| 1 |
Kamu mempercepat langkah, tergesa-gesa. Berulangkali jam tangan di tangan kananmu memanggil untuk dilihat. Sial, umpatmu saat waktu telah terlewat. Embusan napas kauhela untuk menetralkan degup jantung. Mental, bersiap-siaplah.
🍃🍃🍃
Nanda melepas tas punggungnya dan menggantung benda tersebut pada kapstok dekat lemari pakaian. Ia segera mencuci tangan di wastafel, tak lupa menggunakan sabun dan menggosoknya berulang kali. Kemudian ia memandang wajahnya yang sudah merah tak karuan karena lalai memakai topi.
Hari sudah mulai senja. Waktu yang pas untuk keluar kamar. Lelaki berkulit pucat itu segera berganti pakaian dan kali ini ia tak akan melupakan topi dan maskernya. Baju dan celana panjang juga wajib untuknya.
Dering ponsel yang sejak tadi memenuhi ruangan sangat mengganggu. Sayang, tidak ada niat sedikit pun dari Nanda untuk mengangkatnya. Halah, mungkin dari Ners Tyas, pikirnya. Rutinitas yang hanya begitu-begitu saja membuat Nanda sudah hafal di luar kepala.
Namun, benda pipih tersebut terus berbunyi. Kesal, ia lekas mengangkat panggilan tersebut. "Berisik, ih!"
Nanda segera memutuskan panggilan. Di usia 17 tahun ini, ia mulai memasuki masa rawan. Ia sangat sensitif dan tidak mau diatur, hanya mau melakukan hal-hal yang menurutnya benar dan tak gamblang mendengarkan pesan orang lain.
Dokter dan perawat di sini sudah memaklumi tabiat Nanda. Lelaki itu kurang lebih sudah dua tahun menjadi penghuni tetap di RS Syaiful A, meski sejak umur sepuluh tahun sudah bolak-bolak masuk rumah sakit. Sebuah langganan yang unik, bukan?
Predikat senior juga tertulis jelas dalam dirinya. Ia bahkan sangat bangga, sampai memasang kalimat "Area Penghuni Senior, Gunakan Adab dan Sopan Santun Sebelum Masuk" di pintu kamarnya. Petugas medis yang wira-wiri melewati kamar itu hanya menggeleng saja, kelakuan Nanda memang aneh-aneh.
Laki-laki berjalan sambil menenteng pensil warna dan buku gambar di tangan kanannya. Ia berkali-kali menundukkan badan saat bertemu dengan orang yang lebih tua darinya. Sesekali Nanda juga menyapa pasien-pasien yang pernah ia temui dengan tos ala-ala yang ia buat.
Hanya anak kecil yang ia lihat di sepanjang koridor, mengingat memang daerah tempat tinggalnya adalah khusus untuk pasien remaja ke bawah. Walau sudah kelas tiga SMA, ia belum mau pindah ruang rawat karena enggan berpisah dengan kawan-kawan kecilnya.
Nanda melambaikan tangan saat melihat kumpulan anak kecil telah menunggunya di kursi taman. Ia segera mempercepat langkah. Dua orang perawat terlihat mengawasi anak-anak itu dari jauh.
Sekitar tujuh anak sudah siap berguru dengan Nanda. Ia segera membuka masker dan memasang senyum seindah mungkin. Lesung pipinya yang dalam menyambut wajah-wajah pucat di depannya.
"Are you ready, Kids?"
"Yay, yay, Big Bro."
Begitulah cara mereka bertukar salam. Sudah peraturan paten dari Nanda bahwa anak-anak itu wajib memanggilnya dengan panggilan Bro. Bagi Nanda, itu sangat keren.
"Hari ini belajar apa, Bro?" tanya salah satu gadis dengan rambutnya yang dikucir dua.
"Taraa!!"
Nanda mengeluarkan barang bawaannya yang sempat ia sembunyikan di dalam baju. Mata anak-anak itu langsung berbinar dan sudut bibirnya mulai terangkat. Nanda turut senang melihat wajah antusias mereka.
"Wah, menggambar. Terima kasih, Bro," ucap anak cowok berbadan tambun yang masih membawa tiang infus ke mana-mana.
Nanda tersenyum lalu mengangguk. Ia mengambil tikar yang ada di sebelah kursi dan menggelarnya. Anak-anak kecil itu pun langsung duduk dan merebahkan diri senyaman mereka.
Nanda berjalan meninggalkan anak-anak itu dan menghampiri kedua perawat yang sejak tadi mengawasi mereka. Cengiran dan gelengan secara bersamaan ia lakukan. Entah mengapa, Nanda selalu kesal kalau urusannya diawasi seperti ini.
"Mata-mata itu yang ada sembunyi, bukan terang-terangan begini. Berteduh pula, nggak elit banget," sindirnya.
"Siapa juga yang jadi mata-mata, Nda? Pede banget, ih. Aku dan Ners Hana cuma ngawasi bocah-bocah itu. Gak liat si Iqbal masih pakai infus?"
Perawat bernama Claudia itu tak mau kalah dengan sikap Nanda. Bahkan ia sangat berani dengan melipat tangannya di depan dada. Sejak masih kuliah, ia terbiasa menghadapi sifat slengekan lelaki itu.
"Udah, deh. Kan Kak Clau tau sendiri kalau masalah ginian tuh urusan gampang. Kalau ada apa-apa, Nanda masih bisa urus sendiri."
"Yakin?" Claudia ragu, lalu memegang dahi Nanda.
Sontak lelaki itu terkejut dan reflek mundur. Namun, ia tidak dapat mengelak. Gerakan perawat di hadapannya terlalu tiba-tiba.
"Benar, kan? Suhumu panas. Nggak liat mukamu udah kaya kepiting rebus? Pakai sunscreen nggak, sih? Ruammu nggak akan membaik kalau kamu abai terus, Nda."
Nanda mendengkus kesal, lalu berbalik. Ia bosan mendengar omelan perempuan satu itu. Claudia memang salah satu perawat yang kerap kali mampir di kamar inapnya.
"Bacot," umpat Nanda dengan sangat pelan.
"Apa, Nda?"
"Pelangi Spongebob!"
Nanda kembali pada kawan-kawan kecilnya. Ia melihat satu per satu coretan yang mereka torehkan. Ada beberapa di antaranya yang hanya mewarnai dan membuat pola tak jelas.
"Bro, Fafa gambar pelangi. Cantik, kan?"
"Wah, indah sekali!" seru Nanda.
"Geo nggak pernah liat pelangi. Emang warnanya cuma tiga, ya, Bro?"
"Kalau dulu, pas Bro masih kecil kayak kalian, Bu Guru selalu bilang ada tujuh warna. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu."
"Kok punya Fafa cuma tiga?" tanya Geo lagi.
Nanda tersenyum dan mengusap kepala Geo dengan gemas. Rambut anak itu sudah habis dipangkas oleh ibunya. Mereka memilih untuk tidak menanggalkan sehelai pun dibanding Geo harus mendapati rambutnya berguguran. Kemoterapi kadang semenyebalkan itu.
"Bu Guru di sekolah kalau menggambar cuma tiga warna ini, Bro." Fafa tidak mau disalahkan.
Nanda mengangguk dan menggenggam tangan Fafa erat. "Iya, mungkin menurut Bu Guru, tiga warna ini sudah cukup. Kan pelangi ada jauh di atas sana, kita nggak bisa lihat warna-warnanya dengan jelas."
"Yah, kasian warna yang lain, dong. Iqbal suka warna biru."
"Kan Iqbal bisa lihat langit. Nggak perlu nunggu pelangi."
Karena pelangi hanya singgah sementara dan enyah meninggalkan kekaguman.
•••
Sirine ambulans membuat para pengendara otomatis menyingkir. Tak jarang dari mereka mengikuti di belakangnya untuk memerangi kemacetan. Kecerdasan yang hakiki.
Seorang gadis terbaring mengenakan cervical collar dan kakinya dililit perban. Bekas sisa darahnya sendiri masih utuh di celana dan lengan bajunya. Axela masih sadar, sesekali meringis menahan sakit.
Berkali-kali petugas medis di sampingnya mengingatkan untuk menjaga kesadaran. Ia terus mengumpat dalam hati. Sadar, sadar, Kotoran Kerbau! Sakit! batinnya. Orang-orang itu memang tak merasakan sakit yang ia rasakan. Susah payah tetap membuka mata dan menikmati sensasi demi sensasi atas musibah yang menimpanya.
Tentu tak lupa Axela menyebut nama Tuhan setelah ia berkata kotor. Hitung-hitung langsung menebus dosa. Ia merutuk kesal karena sejak tadi tak segera sampai di rumah sakit. Perjalanan terasa lama dan menyakitkan.
Dering ponsel memecah keheningan antara petugas dan gadis itu. Kata "Mama" tertulis di layar tersebut. Dengan sigap, sang petugas langsung mengambil alih dan mengangkatnya, mengingat Axela masih kaku dan tidak dapat bergerak.
"Ela, udah nyampek sekolah? Kok gak kasih kabar mama, sih?"
"Mohon maaf, Bu. Saya petugas ambulans, anak ibu kecelakaan di Simpang Gajayana beberapa waktu yang lalu dan sedang dalam perjalanan ke RS Syaiful A."
Sunyi, tidak ada jawaban. Petugas tersebut menjauhkan ponsel untuk mengecek apakah masih tersambung atau tidak. Ia mengucapkan "halo" kembali sebagai bentuk pemastian bahwa orang yang diduga ibu dari pasien telah mendengar dengan jelas.
"Saya akan segera ke sana."
Petugas itu pun mengangguk, seakan sang ibu dapat menyaksikan hal itu. Ia segera mematikan panggilan tersebut dan menaruh ponsel tadi di tas Axela. Ia tersenyum, lalu mendekat.
"Kamu tenang, ya. Orang tuamu sudah tau dan akan segera datang."
Axela hanya menatap dan mengerjapkan mata. Hanya itu yang dapat ia lakukan sebagai isyarat. Lidahnya kelu, padahal seratus persen wajahnya mulus tanpa goresan dari aspal. Mungkin rasa sakit yang dahsyat di daerah kepala dan kaki membungkam organnya yang lain.
Ia berkali-kali merapal doa. Tiba-tiba ia mengingat Tuhan dan memohon banyak hal. Khususnya semoga kejadian ini tak membuatnya cacat di organ mana pun.
Ia harap semua segera berlalu dan kembali ke sedia kala. Walau ia sendiri sadar, hal itu sedikit mustahil. Dari ujung kepala sampai ujung kaki hanya terasa nyeri, seolah ratusan tikaman menderanya.
Setidaknya, begitulah isi otak yang tingkat sok tahunya sangat di atas rata-rata.
~ to be continued ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top