnah terus kamu. Dasar pembantu nggak tahu diri."
Ulfa tidak terima mendengarnya. Iya, dia tidak masalah dengan kata pembantu, karena memang dia seorang pembantu. Namun, yang jadi masalahnya adalah, seumur hidupnya dia tidak pernah memfitnah siapa pun.
"Aku ndak fitnah. Mas Rifki semalam kesurupan lagi, sampai bibir aku digigit sampai luka." dia menujuk bibirnya yang luka. "Makanya salat, Mas, biar ndak kesurupan terus. Api neraka lebih panas dari pada sinar matahari."
Alis Rifki menukik. Mengabaikan ucapan Ulfa, ia bangun dengan kasar dan melempar Ulfa dengan bantal.
"Nggak kena, week!" Ulfa menjulurkan lidahnya saat berhasil menghindar.
Rifki melotot, ia malah fokus pada bibir tipis merah muda yang di ujungnya terdapat luka itu. Kalau tidak salah rasa bibir itu kenyal seperti permen yang sering dimakan Alfi. Sialan! Apa yang kamu pikirin Rifki!
Ulfa mengernyit melihat Rifki yang menggeleng ribut. Apa dia mau kesurupan lagi?
"Nggak! Nggak mungkin. Mana sudi aku sentuh bibir kamu." ucapnya sambil menghilangkan bayangan rasa enak--- sialan! Kenapa mikirin itu lagi sih!
"Mas Rifki gigit bibir aku, pakai ngunyah-ngunyah segala lagi. Ya aku bales gigit lagi bibir mas Rifki." dipikirnya tidak sakit apa bibirnya digigit lalu dikunyah-kunyah. Apalagi Rifki tidak mau melepaskan bibirnya, wajar jika Ulfa balas menggigit. Nggak sudi kok terus nemepelin bibirnya.
"Apa?!" jelas ia kaget. Itu sama sekali tidak mungkin!
"Mas Rifki juga robek baju aku lagi, mana mepet-mepetin badannya lagi, ya aku pukul saja pake asbak itu." Ulfa menunjuk asbak rokok di atas meja nakas.
"Apa?!" Rifki tambah syok. Dia ambil ponselnya dan mengaca di sana. Pelipis kiri dan bibirnya luka. "Dasar pembantu kurang ajar! Berani kamu lukain aku hah! Adududuh ..." ia menunduk, kepalanya benar-benar sakit.
Ulfa hanya mengangkat alis melihat Rifki kesakitan. Rasain! "Mas Rifki mending cepetan mandi, keburu airnya dingin lagi." Biar bau bangakinya juga hilang.
"Nggak usah nyuruh aku, kamu itu cuma pembantu. Nggak usah sok jadi majikan." omelnya sambil turun. "Awas kamu ya, kalau sampai aku kenapa-napa, kamu akan tahu akibatnya." ancamnya sambil menuju kamar mandi.
Ulfa kembali memasukan baju Rifki ke dalam keranjang. "Aku emang pembantu, kok."
"Bagus kalau kamu sadar diri." balas Rifki dari dalam kamar mandi.
"Aku memang sadar kok, memangnya mas Rifki yang ndak sadar, kesurupan terus." sahut Ulfa tidak mau kalah.
Pintu kamar mandi langsung terbuka. Wajah Rifki sudah merah. "Ambilin plester, lukaku perih kena air."
Ulfa segera menuju meja nakas, ia membuka laci dan mengambil benda yang dibutuhkan Rifki.
"Nih." tangannya menggantung di udara saat Rifki malah menatapnya. "Ini Mas Rifki."
"Pasangin, ini semuakan gara-gara kamu."
Sebenarnya Ulfa ingin sekali menjedugkan kepala Rifki yang menempel di daun pintu. Namun, ia harus sabar, sabar karena sekarang pria itu suaminya. Mau tidak mau Ulfa memasangkan plester dengan ...
"Pelan-pelan bisa nggak? Sakit tahu!" Rifki menyingkirkan tangan Ulfa. Ia usap pelipisnya sebelum menutup pintu dengan kasat kembali.
"Apa aku kurang kuat ya pukulnya semalam?" gumam Ulfa yang berbalik menuju pintu keluar.
"Jawir! Ambilin handuk, handukku basah!" teriakan dari dalam kamar mandi menghentikan langkah Ulfa yang akan keluar. Tadi marah-marah, sekarang butuh bantuan. Harusnya mulutnya aku kunyah juga sampai hancur!
Ulfa membuka lemari mengambil handuk baru lagi. Heran, padahal handuknya sudah ia gantung di kastok, kenapa bisa sampai basah? Padahal jarak kastok dan tempat mandi cukup jauh.
"Ini Mas." satu tangan kekar langsung menyambar handuk yang disodorkan Ulfa.
"Lama banget sih! Sana pergi!" ketus Rifki dari balik kamar mandi.
"Ini juga mau pergi kok, kalau Mas ndak panggil aku." Ulfa langsung keluar membawa baju kotor.
Keluar dari kamar mandi, Rifki melihat bajunya sudah siap di atas kasur. Ia tersenyum miring sambil mengambil kaos dalam dan memakainya.
"Ya ..., seorang raja memang harus berdampingan dengan pembantu agar selalu dilayani.
Bersambung ...
Permen apa sih yang dimakan Alfi? Kok kenyal-kenyal?
Dilarang sebut merk. Ini bukan iklan😝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top