02. Kesurupan

Dengan semangat dan hati-hati Ulfa mengelap guci besar di dekat jendela. Kata Uwi, guci ini merupakan guci kesayangan ibu Yuni. Setelah pekerjaannya ini selesai, ia akan ikut Uwi berbelanja di pasar yang ada di dalam gedung. Genap satu minggu Ulfa bekerja di sini, selama itu ia tidak pernah keluar dari rumah walau sudah ada jam khusus untuk para asisten rumah tangga jika ingin keluar rumah. Tetap saja, memang mau ke mana dia? Ini saja baru pertama kali dia datang ke kota besar.

Ajakan Uwi tentu saja sangat menggiurkan, Ulfa sangat penasaran dengan pasar yang ada di dalam gedung itu seperti apa wujudnya. Apakah sama seperti pasar di kampungnya?

"Bi, aku sudah selesai, aku izin ikut Uwi ya," seminggu tinggal bersama, Ulfa sudah menganggap bi Inah seperti ibunya sendiri dan Uwi sebagai kakaknya.

"Iya, jangan jauh-jauh dari Uwi, nanti kamu nyasar." bi Inah merogoh saku bajunya. "Ini ambil, buat jajan."

Ulfa langsung menolak, ia sodorkan kembali uang itu. "Nggak usah, Bi, aku cuma mau jalan-jalan saja kok,"

Bi Inah memaksa. "Ambil saja Ulfa, sana, Uwi sudah nunggu di luar."

Dengan sungkan Ulfa menerima uang itu sambil mengucapkan terima kasih. Bi Inah sudah menganggap Ulfa seperti anaknya. Gadis itu sangat lugu dan baru pertama kali melihat kota besar. Ada rasa tidak tega saat melihat Ulfa, bi Inah teringat cerita mbok Mun. Jika di kampungnya ada seorang gadis yang hidup sebatang kara. Gadis itu hanya tinggal dengan neneknya seorang.

"Semoga nasib kamu selalu baik, nduk," bi Inah kembali melanjutkan pekerjaannya.

Berjalan di samping Uwi, Ulfa tidak hentinya melihat ke segala arah. Pasar di dalam gedung ini sangat luas dan sangat bagus. Lantainya dikeramik seperti rumah ibu Yuni, ada banyak lampu menyala di atasnya. Semua isinya lengkap, bahkan ada sayur dan buah yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pasar ini sangat bersih dan wangi, setiap blok ia selalu melihat orang menyapu dengan alat yang aneh.

Jelas pasar di dalam gedung ini sangat berbeda dengan pasar di kampungnya. Di sana sangat tidak tertata, tidak ada atap hanya ada terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Jika saat hujan lebat, pasar bisa tutup atau buka dengan jalan yang becek. Pasarnya di kampung juga hanya ada dua hari dalam seminggu. Pantas saja orang kampungnya memilih pergi ke kota, mereka akan kembali setelah mendapat uang banyak dan keluar dari kampung untuk tinggal di tempat yang dekat dengan kota.

"Ini namanya super market, Fa, mirip pasar tapi lebih luas dan rapi," terang Uwi. Mereka berhenti di stand sayuran.

Ikut memilih sayur, Ulfa bertanya. "Oh, berarti nama pasar di kota super market ya, Wi?"

Uwi menggeleng, bagaimana ya caranya menjelaskannya? Ia juga tidak paham betul. Jelas di kota besar ini masih ada pasar tradisional namun sudah diperbaiki menjadi lebih modern dengan sistem tawar menawar yang masih berlaku.

"Ya semacam itu lah, Fa."

Selesai memilih sayur, mereka menuju stand daging dan buah-buahan. Ulfa banyak bertanya dengan segala yang dilihatnya. Uwi menjelaskan semampunya saja yang dia tahu.

"Memang kampung kamu jauh banget dari kota, Fa? Masa kamu belum pernah masuk minimaret?"

Mereka sedang mengantri untuk membayar. Uwi sangat penasaran, ia juga dari kampung. Namun, di kampungnya ada toko yang tersebar di seluruh Indonesia itu. Ya, walau harus menempuh jarak untuk mencapainya.

"Ndak ada, kampungku jauh banget dari kota, di pelosok masuk ke daerah gunung. Kalau mau ke kota ya harus jalan sampai sehari. Kalau mau cepat ya naik motor atau nebeng mobil sayur." jelas Ulfa. Ia menghitung orang yang sedang mengantri di sebelah antriannya.

"Pelosok banget dong ya? Kampungku sih masih dekat kota,"

Akhirnya mereka mendapat giliran untuk membayar. Ulfa kaget melihat nominal yang disebutkan penjaga kasir. Ia juga heran kenapa Uwi membayar bukan dengan uang melainkan dengan benda mirip KTP yang digesekan dibenda yang bisa ditekan-tekan seperti telepon rumah. Uwi kembali menjelaskan, ia merasa iba dengan Ulfa yang tidak mengetahu benda yang disebut kartu ATM itu. Apa mungkin sejak lahir Ulfa tidak pernah keluar dari kampungnya?

Sampai di rumah, Ulfa yang membantu membereskan barang belanjaan tadi menceritakn semuanya pada bi Inah. Bagaimana bagusnya super market dan bagaimana hebatnya kartu ATM bisa menyimpan uang banyak padahal benda itu sangat tipis.

                                 🍁🍁🍁

"Astagfirullah!"

Suara dari arah ruang tengah membuat Ulfa kaget. Ia yang akan ke kamar mandi di yang ada di ujung lorong kamar para pembantu, langsung menuju asal suara. Tidak ada siapa-siapa di sini, ia yakin tadi itu suara orang jatuh. Baru jam dua malam, apa mungkin ada maling di dalam rumah?

"Aduh pusing!"

Di atas ujung tangga, Rifki berpegangan pada teralis tangga. Sebelah tangannya memegagi kepalanya. Pria itu hampir limbung jika tidak pegangan dengan erat. Dari bawah, Ulfa sudah ketakutan. Bagaimana jika majikannya itu jatuh dari tangga yang tinggi. Dengan rasa takut Ulfa berlari menaiki tangga untuk membantu Rifki.

"Mas Rifki kenapa? Ayo saya bantu," sebelah tangan Rifki ia sampirkan di pundaknya.

"Dasar Haryanto tua bangka, beraninya kamu rebut posisiku!" Rifki menolak bantuan Ulfa.

"Jangan banyak gerak Mas, nanti kita jatuh." posisi mereka yang di ujung anak tangga memang sangat membahayakan. Ulfa sekuat tenaga menarik tubuh Rifki ke tengah.

"Bella, kamu cantik banget sayang," Rifki tersenyum disela cegukannya.

"Mas Rifki kenapa sih? Kesurupan ya? Saya bukan Bella." Ulfa berusaha menjauhkan tangan Rifki yang akan menyentuh wajahnya.

"Bella, aku cinta banget sama kamu." Rifki malah memeluknya dengan kepala yang mendusal di leher Ulfa.

Perbuatan Rifki itu tentu saja membuatnya takut. Kenapa dengan orang ini, apa yang dilakukannya sudah sangat keterlaluan. Seumur hidupnya belum pernah ia diperlakukan seperti ini oleh laki-laki.

"Mas Rifki lep---"

Matanya melotot, jantungnya serasa sudah lepas dari tempatnya dan napasnya seperti sudah hilang. Saat sesuatu yang kenyal membungkam mulutnya. Ulfa linglung beberapa detik, bibirnya yang seperti digigit dan aroma menyengat dari mulut Rifki menyadarkannya. Ia rasanya ingin muntah, makan apa sih Rifki ini, bangkai kah?

Dengan sekuat tenaga ia memberontak, menggerakan kepala kesegala arah agar terlepas dari bibir yang sedang memakan bibirnya itu. Tangannya memukul-mukul tubuh Rifki dibagian manapun.

Apa ini? Apa Rifki kesurupan setan malam sampai tidak sadar begini. Ia ingat pesan guru ngajinya dan pesan Mbah, jika laki-laki dan perempuam yang melakukan ini bukan pasangan suami istri akan berdosa besar. Segala doa ia rapalkan dalam hati, berharap setan dalam diri Rifki keluar. Ulfa sudah menangis dengan mulut yang masih dibungkam.

Pria yang sedang mabuk itu malah menarik tubuh Ulfa menuju kamarnya. Tenaganya yang lemah tadi tiba-tiba saja kembali penuh setelah mencium Ulfa dengan paksa. Ia banting pelan tubuh Ulfa di atas kasurnya. Gadis itu tergugu dan ketakutan, ia sudah memohon namun Rifki seperti tuli. Matanya sudah digelapkan oleh nafsu dan otaknya sudah dipenuhi oleh pengaruh alkohol.

"Jangan dirobek Mas, astagfirullah! Tolo---" lagi-lagi mulutnya dibungkam oleh mulut Rifki. Ulfa sekuat tenaga menjaga agar bajunya tetap menempel di badannya. Sedangkan baju dan celana Rifki sendiri sudah terlepas.

"Bella sayang," ucap Rifki sambil melepaskan kain satu-satunya di tubuh bagian bawahnya.

"Astagfirullah! Ya Allah!" Ulfa segera menutup mata dengan tangannya. Ia ketakutan setengah mati. Apa yang dilihatnya ini sangat tidak pantas.

"Bella ..." Rifki kembali menarik pakaian Ulfa.

"Mas jangan Mas!" suaranya sudah serak berterik. Kenapa orang di rumah ini tidak mendengarnya sama sekali.

"Aduh! Sakit Mas!" jeritnya. Perutnya terasa kram. Ulfa menangis sejadi-jadinya.

"Bella ..." tubuh Rifki langsung tumbang begitu rasa lelah menghampiri. Ulfa yang berada di bawahnya pasrah saat tertimpa bobot berat Rifki.

Ia menangis tersedu. Dengan sisa tenaganya ia berusaha menyingkirkan tubuh Rifki namun gagal. Lelah juga menghampirinya, ia lelah memberontak melawan Rifki, lelah berteriak dan ia lelah menangis. Perlahan namun pasti, matanya terpejam. Di bawah himpitan tubuh Rifki, Ulfa menangis dalam tidurnya.

"Astagfirullah! Rifki!"

Teriakan menggelegar itu berhasil membangunkan kedua anak Adam yang sedang terlelap. Posisi mereka sudah berubah, Ulfa tidak lagi ditimpa Rifki malah, ia berada dipelukan pria itu.

Rifki hanya menggeliat, ia malah meringkuk di balik selimut. Sedangkan Ulfa, ia terbangun dengan ketakutan. Kejadian semalam langsung ia ingat.

"Bu ..." Ulfa takut disalahkan. Ia menangis ketakutan melihat wajah ibu Yuni yang sudah merah padam. Sedangkan pria di sampingnya terlihat sangat lebih menakutkan.

"Rifki Ardi Julian!" sang kepala keluarga semakin murka ketika anak bungsunya tidak bangun dan malah mengabaikannya.

Rifki berdecak tidak suka. Masih dengan mata setengah terbukan, ia duduk dengan malas.

"Apa sih, Pa? Teriak-teriak." ucapnya sambil mengucak mata. Sekilas ia mendengar isakan di sebelahnya.
Pelan, ia menoleh, pembantu barunya menangis di atas kasurnya. Di kasrunya?! "Heh! Ngapain kamu di kasur aku?" tanyanya tidak suka.

"Rifki, cepat bangun dan jelaskan semua ini!" ucap Ali yang sudah emosi melihat anaknya yang malah santai-santai saja.

"Jelasin apa sih?" ia memijat kepalanya yang pusing. Merasa tubunya kedinginan, ia segera sadar. "What? Kok, aku telanjang?"

Rifki benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa ia tidur tanpa menggunakan pakaian. Lalu, kenapa bisa si pembantu baru juga ada di kamarnya. Jangan bilang kalau mereka telah ...

"Kamu jebak aku, kan?!" tuduh Rifki. Ia melihat penampilan yang tak kalah sama dengannya. Hanya saja baju pembantu baru itu masih terpasang walah robek di sana sini.

"Ng-nggak, Mas, Pak, Bu," geleng Ulfa sambil menangis. "Saya tiba-tiba dicium Mas Rifki yang kesurupan, terus saya dibawa masuk. Terus baju saya ditarik-tarik, mas Rifki juga buka celananya dan ... dan ...." Ulfa malah semakin menangis mengingat semalam.

"Pakai celana sama baju kamu, Rifki! Ulfa, cepat bersihkan tubuh kamu." titah Ali dengan dingin. Yang terdengar bagai petir di telinga Ulfa.

"Eh! Eh! Jangan dibawa selimutnya!" cegah Rifki.

Ia menarik selimut yang menutup tubuh mereka berdua saat Ulfa membawanya keluar untuk menutupi tubuhnya. Tentu saja Ulfa tidak akan mau, ia tidak mau bagian bawah tubuhnya terlihat. Akan sangat memalukan banginya, menahan sakit Ulfa tertatih keluar setelah berhasil membungkus tubunya dengan selimut.

Rifki dengan kesal memakai pakaiankannya di depan kedua orang tuanya.

"Ya ampun, Pa, lihat itu!" seru Yuni menunjuk kasur tempat Ulfa tadi.

Rifki dan Ali melihatnya. Satu tamparan keras mendarat di wajah Rifki. Kali ini ayahnya benar-benar murka.

"Bersihkan tubuh kamu juga, Papa tunggu di ruang keluarga. Ma, tolong hubungi yang lain." Ali dan Yuni keluar.

Rifki meremas kepalanya. Berharap ingatan semalam kembali. Namun nihil, bukannya ingat kepalanya malah bertambah pusing.

"Nggak mungkin aku ngelakuin itu? Sama si jawir lagi."

Semua sudah berkumpul di ruang keluarga. Sidang dadakan ini dipimpin langsung oleh kepala keluarga. Kedua kakak dan kakak iparnya memarahi Rifki atas tindakannya. Para asisten rumah tangga juga ikut dalam sidang ini sebagai saksi. Ulfa yang ditemani Bi Inah dan Uwi menangis sambil menceritakan kejadian semalam.

"Papa dan Mama sudah mengambil keputusan, sebelum terlambat dan Ulfa belum hamil, kalian akan menikah hari ini juga." Ali menyudahi sidang ini dengan persetujuan anak dan menantunya.

Jelas saja Rifki menolaknya. Ia sama sekali tidak mau dan tidak sudi menikah dengan makhluk alien seperti Ulfa. Impiannya adalah menikah dengan Bella, tunanganya. Hanya Bella yang ia cintai bukan wanita lain.

"Gimana sama pertunangan aku dan Bella, Pa?" matanya sudah merah menahan emosi. "Lagian dia juga belum tentu hamil!"

"Papa yang akan bilang dengan keluarganya." jawab Ali dingin. Ia masih marah dan kecewa dengan anak bungsunya ini. "Masalah hamil tidak hamil, kamu tetap harus bertanggung jawab atas perbuatan kamu." selesai dengan itu, Ali pergi ke kamarnya mengajak Yuni yang menangis.

Begitu pun dengan saudaranya yang lain. Mereka pergi tanpa melihat Rifki seakan dirinya manusia tak kasat mata. Rifki mengepalkan tangnnya melihat bagaimana pembantu baru itu mendapat dukungan dari saudaranya.

"Tunggu pembalasan aku, dasar pembantu sialan!"

Bersambung ...

Aku baru tau kalo orang mabuk itu kesurupan😝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top