Ahra | Tiga

Ahra Side



"Eommonim sudah minum vitamin hari ini?" tanya Jimin sebelum mereka bertiga berangkat menuju acara kelulusan Ahra.

Hanna mengangguk, "sudah, Jim. Eomma sudah minum vitamin setelah sarapan tadi." 

Ahra dan Jimin pun mengangguk lega. Sebab mereka berdua harus memastikan Hanna agar setiap harinya meminum vitamin, yang nyatanya itu adalah obat penenang untuk Hanna yang memang jiwanya sedikit terguncang sejak enam tahun yang lalu.

Saat Ahra memberitahu bahwa dirinya sakit enam tahun lalu.

Di dalam tubuh Ahra terdapat suatu penyakit mematikan yang suatu saat nanti dapat merenggut nyawanya.

Penyakit sama yang di idap oleh Anna, kembaran Hanna yang sudah meninggal puluhan tahun lalu. Kejadian serupa yang membuat jiwa Hanna sedikit terguncang. Dirinya tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya, dirinya meyakinkan diri bahwa gadisnya baik baik saja. Ahra akan selalu berada di sampingnya dan tak akan pergi meninggalkan dirinya seperti sang Adik di masa lalu.



"Kau sudah minum obat?" tanya Jimin setelah Hanna masuk mobil. Ahra mengangguk, "sudah, aku bahkan membawanya di tas. Sakitnya bisa menyerang kapan saja, jadi mulai saat ini aku harus siap sedia." 

Jimin tersenyum hangat, lengannya ia angkat untuk mengusap sayang puncak kepala si sahabat slash tetangganya itu. "Walaupun kemungkinan kau sembuh nol persen, tapi aku berdoa agar hidupmu panjang. Tak perduli kau harus minum obat setiap harinya, yang jelas aku ingin kau tetap hidup." 

Ahra mencebik, "kau egois, Chim!" protesnya, membuat Jimin terkekeh. "Aku hanya belum siap kembali kehilangan." ujarnya.








"Jungkook-ah, kau yakin tak ingin aku antar?" tanya Jimin saat dirinya dan Ahra sudah berada di dalam mobil. Siap untuk pergi, sebab acara kelulusan sudah selesai.

Jungkook yang berdiri di samping pintu penumpang pun menoleh pada Jimin, "tidak, Hyung. Kau pulang lah lebih dulu, jangan lupa untuk antar dia sampai rumahnya." jawab Jungkook dengan lengan yang mengusap pelan surai hitam Ahra dengan sayang.

"Akan aku antar hingga pintu kamarnya, kau puas?" 

Jungkook dan Ahra terkekeh mendengar ucapan menyindir dari Jimin.

"Baiklah, kalian hati hati di jalan." Jungkook berdiri dengan tegak, memberi jarak agar mobil hitam tersebut bisa melaju. "Hyung, jaga dia untukku." ucapnya sekali lagi, sebelum Jimin benar benar melajukan mobilnya.

Mendengar permintaan tersebut, Jimin hanya menanggapinya dengan senyuman. Walau dalam hati ia menjawab aku akan menjaganya, dengan ataupun tanpa kau minta. Bahkan, jika bisa akupun ingin menjaga dia saat Tuhan akan membawanya pulang. 

"Aku pergi, kau jangan ikut after party! Aku akan adukan kau pada Eommamu!" ancam Ahra, yang di balas cibiran oleh Jungkook. "Silahkan, jika kau memang ingin Eomma tahu bahwa kita saling mengenal bahkan sepasang kekasih. Aku tak masalah, malah aku akan dengan senang hati membantumu untuk menceritakan keadaan kita." 

"Aish.." desis Ahra, lalu menepuk lengan Jimin yang sudah ia simpan di atas persneling. "Ayo jalan, akan menjadi obrolan panjang jika aku terus menanggapinya, Chim." 

Jimim terkekeh, lalu kali ini ia benar benar melajukan mobilnya setelah memberikan sinyal berpamitan pada Jungkook dengan cara menekan klakson mobilnya.





"Kau yakin, Ra?" tanya Jimin setelah mobilnya bergabung dengan lautan kendaraan di jalanan. "Yakin akan meninggalkan Jungkook begitu saja?" 

Ahra bergerak dalam duduknya, merubah posisi duduknya agar bisa menghadap si pengemudi. Memandang lekat sosok yang kini ada di hadapannya.

"Aku berharap agar Jungkook seperti dirimu, Chim," ucap Ahra, "mampu bangkit dari keterpurukan." lanjutnya.

"Aku yakin dia mampu. Hanya saja, butuh berapa lama agar ia bisa kembali bangkit setelah merasakan kehilangan ?" tanya Jimin, "aku mampu bangkit, karena aku memilikimu." 

"Jungkook memilikimu." balasnya cepat, membuat Jimin menganggukan kepalanya. "Benar, ia memilikiku. Kita bisa berbagi luka satu sama lain di masa depan nanti." 

Ahra terkekeh, "kalian berdua jangan terlalu larut dalam rasa kehilangan, mengerti?" 

"Mana mungkin!" tolak Jimin keras, nafasnya sedikit memburu, tiba tiba merasakan sesak yang teramat. "bahkan sekarang saja aku sudah mulai merasakan sakitnya, padahal kau masih berada disampingku. Memandangiku." lanjutnya dengan getir.

"Chim.."

"Ra.."

"Aku takut.. Aku takut tak bisa bangkit lagi," ungkap Jimin dengan suara yang tercekat, kemudinya ia arahkan mobil hitamnya menuju bahu jalan.


Ahra yang kini melihat Jimin tengah menyandarkan kepalanya di atas stir mobil dengan bahu bergetar pun, hatinya ikut merasakan sakit.

"Kenapa harus kau, Ra? Kenapa aku harus kembali kehilangan?" bisiknya dengan serak, "tak bisakah kau tetap disisiku? Menjadi tamengku setiap aku merasa terpuruk?" 

"Jika aku tetap menjadi tamengmu, siapa yang akan menjagaku, Jim?" lirih Ahra, "aku pun sama sepertimu, aku takut." jujurnya kali ini pada Jimin.

"Aku takut menghadapi ini semua seorang diri. Selama ini aku hanya bergantung padamu, walau nyatanya kau yang menggantungkan hidupmu padaku." ungkap Ahra, membuat Jimin mengangkat kepalanya.

"Kau menjadikanku tameng agar kau tetap terlihat kuat. Lalu, aku harus bersembunyi pada siapa agar aku tetap kuat dan tegar? Aku tak memiliki siapapun yang bisa menopangku disaat langkahku gontai." 

Jimin tersentak saat Ahra berbicara seperti itu, ia bahkan ikut merubah posisinya hingga kini keduanya duduk berhadapan dengan kepala yang sama sama mereka sandarkan pada sanggahan jok mobil.

"Ra.. Maaf, aku memang egois." lirih Jimin, yang dibalas gelengan kepala oleh Ahra. "Wajar jika kau egois, kau pernah mengalami kehilangan sebelumnya. Hanya saja, aku bingung harus menopang pada siapa jika dirimu saja berdiri di belakangku." 

"Aku selalu berusaha kuat pada semua, pada Eomma, Appa, bahkan Jungkook. Aku berusaha tegar saat kau menemaiku terapi, walau sejujurnya aku ingin mengeluh sakit." 

Air mata Ahra sudah tak terkendali, suaranya benar benar bergetar saat ini. Jika bukan saat ini, mungkin tak ada lagi kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya.

"Aku selalu memberitahu Eomma bahwa aku baik baik saja, setiap ia bertanya apakah aku sakit. Aku tak mengeluh padamu, sebab aku tahu kau akan semakin menggila jika tahu aku sakit." 

"Ra.. Aku seperti itu, sebab aku takut kau pergi." lirih Jimin.

"Aku akan pergi, Jim. Itu pasti." 

Mendengar ketegasan dalam bicaranya, Jimin mengangguk begitu saja. Kembali menelan kenyataan pahit, bahwa gadis yang kini ada di hadapannya akan pergi. Cepat atau lambat.





"Relakan aku," pinta Ahra, "relakan aku pergi, relakan bahwa kenyataannya aku ini sakit. Aku ini sekarat."




A/n : Beneran sedikit guys babnya :))
Mungkin bener bener kurang dari sepuluh, atau lebih sedikiiiitt...

Sekian, dan terima kasih udah menikmati karyaku yang masih gini gini aja 💜
HEARTEU!!

2020 - 11 - 25

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top