| 4 |
Kamu dengan bangganya tersenyum dan melambaikan tangan. Begitu banyak orang yang menyambutmu bak artis ibu kota. Hanya saja tak ada yang meminta tanda tanganmu secara percuma. Kamu sangat menikmati euforia seperti ini. Kapan lagi jadi artis dadakan, bukan?
🍃🍃🍃
"Kebanyakan wanita? Apa?"
Nanda hanya menyengir dan menahan tawa. Ia berhasil membuat Axela penasaran. Tubuhnya yang kaku tak bergerak membuat gadis itu semakin lucu.
"Aku odapus."
"Odapus? Apa lagi itu?" tanya Alexa kesal.
"Odapus itu sebutan untuk penderita--"
Ucapan Nanda terhenti berkat suara pintu terbuka yang menabrak dinding. Ia refleks menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang perawat baru saja masuk. Lelaki itu langsung bersembunyi di kolong kasur Axela setelah melihat Ners Tyas-lah yang datang.
"Hei!" panggil Axela.
Gadis itu tampak kebingungan dengan aksi Nanda. Ia ingin melihat ke bawah, tetapi lagi-lagi kondisinya membatasi. Axela mengembuskan napas kesal dan menatap langit-langit kamarnya.
"Halo, Ela! Gimana keadaanmu?"
"Berharap lebih baik dari hari kemarin, Ners. Terima kasih sudah datang."
"Ah, santai saja. Kebetulan saya nyari pasien kamar sebelah lalu ingat kamu. Jadi, mampir aja sekalian."
Nanda menelan ludah setelah mendengar hal tersebut. Tyas merupakan salah satu perawat yang sangat berempati dengannya. Ia juga bersahabat dengan kakaknya, Dina. Bisa dikatakan, Tyas telah mengenal Nanda dengan baik.
Tak sekali dua kali Nanda kejar-kejaran seperti ini dengannya. Alih-alih takut dengan Dina, ia lebih ngeri kalau harus berurusan dengan Tyas. Sosok Dina yang lemah lembut sama sekali tak dimiliki oleh Tyas. Apalagi kalau sudah berurusan dengan Nanda, wanita itu bisa berkali lipat lebih galak dari biasanya.
"Pasien VIP juga, Ners?"
"Iya, ini sudah waktunya dia makan dan minum obat. Eh, malah kabur."
Nanda semakin gelisah karena Axela terus memancing Tyas. Bahkan, perawat itu mengambil kursi dan duduk di sebelah Axela. Nanda membekap mulutnya agar tak menimbulkan suara.
"Emang dia sakit apa, Ners?" tanya Axela lagi.
"Kalau itu, kamu harus nanya sendiri ke orangnya, La."
Setelah berkata demikian, Tyas langsung melongok ke kolong kasur. Wanita itu memasang wajah galak saat bertatap mata dengan Nanda. Laki-laki yang kepalang basah itu terkekeh dan melambaikan tangan.
"Hai, Perawat cantik."
Tyas menarik lengan Nanda agar lelaki itu segera keluar. Nanda pun bangun dengan susah payah karena tubuhnya lumayan tinggi. Beberapa kali ia terpentuk kasur dan mengaduh.
"Jangan kira Mbak nggak hafal parfum kamu, ya!"
Tyas menarik telinga Nanda. Laki-laki itu lantas berteriak kesakitan dan memegangi telinganya. Kakinya juga sampai berjinjit-jinjit.
"Duh, duh, ya Allah. Ampun, Mbak Yas. Sakit banget ini. Lepas, lepas!" Nanda memohon sambil berkaca-kaca. Axela yang melihat hal itu hanya bisa tertawa.
"Kebiasaan kalau keluar kamar nggak bilang-bilang. Ayo, pulang!"
Tyas tersenyum dan tak lupa mengucap pamit pada Axela. Gadis itu membalas senyuman tersebut dengan kedipan. Tyas segera membawa Nanda keluar kamar dan melepas tarikannya. Ia membiarkan Nanda jalan sendiri.
Langkah Nanda sangat pelan, diiringi tarikan napas yang berderu. Tyas mengikutinya dari belakang, berjaga-jaga kalau lelaki itu tiba-tiba ambruk. Beberapa kali Tubuhnya yang kurus kerap oleng dan mengharuskan berpegangan pada tembok. Dilihat dari wajahnya yang memucat saja sudah memprihatinkan.
"Argh!"
"Nda!"
Tyas segera menghampiri Nanda dan memegangi lelaki itu saat hendak jatuh. Ia mengalungkan tangan Nanda di bahunya. Ia sedikit kesusahan mengingat Nanda jauh lebih tinggi darinya.
"Makanya, udah tau masih sakit, pakek acara tebar pesona segala," omel Tyas.
"Sumpah, Mbak. Tadi niatnya cuma jalan-jalan doang. Terus, liat ada pasien baru. Ya, mampir, lah. Masa sama tetangga nggak tegur sapa."
"Ck, ngeles aja."
Pintu kamar Nanda terbuka lebar. Sang empunya itu sampai bingung karena seingatnya ia tak pernah lupa menutup pintu. Sesampai di kamar, ia melihat Dian terbaring di sofa sambil membaca majalah.
"Nggak ada kuliah, Mas?"
Mendengar suara Nanda, Dian langsung terperanjat dan berjalan ke arah adiknya. Ia mengambil alih tangan Nanda dari Tyas dan menuntun lelaki itu kembali ke ranjang. Tyas dengan senang hati membiarkan hal tersebut. Pundaknya sudah meminta diistirahatkan sejak tadi.
"Kamu dari mana? Nyusahin Mbak Tyas aja."
"Orang nanya malah ganti ditanya."
Tyas segera memasang infus pada Nanda setelah lelaki itu duduk manis di kasurnya. Melihat hal tersebut, Dian memilih duduk di sisi yang berlawanan agar tidak mengganggu. Nanda hanya diam saja saat jarum suntik mulai menembus lengannya. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal demikian.
"Jangan lupa makan dan minum obat. Mbak tinggal dulu," pamit Tyas sambil menepuk pundak Nanda.
"Jangan bilang Mbak Dina, ya, Mbak!"
Tyas hanya mengacungkan jempolnya dan melangkah keluar ruangan. Dian menatap adiknya itu dan menggeleng pelan. Ia kemudian berjalan menuju nakas di sebelah kanan Nanda dan berniat menyuapi adiknya.
"Jangan makan sekarang, Mas. Masih capek, nanti malah keluar lagi."
"Emang kamu dari mana, sih? Pertanyaan Mas belum dijawab, lho."
"Kunjungan pasien," jawab Nanda polos.
"Dih, cewek mana lagi?"
"Kamar VIP III. Matanya sipit, Mas. Tipe-tipe cece China."
Dian menepuk jidatnya. Sakit tak membuat kadar jelalatan adiknya berkurang. Sifatnya yang mudah bergaul beda tipis dengan istilah ganjen yang ada di pikiran wanita zaman sekarang.
"Sakit apa? Parah? Sampek VIP, lho."
"Kecelakaan. Tubuhnya udah kayak lontong, Mas. Kebungkus rapat."
"Hus, mulutmu!" Dian memukul pelan kaki Nanda. "Mau juga dibungkus kayak gitu? Biar nggak kelayapan mulu kerjaannya."
"Hehe, becanda aja, Mas. Besok Nanda sekolah, ya."
"Kalau Mbak Dina bilang boleh, ya, boleh."
"Ini pernyataan, bukan pertanyaan," jelas Nanda.
"Terserah."
•••
Beberapa siswa di kelas berteriak melihat kedatangan Nanda. Tak sedikit dari mereka yang menghampiri dan menanyakan keadaannya. Nanda hanya mengumbar senyum dan mengangguk. Ia segera duduk di bangku dan menyapa sahabat-sahabatnya yang sudah siap menyambut.
"Masih hidup, Nda?" tanya Kahfi.
"Udah arwah."
Nanda menyalami ketiga sahabatnya dan segera duduk. Kahfi merupakan teman sebangkunya, sedangkan Feri dan Gusti duduk di depan mereka. Mereka berdua duduk menghadap ke belakang. Seperti biasa ketiga laki-laki itu bersiap untuk mendengarkan cerita Nanda.
"Gimana cewek itu?" Feri terlihat antusias.
Kurang lebih Nanda telah menceritakan pertemuannya dengan Axela pada mereka melalui grup WhatsApp. Berkat agenda les tambahan di kelas tiga, para sahabatnya tak sempat berkunjung. Sekarang, pandangan mereka fokus pada Nanda. Telinga mereka sudah tak sabar mendengar cerita.
"Jangan sekarang."
"Lah, kenapa?" tanya Gusti.
Mata Nanda mengarah pada keberadaan Kitty. Gadis itu sedang bersenda gurau dengan siswi kelasnya. Jam masuk masih kurang 15 menit lagi, tak heran Kitty masih berkeliaran di kelasnya. Kebetulan, kelas mereka hanya berjarak dua ruangan.
Pribadi Kitty yang juga mudah bergaul membuat gadis itu memiliki banyak teman dari berbagai kelas. Namun, ia lebih suka bermain bersama Devi, siswi kelas Nanda. Nanda berpikir negatif bahwa Kitty sengaja melakukan hal tersebut agar dapat mengawasinya. Entahlah, menurut Nanda, terlalu percaya diri itu perlu. Terlebih urusan cewek seperti ini.
"Ah, elah, si Kitty. Kenapa? Takut ketahuan kalau selingkuh?" sindir Feri.
"Sstt, ngomong apaan, sih? Lagian kita cuma temenan. Selingkuh cuma berlaku buat orang yang udah punya pasangan."
"Ya kalau gitu berarti nggak masalah, dong?" Kahfi ikut bersuara.
"Aku cuma menjaga perasaannya."
"Perasaan dia gimana aja nggak ada yang tau, Nda. Terus ngapain dijaga?" sambung Feri. Ia yang paling tahu kedekatan mereka.
"Ya, biar kalau tau nanti, nggak ada penyesalan."
Ketiga sahabat Nanda kompak berlagak ingin muntah. Bertahun-tahun hidup dengannya belum cukup untuk terbiasa dengan kalimat-kalimat Nanda yang sok puitis. Mereka sering geram karena banyak wanita yang terperdaya dengan susunan kata dari Nanda itu.
"Ya udah, kita obrolin di kantin." Kahfi memutuskan.
Bel masuk kelas sudah berbunyi. Kitty sudah kembali ke kelasnya karena guru Nanda sudah datang, bertepatan dengan jam masuk. Sangat ontime sekali.
Sang ketua kelas langsung berdiri dan memimpin untuk mengucap salam. Sang guru pun menjawab dan bersiap-siap. Ia keluarkan laptopnya dari ransel dan menyalakan proyektor.
"Oh, iya, Nanda sudah masuk?"
Kahfi menyenggol lengan Nanda. Lelaki itu pun langsung mengangkat tangan agar gurunya melihat. "Hadir, Pak!"
"Kamu ke ruang guru sekarang, ya. Bu Yasmin ada perlu."
"Masalah apa, ya, Pak?"
"Kemarin teman-teman dari KOI kemari mencarimu. Lebih jelasnya tanya Bu Yasmin saja, ya."
"Baik, Pak."
Santapan baru, batin Nanda.
~ to be continued ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top