🙀 what happen?
Ayo, bangun! Sahuuuuuuuurrrr 🤸♀️
“Mas Aan.”
“Hm?”
“Menurut Mas gimana?”
“Gimana apanya?” tanya Ansel kemudian berpaling dari laptop ke arah adiknya yang belum lama itu duduk satu sofa dengannya.
Sambil menyembunyikan senyum malu, Soraya menyeret pantatnya mendekati posisi duduk Ansel lalu menyodorkan ponsel di depan wajah sang kakak itu sehingga perhatiannya kini tertarik pada layar gawainya. Ansel setengah mengernyit heran, setengahnya lagi tetap tidak paham gunanya apa Soraya melihatkan foto seseorang padanya sementara dia sendiri tidak kenal sama siapa orang di foto itu.
“Gimana?”
“Apanya yang gimana?” tanyanya heran.
Soraya mencebikkan bibir, jari telunjuknya menekan foto orang di ponselnya. “Orang ini.”
Ansel menatap wajah adiknya yang jaraknya lumayan dekat itu. “Emang orangnya kenapa?”
“Mas Aan, ihh, tulalit banget!” gerutunya ngagetin si kakak yang malah makin bingung kenapa malah dia yang jadi disalahkan di saat Soraya belum menjelaskan apa-apa padanya. Ansel mendesah kemudian merebut ponsel itu dari sang pemilik. Ibu jari dan jari telunjuknya memperbesar foto, memperhatikan dengan seksama sosok itu.
“Mas Aan pernah bilang kalau Aya dideketin cowok harus laporan dulu sama Mas Aan, kan?”
“Ohh, orang ini yang bikin kamu patah hati kemarin?”
“Bukan. Beda orang.” Soraya mengusir jauh-jauh bayangan Tian dari kepalanya. Merasa enggan lagi untuk memikirkan sosok suami orang. Jika dia tetap memaksa bertahan dengan perasaan sama, bukankah itu artinya dia perempuan jahat? Karena diam-diam memikirkan suami orang dan bahkan, berangan dapat memilikinya sebagaimana tokoh Vera dalam novelnya.
Lagian setelah kemarin dia memutuskan untuk berteman sama Tian, Soraya bertekad agar bisa melupakan cinta pertamanya itu ketimbang dia terjebak dalam perasaan yang tak ada akhir bahagianya ini. Walaupun sulit melupakannya, seenggaknya dia telah berusaha keras.
“Dia deketin kamu?”
“Iya. Eh?” Soraya berpikir, lalu menggeleng. “Bukan. Tapi aku yang mau deketin orangnya.”
“Dek?” Ansel terhenyak sedikit kaget sama jawaban bernada lugu Soraya. Posisi duduknya jadi menegak dan berbalik menghadap adiknya itu. “Gak. Gak. Jangan dulu!”
Soraya menelengkan kepalanya, mata bulatnya itu mengerjap bingung. “Kenapa?”
“Kamu itu cewek!”
“Ya, terus masalahnya?”
“Gak boleh. Jangan deketin cowok duluan.”
“Emang kenapa?”
“Karena kamu cewek.”
“Terus?”
Ansel mendesah. Sebenarnya dia tidak begitu mempermasalahkan cewek atau cowok duluan yang mendekati, menurutnya itu sama saja. Tapi kalau ini urusannya Soraya kayaknya butuh pengecualian, deh.
“Kasih tau Mas Aan aja, deh. Nama dia siapa, orang mana, usia berapa, udah kenal orangnya dari kapan dan di mana.”
“Namanya Andra, dia kerja di kafe sebagai bartender. Udah kenal dari 3 bulan—err, mungkin? Tapi akrabnya belum lama ini, sih. Terus usia aku kurang tahu. Hehe.”
Ansel berdecak sambil menggeleng sudah menebak bagaimana adiknya ini dapat mengenal cowok itu. “Kafe mana?”
“Our Times Cafe. Yang sering aku datangin.”
Walaupun dia sendiri belum pernah ke sana, tapi Ansel tahu di mana lokasinya. Soraya sering bercerita kepadanya tempat-tempat yang disukai adiknya itu, bahkan dia pun kerap merekomendasikan tempatnya ke Ansel kalau dia pulang ke rumah buat berkunjung ke sana sekali-kali. Dan sejauh ini Ansel belum ada rencana mampir ke Our Times Cafe, mungkin dalam waktu dekat ini ini dia akan membuat jadwal khusus buat ke sana.
“Biar mas yang temui orangnya,” ujarnya lalu mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya lagi.
Soraya nyengir lebar. “Tapi beneran gapapa, Mas?”
“Gak papa, apanya?”
“Aku deketin dia.”
Ansel menyimak sambil mengangguk samar.
“Standar Mas Aan kan, tinggi sementara Mas Andra orangnya cuma bertender kafe.”
Mas Andra—Ansel mencatat nama ini baik-baik dan memperkirakan kapan tepatnya mereka akan bertemu nanti. Kalau cowok itu sampai membuat adiknya jadi tertarik padanya, berarti Andra punya sesuatu yang telah menarik rasa keingintahuan Soraya terhadapnya hingga ingin mendekatinya duluan. Ansel akan segera menemukan hal tersebut setelah dia bertemu Andra nanti.
“Itu standarnya mas, bukan buat kamu,” ujarnya. “Selagi orangnya enggak neko-neko dan kamu suka orangnya. Mas sih, gak masalah mau dia cuma bertender kafe atau tukang konter pulsa.”
“Beneran gak masalah?”
Ansel mengiyakan. “Tapi tunggu mas ketemu orangnya dulu.”
“Iya, deh.” Soraya kembali nyengir. “Tapi Mas Aan jangan nanya aneh-aneh ke orangnya, ya? Soalnya aku juga kurang tahu nanti beneran suka ke Mas Andra atau enggak. Kemarin aku ngajakin dia ngedate cuma iseng doang, hehe.”
“KAMU NGAJAK DIA NGEDATE DULUAN?”
“Hehe. Iya. Tapi ditolak kok, gak dianggap serius sama Mas Andra.”
“Dek?”
“Seriusan, Mas Aan!”
Ansel berdecak lagi, kali ini diikuti tangannya mengacak surainya. “Kamu ngajak dia duluan?”
Soraya dengan wajah lugunya itu mengangguk enteng, membuat Ansel cengo sampai tak mampu untuk berkata-kata lagi sehingga dia memilih bungkam dan mengertakkan gigi geregetan. Bener-benar ya, adiknya kalau deketin cowok duluan itu yang ada malah bencana besar!
Terus wajar kalau Andra menganggapnya tak serius karena mau bagaimanapun bentukan ajakannya itu, orang yang telah mengenal Soraya lumayan baik pasti akan menganggap ajakannya itu sebagai cuma guyonan belaka. Ditambah lagi ekspresi Soraya yang kelewat lugu, pasti akan dianggap layaknya bocah ngajakin main.
Ansel menggeleng samar. Orang-orang tipe seperti Soraya tuh, lebih cocoknya didekatin duluan baru diajakin kencan ketimbang dia yang maju duluan.
🌶 hotsy-totsy 🌶
Hari itu, Tian masuk kantor cuma setengah hari setelah izin sama manajernya, Pak Yudi. Dia baru menyelesaikan cross-check fakta lapangan terkait buku non-fiksi yang dikoreksinya sebelum diserahkan ke divisi penerbitan minggu depan. Biasanya dia membutuhkan waktu sekiranya dua atau tiga hari, tapi karena belakangan ada sedikit masalah dia baru sanggup merampungkan bukti lepasnya selama genap satu minggu ini.
Belakangan ini Rara makin rutin mendesaknya untuk mencari ibu pengganti. Dari pagi hingga malam obrolan mereka makin sering menjurus ke arah sana, yang justru membuat Tian frutasi mendapatkan desakan itu langsung dari sang istri. Belum lagi ketika Rara menatap dirinya penuh bermusuhan setiap dia pulang ke rumah, alih-alih menyambutnya hangat sebagaimana mestinya.
Tian yang merasa serba salah di posisinya akhirnya memilih untuk tidak pulang ke rumah mertuanya hari ini. Dia ingin memenangkan pikirannya sejenak dengan menghindari cekcok bersama Rara. Bahkan rentetan pesan Rara di ponsel dia abaikan dari tiga jam lalu. Tian hanya memandangi notifikasi masuk itu tanpa minat untuk membalasnya.
Dia telah berusaha memahami perasaan Rara baik-baik sebagaimana mestinya Tian sebagai pasangannya, tapi di satu sisi dia juga tak bisa terus didesak untuk menuruti permintaannya itu yang menurut Tian bahkan keluarga Rara sendiri sebagai permintaan aneh. Tian pun telah berusaha semampunya untuk membangun keluarganya kembali supaya lebih jadi harmonis semenjak Dannis gagal jadi bagian dari keluarganya, di saat Rara telah melupakan kewajibannya sebagai seorang istri sehingga semuanya tampak sia-sia belaka karena pada kesempatan ini hanya Tian yang berjuang sedang Rara terjebak pada masalahnya sendiri.
Bahkan selama ini, Tian belum pernah sekalipun menyalahkan Rara atau takdir yang menimpa keluarganya yang berujung mengubah istrinya itu. Jika dia memiliki perasaan itu barangkali Tian telah meninggalkan Rara sejak istrinya itu mulai bertingkah aneh dengan mengabaikan eksistensinya. Fakta bahwa Tian masih bertahan selama ini adalah bukti bahwa dia masih mencintai Rara. Walaupun kini muncul satu fakta baru bahwa dia jatuh cinta pada perempuan lain.
Tian mendongak dengan mata setengah menyipit. Ketika pintu lift terbuka dia langsung mendengar suara jeritan Putra samar-samar dan beberapa orang kelihatan lari kalang kabut di depannya dengan wajah sama panik yang tak dibuat-buat itu. Sehingga menunda niatnya pergi ke divisi percetakkan ketika Uut dari divisi korektor ikutan lari dan lewat di depannya.
“Uut!” panggilnya sukses menyita perhatian si perempuan hingga dia berhenti dan berbalik. “Ada apa?”
“Ada kecelakaan.”
“Kecelakaan apa?”
“Ruang bekas meeting atapnya roboh.”
Tian menelan ludah ngeri membayangkan bangunan salah satu di kantor roboh. Gedung ini termasuk bangunan lama, termasuk bekas ruang meeting—bukan ruang meeting utama—yang bagian atapnya memang sudah kelihatan tua dan tak bagus lagi. Sudah beberapa kali para pegawai menyarankan supaya atapnya segera diperbaiki, tapi pihak manajer beranggapan lain bahwa bagian atap ruang bekas meeting masih bagus, belum ada kerusakan parah hanya karena ruangan itu tidak lagi digunakan sebagai ruang meeting utama jadi mereka tutup mata. Nah, lihat karena keangkuhannya atap ruangan bekas meeting akhirnya roboh juga, kan? Pantes semua orang terlihat panik dan saling berlarian menuju lantai tiga untuk mengecek lokasi kejadian.
“Terus pas roboh di dalam ada orangnya?” Tempat itu jarang ditempati, di satu sisi karena atapnya yang tak bagus, AC ruangannya juga suka tiba-tiba mati dan malfungsi sehingga orang kantor jarang menghuni kecuali dalam keadaan mendesak.
“Ada.”
Jawaban Uut spontan membuat hati Tian mencelos mendengarnya. Kaget dan prihatin, kedua perasaannya campur aduk. Sekarang dia semakin paham mengapa Putra berteriak dan orang-orang berlarian. Mereka bukan cuma penasaran sama situasi atap ruangan bekas meeting yang roboh, melainkan juga khawatir sama korban yang tertimpa.
“Siapa?”
“Mbak Wendi sama penulisnya.”
Deg
Sekujur tubuh Tian bergeming kaku. Suara Uut mendengung keras di kepalanya bak sebuah alarm kematian. Mbak Wendi sama penulisnya. Suara orang-orang mulai terdengar lagi, saling bersahutan, campur aduk jadi satu meminta bantuan kepada siapa pun untuk menolong menyingkirkan potongan plafon. Tian spontan lari melewati Uut dan menyibak kerumunan manusia yang nyaris menutup aksesnya mendekati lokasi kejadian.
Netranya menangkap siluet Putra yang menonjol berbeda di tengah kerumunan. Wajah laki-laki itu kelewat panik, dia terus berteriak memerintahkan orang yang hanya menonton untuk membantu bersama lainnya supaya proses eksekusi bisa dilakukan cepat. Beberapa orang menyingkir dengan ponsel di telinga masing-masing, sibuk bicara dengan pihak rumah sakit agar segera mengirim ambulance ke kantor.
“Mas Ian, tolong!” Putra menariknya keluar dari kerumunan begitu menyadari kedatangannya. Matanya merah karena tangisan khawatirnya itu, semakin menyakinkan Tian bahwa korban di dalam memanglah Wendi, mengingat bagaimana hubungan Putra sama Wendi yang sangat dekat, dan mungkin semua orang di kantor sepakat bahwa mereka terlihat seperti adik-kakak daripada senior-junior.
Atensi Tian menyelisik sekitar mencari para korban, tapi tidak menemukan siapa-siapa selain belasan laki-laki yang mencoba memindahkan potongan plafon.
“Yang di dalam siapa?” tanyanya setengah tak sabar, setengahnya lagi dia mulai kalut membayangkan serangkaian kejadian tersebut.
Putra sesenggukan. “Mbak Wendi,” jarinya menunjuk ke dalam, “Hana terus Aya.”
“Aya? Soraya?”
Dia mengangguk. “Iya, Mas. Mereka bertiga di dalam tadinya sama kita berempat, tapi—” Tapi berikutnya Tian tidak mendengarkan lagi omongan Putra. Seketika Tian jadi buta mata dan telinga. Langkahnya tergesa-gesa menyelinap masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi sama potongan plafon. Menyingkirkan langit-langit ruangan yang jatuh sehingga menutupi ketiga korban di bawah tumpukannya dengan tak sabar.
Tian mengangkat dan menyingkirkan plafon itu sendirian, sementara orang-orang berdatangan mulai bergotong royong. Lalu Putra yang tadi cuma teriak minta tolong kini turun andil serta.
“Mbak Wendi ... Hana ...,” panggilannya disela tangisannya itu berlawanan dengan teriakan hati Tian yang terus mengkhawatirkan keadaan Soraya.
“Woy, ketemu satu!” Teriakan seseorang kemudian memecah fokus semua orang yang sedang bergotong royong, salah satunya Tian yang langsung berlari menyusul ke tempatnya ketika sudut matanya melihat tangan pada genggaman si penyelamat. Dia langsung mengenali siapa pemilik tangan itu hanya dengan melihat jam tangan di pergelangannya.
Soraya selalu memakai jam tangan sama yang menyakinkan Tian bahwa itu adalah dia
“Tolong angkat bagian bawah.” Tian memberi perintah pada dua orang supaya segera membantunya memindahkan potongan besar plafon. Ketiganya saling bergotong royong dalam hitungan ketiga. Setelah plafon besar dipindahkan barulah mereka dapat melihat keadaan orang di bawah tumpukan yang ternyata bukan hanya Soraya yang terjebak, ada Wendi yang sepertinya sempat lari ingin menolong Soraya sebelum peristiwa. Karena posisinya dia melindungi kepala Soraya dari benda yang berjatuhan.
“Aya.”
“Mbak Wendi!”
Dua panggilan berbeda dari orang berbeda. Putra yang tetap menangis sesenggukan mengkhawatirkan kondisi sang senior, Tian justru bernapas lega karena meskipun Soraya tertimpa plafon syukurlah dia masih bernapas—yang membuat semua dari rasa khawatirnya hilang dalam sekejap. Tian meraih tubuh Soraya, lalu mengendongnya dengan bantuan orang-orang yang menyuruh penonton di luar menyingkir.
Sementara itu, Hana—teman Putra, si anak magang—tak lama juga diselamatkan. Posisinya duduk berjauhan sama bangku Wendi dan Soraya sehingga tubuhnya yang tak sadarkan diri itu ditemukan di ujung sendirian.
Tian bukan hanya menyerahkan Soraya begitu saja ke petugas medis yang tiba tepat waktu, dia juga ikut masuk ke ambulance hingga sampai rumah sakit dia ikut menemani. Tiba waktunya mereka berpisah, Tian jatuh di kursi ruang tunggu dengan kedua tangan yang bergetar.
Kembali teringat kejadian dua tahun lalu, ketika dia harus mengendong Rara yang terpelesat jatuh di rumah dengan bagian pinggang sampai kaki berlumuran darah. Detik-detik saat Tian merasa gagal menjaga istrinya hingga berujung mereka harus kehilangan seorang putra.
Udah part 26 hehe tandanya mau end beneran ☺
Adegan di atas teringat momen, jaman kuliah dulu plafon atas ruangan mengajar jebol 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top