🥀 what is this?

Aku nulis chapter ini ya, sebel sendiri, ya, seneng sendiri 😭

Soraya bukannya enggak enakan, dia udah berusaha nolak ajakan Rara main bareng dengan alasan beda-beda yang jadinya malah muter ke mana-mana sebab Rara terus merayu supaya dia ikut. Rara yang ngotot akhirnya bikin Soraya luluh hingga menyerah dan menerima tawaran itu dengan setengah hati lantaran menolak berdebat kelewat lama dengannya.

Yang tadinya dia mau pulang bareng Mbak Wendi akhirnya batal karena Rara menyabotase dirinya. Mbak Wendi pulang sendiri, terus jadinya sore itu Soraya semobil bareng pasangan suami istri ini. Mereka enggak langsung buru-buru pulang, rencananya mau main sebentar mumpung lagi ketemuan.

Dan dalam perjalanan itu orang yang paling bicara hanyalah Rara. Dia excited sekali ngomongin soal buku dan tokoh dalam cerita itu. Soraya bagian merespon seringnya sih, melempar senyum dikit. Tian hanya menyimak dan tetap fokus menyetir roda empat ini. Sejauh ini belum ada obrolan antara mereka, pria itu bahkan belum memberinya ucapan selamat atas terbitnya buku Heart A Mess sekadar untuk basa-basi doang. Seolah Rara telah mewakilkan seluruh ucapan selamatnya.

Mereka benar-benar kayak dua orang asing baru bertemu. Boro-boro ucapan, sapaan hingga senyuman pun tidak nampak hilalnya, bak sepasang patung yang hanya dapat saling melihat tanpa boleh bicara.

Keputusan itu cukup tepat bagi Tian dan Soraya supaya dapat menghilangkan rasa yang salah, kendati pada akhirnya mereka tetap saling menyakiti.

“Aya udah punya pacar belum?”

Soraya tersedak batuk ketika Rara melayangkan sebuah pertanyaan yang cukup personal baginya. Wajar kalau dia kaget karena sejak tadi Rara hanya ngomongin soal Ansel dan Vera lalu tiba-tiba menanyakan kehidupan personal-nya, sehingga Soraya hanya melempar senyum kecil seiring gelengan dan atensinya membalas  perhatian Rara, perempuan yang duduk di bangku depan sebelah sopir. Namun, entah bagaimana mendadak Soraya sedikit berpaling mata ke arah spion kecil di dalam itu, lalu tersentak ketika mendapati tatapan Tian diam-diam mencuri pandang ke arahnya.

Kedua mata itu saling berjumpa lagi seperkian detik sebelum kemudian Tian membuang pandangan ke depan. Seolah barusan tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Soraya yang gelisah segera berbalik menatap kaca jendela mobil dengan tatapan sayu. Ia kini menyesali keputusannya menerima ajakan Rara.

Dia ceroboh. Harusnya dari pertama kenal dia tidak semestinya menjalin hubungan baik sama Rara kalau akhirnya malah begini. Gadis surai pendek sebahu itu lantas mendesah cukup lama dan Tian diam-diam kembali memerhatikannya tanpa dia ketahui. Rasa prihatin dan rindu itu sekelabat nampak di matanya.

“Kalau aku kenalin sama adikku, mau gak?”

“Ra!” tegur Tian spontan.

Baik Rara maupun Soraya, keduanya sama-sama terkesiap mendengar teguran dalam sekejap itu. Yang membuat jantung Soraya nyaris meledak saking tak terbiasa mendengar suaranya lagi, tapi Rara justru menyeringai lebar seraya mengusap paha suaminya itu.

Gadis di bangku belakang itu kontan membuang pandangan ke jalanan lagi. Mengenyahkan pikirannya dari pasangan di depan.

“Kael kan single, Mas. Jadi gak papalah kalau aku kenalin sama Aya. Iya kan, Aya?”

Soraya pura-pura tak mendengar ucapannya sehingga pertanyaan itu hanya mengawan di kepalanya. Ide Rara barusan enggak cocok sama sekali baginya. Mau Soraya masih single atau udah taken, pihak dari luar enggak punya hak buat memutuskan dengan siapa dia dekat. Status ini sejatinya milik Soraya, yang berhak mengubahnya hanya dia seorang bukan Rara, pihak dari luar.

Akan tetapi, dia tak sanggup mengutarakan keengganannya itu. Lagi-lagi prinsip “malas berdebat” meredam seluruh rangkaian kata di kepalanya ini, yang sempat mendesak Soraya supaya angkat bicara ketimbang Rara makin ngawur omongannya.

“Noah baru dua hari putus sama pacarnya. Jangan seenaknya nyuruh dekat sama dia.”

Dia.

Satu kata dengan satu huruf kosonan dan dua huruf vokal. Dia itu Aya, kan? Nyesek banget mendengar panggilannya bukan lagi “Mbak Aya” ataupun “Aya”, melainkan cukup hanya dia.

Dia.

Seolah Tian telah melupakan namanya. Soraya mengigit bibir bagian bawahnya, kontan jari-jarinya meremas tali slipbag di atas pangkuannya itu. Ia pun mati-matian menahan diri agar tak menangis kendati memahami bahwa kini matanya mulai berkaca-kaca. Kepalanya menunduk dalam lantaran tak ingin dirinya terlihat cengeng di hadapan pasangan suami istri ini.

Soraya cuma pengen pulang. Kalau terus-terusan bertahan di posisi ini, batinnya akan tersiksa. Dia enggak kuat lagi. Soraya hanya belum terbiasa menerima rasa sakit akibat menyukai seseorang, ini pengalaman pertamanya.

Pengalaman pertama yang justru menyiksa dirinya sendiri. Salahnya juga kenapa gampang sekali memakai perasaan alih-alih logika yang punya naluri lebih tenang. Bukankah dia bilang tidak ingin jadi Vera? Lalu bagaimana caranya supaya dia tidak jadi Vera ketika gejolak batin terus menyeret nama Tian di sana.

Soraya belum siap menerima kenyataan bahwa pengalaman pertamanya telah berakhir bahkan sebelum dia mencobanya. Kisahnya telah selesai. Dan kisahnya ini tak seindah milik Mia, tokoh perempuan dalam buku Alamusik, karena dia belum menemukan sosok Alam yang tepat.

Indra pendengarnya seketika dia malfungsikan lantaran enggan mendengarkan perdebatan kecil antara Rara dan Tian. Rara yang tetap ngotot pengen Soraya dikenalkan sama saudara laki-lakinya bernama Noah, lalu Tian dengan hati-hati menyuruh istrinya itu supaya menahan keinginannya buat jadi makcomblang dadakan dengan memberinya pengertian hangat yang akhirnya dapat diterima Rara.

Hanya perdebatan biasa pasangan suami istri, yang selebihnya tak ingin Soraya dengar. Dia muak dengan segalanya. Dia hanya kepengin pulang.

“Iya, iya. Maafin aku.” Suara Rara terdengar sedikit berbeda dari biasanya dia bicara. Lebih lembut dan ada kesan manja. Mungkin suaranya ini hanya muncul tiap selesai bicara sama Tian.

Lalu tak ada lagi suara yang terdengar. Rara tiba-tiba teralihkan dengan ponsel, Soraya yang bergeming tetap dengan kepala menunduk dalam sambil menahan gejolak untuk menangis, dan Tian kembali lagi menarik pandangan ke spion kaca mobil. Diam-diam lagi mengamati Soraya yang dari tadi bergeming dari posisinya itu. Mengingatkan Tian pada perjumpaan keduanya di depan kafe saat gadis itu datang terlambat melewati jam janji dan dia lalu marah-marah padanya.

Saya hampir nangis gara-gara Mas Tian. Soalnya saya baru kenal Mas Tian dua hari, tapi udah bikin kesalahan dan dimarahin. Rasanya dimarahi sama orang baru itu lebih gak enak ketimbang sama orang yang udah lama dikenal. Tapi karena udah dimaafin, saya jadi tenang. Hehe.”

Bahkan Tian masih ingat bagaimana seraut tersenyum setelah mengutarakan kejujurannya di balik sikap polosnya itu. Tian kembali mengenang momen pendeknya. Sebetulnya dia pun rindu.

“Mas Ian jangan lupa belok kanan,” tegur Rara sambil menyentuh lengan membuyarkan lamunan suaminya itu.

Tian nyaris terkecoh saat hilang kendali. Dia ceroboh sekali, bisa-bisanya melamun pas lagi nyetir mobil. Beruntung Rara menegur dirinya sehingga dia bisa mengendalikan kendaraannya lagi.

Setelah mobil mengambil belokan ke kanan, mobil pun berhenti di depan sebuah universitas yang lokasinya sebenarnya tak begitu jauh dari kampus Soraya. Kampus ini merupakan tetangga kampus Soraya yang dibilang rival sejati. Rara tengah bersiap-siap mengambil tas dan sebuah map yang disimpan di dalam dashbord. Sebelum perempuan ini turun dari mobol, dia berbalik sesaat ke arah Soraya.

“Aya aku tinggal bentar gak papa, ya? Mau ngasih file ke Kael. Saudaraku kuliah di sini,” katanya lalu pamit dan meninggalkan Soraya di dalam bersama suaminya itu.

Seperginya Rara situasi mereka justru makin buruk. Terasa sekali kesan tak akur itu. Bahkan ketika berdua dalam satu atap pun mereka tetap belum saling bicara. Keadaannya seakan teratur sedemikian rapi sejak keduanya memutuskan untuk tak berdua dan saling bicara lagi. Soraya bahkan tak mengangkat wajah saat Rara pamit kepadanya hingga menyisahkan dirinya bersama Tian. Buku jarinya yang meremas tali slipbag perlahan memerah dan setetes bulir jatuh di atas tangannya.

Soraya menepisnya cepat sebelum pria di depan ini menyadari dia sempat menangis.

Tian hanya menyadari sikap bungkamnya itu yang senantiasa dia perhatikan lewat spion kaca. Ada dorongan kuat dalam dirinya buat bertanya, tapi dorongan itu pun terhalang oleh keputusannya untuk tak bicara lagi padanya. Lalu sekarang dia tak bisa berpaling darinya barang sedetik. Tian pula terhenyak tatkala melihat Soraya mengusap mata dengan ibu jarinya, dia bergeming merasa turut andil dalam pergulatan batin gadis tersebut.

Situasi mereka sama-sama rumit dan sukar untuk menerima fakta. Bagaimanapun rasa yang salah tak sepantasnya diharapkan secara berlebihan. Mereka sedikit beruntung karena belum terlibat sampai jauh.

Tian tetap bergeming setia menunggu dan mengamatinya dalam hening. Saat dirasa bahwa tidak akan ada perubahan dari posisi sang gadis, Tian mengambil tisu lantas menyodorkan ke depan Soraya yang refleks bergeming lantaran gelisah ketika Tian hanya menawarkan sebuah tisu tanpa bicara apa-apa padanya.

Soraya menatap cukup lama tawaran tisu itu dan baru menerimanya ketika Rara terlihat kembali dari urusannya menemui saudaranya. Soraya buru-buru mengusap mata lalu melempar senyum setibanya Rara di mobil dan menoleh ketika pintu belakang pun turut terbuka.

“Gila. Panas banget!” ujar pemuda itu yang langsung masuk dan duduk di sebelah Soraya. “Tolong dong, AC-nya digedein.”

“Kael,” tegur Rara menoleh ke belakang sambil mendelik dan tersenyum ketika dia berpaling ke Soraya. “Kael kenalin ini Aya, temannya kakak.”

Pemuda itu menoleh, sekelabat ekspresi kaget muncul di matanya ketika dia baru sadar di bangku belakang ternyata ada penghuni lain selain dirinya. Lalu cepat-cepat dia mengubah sikapnya yang tadi sedikit sembrono asal bicara tanpa salam, jadi cengiran lebar sampai ke matanya yang ikut tersenyum itu.

“Halo,” sapanya dengan sopan sembari mengulurkan tangan ajakan berkenalan pada Soraya yang langsung membalas menerimanya. “Noah.”

“Soraya,” imbuhnya, “panggil Aya aja.”

“Oke, Aya. Salam kenal, ya!” Noah mengedipkan mata kirinya setelah melepaskan jabatan tangan mereka. Soraya sempat tertegun karena sifat pemuda bernama Noah ini sangat berbeda dengan sifat kakaknya, Rara

Rara yang melihat ekspresi jahil adiknya langsung menegur dan minta maaf ke Soraya. “Kael emang usil orangnya.” Terus mencubit paha Noah geregetan. “Aya dua tahun lebih tua dari kamu, lho.”

“Ya, terus masalahnya?” Rara sebenarnya tidak begitu kaget dengan respon Noah yang terkesan masa bodoh dengan perbedaan usianya. Toh, dia memang selalu begini dengan yang orang baru ditemuinya. Noah bukan genit, dia hanya sedikit usil sama orang, dan Rara masih belum terbiasa memaklumi sifat adiknya ini.

Noah yang tiba-tiba mencodongkan badan ke depan memaksa Soraya supaya mengeser duduk hingga posisinya kini mepet ke pintu. Noah seketika lupa sama posisi duduknya itu malah keenakan sendiri ketika wajahnya dapat merasakan seluruh akses AC di depan. Sementara Soraya mengerut di pojokan bagaikan seekor marmut yang ketakutan.

“Mas Ian mampir dulu kek, cari makan. Laper banget belum sempat makan siang.”

“Emang gak ada jam istirahat?” tanya Rara.

Noah menggeleng. “Ada, cuma tadi malas makan.”

Rara baru akan mengomeli Noah ketika Tian menegur adik iparnya itu supaya menggeser duduknya. Noah tersentak baru ingat tentang Soraya. Buru-buru mengeser duduknya sambil tetap nyengir pada gadis yang kini menatapnya  heran.

Mobil lalu kembali jalan setelah berhenti beberapa menit di kampus, lalu perjalanan kali ini sedikit lebih ramai dengan munculnya Noah yang ternyata orangnya banyak ngomong. Tapi Soraya merasa berterima kasih pada Noah yang tak ada habis-habisnya punya topik obrolan sehingga Soraya yang tadinya menyimak ikut menimpali sehingga dia dengan leluasa bisa melupakan tekanan batinnya itu.

Rara yang melihat keakraban Noah sama Soraya dalam waktu singkat turut bahagia dan entah bagaimana dia seketika bangga punya adik kayak Noah yang gampang bergaul sama orang baru. Berbeda sama Tian yang justru kurang senang lebih-lebih saat dia menjumpai senyuman terus tersemat di bibir gadis itu.

Bukan cuma sekali Soraya senyum atau tertawa mendengar lelucon konyol Noah. Momen itu terjadi tanpa ada habis-habisnya bahkan setelah mereka tidak di dalam mobil. Soraya yang duduk tepat di sebrangnya itu terus menunjukkan beragam ekspresi, sesekali dia mengerutkan hidung dan kening bersamaan sambil menyimak cerita Noah sebelum dia tertawa lepas.

Dua orang ini cepat sekali akrab. Secepat Soraya lupa dengan permasalahan hatinya. Dia sekarang lebih terlihat bebas dan bersahabat dengan siapa pun, justru giliran Tian yang merana di posisinya. Rara yang tadi hanya menyimak sambil senyam-senyum menikmati momen kedekatan adik dan kenalannya, kini ikut menimpali dan obrolan pun makin ramai saat ketiganya satu frekuensi. Hanya Tian yang tidak tertarik ikut dalam obrolan mereka walau kadang paham apa yang dibicarakan.

Eksistensinya Tian di meja itu hanya menyimak sambil diam-diam mengamati gadis di bangku depannya.

“Iya! Aku juga gak ngerti kenapa Paul mati konyol. Padahal dia lebih op ketimbang Max.”

Mereka lagi ngobrolin soal film, tapi hebohnya udah kayak pilihan presiden.

“Paul op dari mana? Dia tuh, beban. Pantes mati konyol,” ujar Noah berapi-api membuktikan betapa dia lebih memberi dukungannya buat Max ketimbang Paul.

Soraya berdecak tak sependapat, Rara demikian tak jauh beda darinya. Jelas dua gadis ini punya kesamaan sama dalam urusan karakter fiksi.

“Paul lebih op ketimbang Max. Max yang beban,” timpal Soraya sama semangatnya kayak Noah.

“Iya, Max beban,” kata Rara sependapat sama Soraya.

Tian tanpa sadar menahan senyum. Bukan karena Rara yang mendadak seperti remaja ini, melainkan karena Soraya yang terus ngotot dengan wajah serba mengerut saat berdebat sama Noah. Dia persis seperti bocah labil yang jawabannya suka melebar ke mana-mana karena enggak mau kalah dari lawan debatnya.

Bahkan setelah makanan tiba pun mereka masih saja meributkan masalah jagoan siapa yang overpower. Tian tertegun melihat semangatnya tak berkurang sekalipun lawannya telah mengaku kalah.

Beneran bocah, kata-kata ini pun terulang lagi persis saat ketika Tian baru mengenalnya.

🌶 hotsy-totsy 🌶

“Aduh! Lupa sama buku, kan.” Setelah pulang ke rumah dua jam lalu, Soraya baru ingat sama bukunya yang ketinggalan di mobil Tian. Pas turun dari mobilnya kayaknya dia sedikit kurang fokus sampai lupa sama belanjaan sendiri waktu di toko buku siang lalu sampai Mbak Wendi.

Sebagian buku itu karyanya sendiri yang niatnya mau dikasih buat Andra sama Theo, bertender kafe, yang pernah dia janjiin buku gratis.

“Chat besok ajalah,” pikirnya agak sungkan jika harus menghubungi Rara pada tengah malam. Lagian salahnya juga teledor pakai segala ninggalin bawaannya, padahal selesai dari pertemuan itu Soraya berjanji pada dirinya sendiri kalau dia tidak akan lagi punya niatan buat bertemu Tian.

D

emi kebaikannya. Soraya harus lebih serius melupakan pria tersebut, jangan hanya setengah-setengah yang sekali dengar namanya langsung ambyar. Soraya menghela napas sambil memandang kosong langit-langit kamarnya.

Ketika dia belum lama memejamkan mata, getar ponsel di meja segera menarik pendengarannya. Soraya menyahut gawainya. Dengan mata setengah menyipit bingung, gadis itu lalu bangkit ketika nama Tian muncul di layarnya. Dorongan untuk menolak teleponnya sama besar dengan dorongan dia tertarik menerima telepon ini.

Pada akhirnya dia tetap tidak menerima panggilan itu. Meneguhkan diri supaya tidak mudah goyah hanya karena panggilan yang mungkin dilakukan orang itu tanpa sengaja. Soraya mengangguk mantap, merasa begitu optimis sampai ketika sebuah pesan muncul di daftar notifikasinya.

Mas Tian: saya di depan rumahmu
Mas Tian: bukumu tertinggal di mobil

Mengingatkan Soraya pada satu malam ketika Tian mengiriminya rentetan pesan yang meminta supaya mereka jangan pernah bertemu dan bicara lagi.

Soraya makin gelisah ketika pesan baru muncul lagi dari pengirim sama. Dia ragu seketika apakah harus keluar atau tetap pura-pura tidak tahu-menahu saja. Biarkan orang itu menunggu sampai dia menyerah dan pergi sendiri. Soraya mengigit bibirnya sambil melirik jarum pendek di dinding kamarnya yang menunjuk pada angka 11 malam.

Ya udahlah ..., pikirnya menyerah karena keadaan. Soraya akhirnya nekat menemui Tian malam itu.

Awalnya dia pikir, mungkin Tian bercanda, tapi begitu dia sampai teras rumah sebuah kendaraan roda empat yang tak asing di matanya lagi sudah parkir tepat di depan rumahnya. Dengan ragu Soraya pun melangkah sedikit lambat menghampirinya. Sengaja dia begitu karena ingin mengetes apakah orang di dalam mobil itu beneran Tian atau justru orang lain, sebab sejak dia keluar dari rumah si pemilik tak kunjung pula ke laur dari kendaraannya.

Setibanya Soraya di depan gerbang rumah, kaca jendela itu diturunkan menunjukkan sosoknya yang sejak tadi mengamati Soraya dari gadis itu diam-diam ke luar rumah sampai mendekat kepadanya.

“Ayo, masuk,” ujarnya tiba-tiba.

Soraya bergeming bingung. “Mas Tian cuma mau nganterin buku, kan? Terus buat apa ikut masuk?”

“Kalau ngobrol di luar gak enak dilihat orang lain.”

Atensinya kontan melihat sekitar jalanan kompleks yang sepi, hanya ada segelintir orang yang terlihat sekelebat naik motor. Satu hingga dua orang belaka. Udah tengah malam begini jadi wajar kompleks rumahnya minim sama kehidupan. Semua penghuninya lebih memilih untuk istirahat di rumah masing-masing ketimbang berkeliaran di luar cari angin malam.

“Emang apalagi yang mau diobrolin?” tanyanya.

Tian menatapnya serius. “Banyak,” katanya seolah menahan diri supaya tak menyeret Soraya ke mobilnya. “Cuma sebentar.”

“Sebentar di sini juga bisa.”

“Aya, tolong jangan paksa saya.” Kata-katanya itu sukses membungkam mulut Soraya. Karena nyatanya ini pertama kalinya dia mendengar Tian memanggil namanya lagi setelah sepekan mereka tak berjumpa.

TADINYA INI PUANJANGGGG BANGET HUHAHAHA TAPI KUPOTONG DEH 🤣

wow, kan niatnya sebelum puasa ini end 🤸‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top