🏍 traveloka(l)

“Semalam disaranin Mbak Wendi katanya pameran seni daerah bang jo pas latarnya sama di bukuku. Eh, Mas Tian tau jalan bang jo, kan?” tanyanya sambil mencondongkan badan ke depan, melirik pria di depan yang lagi fokus mengendarai motor.

Tian enggak nyahut tetap diam dan fokus depan, mungkin karena lagi di jalan pendengarannya teredam oleh suara kendaraan lain ditambah sepasang telinganya ketutup helm. Soraya mengamati pria yang memboncenginya itu lewat spion motor, lantas urung bertanya lagi.

“Ini mau ke mana?” Tian bertanya balik ketika motor berhenti di lampu merah.

Soraya yang dengar langsung menyahuti, “Mas Tian tau bang jo, kan?” Bang jo, abang ijo, kependekan dari nama lampu lalu lintas yang dijadikan nama suatu jalan raya berkat daerahnya super eksentrik. Alias paling terkenal panas dan suka bikin kulit kaki sama tangan gosong kalau berhenti di lampu merah situ tanpa pakai alat pelindung, kaus kaki dan sarung tangan.

Helm di kepalanya ikut bergerak mengikuti anggukannya itu.

“Mbak Wendi nyaranin buat ke sana. Katanya pameran seni daerah situ hampir mirip kayak di bukuku ketimbang yang daerah atas.”

Tian belum nyahut. Terlihat dari matanya sih, dia lagi mikir. Soraya tetap menunggu sampai ketika kepala itu menggeleng, dia langsung jadi bingung.

“Nggak ada saran lain?”

Soraya menggeleng. Dia beneran minim pengetahuan tempat-tempat menarik seperti bangunan pameran seni di kotanya. Yang ini aja dia tahu berkat bantuan Mbak Wendi yang tetap mau direpotkan malam-malam padahal udah jam sebelas memasuki waktu dini hari.

Dasarnya Soraya hobinya repotin orang, kalau ngechat suka lupa waktu.

Sementara itu, tanpa Soraya sadari bahwa si Mas Tian dari tadi mikir keras antara mereka tetap pergi ke tempat yang disaranin Mbak Wendi di daerah bang jo selatan yang jaraknya hanya sekitaran 4,5 km dari lokasi kini atau memilih ke tempat lebih jauh dengan jarak lebih dari 10 km di bagian timur paling atas.

Ketimbang opsi pertama Tian lebih memilih opsi kedua. Dia punya alasan kenapa pilih jarak terjauh ketimbang yang terdekat. Lebih aman. Tapi Soraya pasti bakalan protes, tanpa pikir apa-apa segera menolak opsi kedua disamping karena waktunya terbatas, dia juga kurang tertarik merepotkan orang lebih dari janji.

Hingga akhirnya dengan amat terpaksa Tian memilih opsi pertama. Pergi ke gedung pameran seni daerah selatan dekat bang jo. Enggak butuh waktu lama buat sampai tujuannya lebih-lebih ketika Tian tahu jalan pintas tercepat sehingga belum ada setengah jam mereka telah tiba.

Soraya yang turun duluan langsung diminta Tian buat masuk duluan ke gedung pameran sedangkan dia akan mencari tempat parkir yang sekiranya dapat menyembunyikan motor jenis Yamaha XSR 155 dari kenalannya yang kebetulan gedung sebelah adalah komunitas motor gede bernama brotherhood club.

Tian bagian dari kelompok ini, telah gabung jadi anggota lebih dari enam tahun sendiri. Dia pun aktif ikut kegiatan rutin klub setipa Rabu dan Jum’at. Sering melakukan touring dan kopdar di hari-hari itu atau kadang di hari libur nasional.

Dia hanya sedikit cemas salah satu kenalannya di brotherhood melihatnya di sini bersama Soraya walaupun dia telah membawa motor lain bukan kendaraan biasa yang sering dibawanya ketika main ke basecamp. Alasannya ini cukup sederhana, sebagian dari anggota brotherhood club omongannya suka ngawur dan suka melebih-lebihkan sebuah cerita meski ngakunya bercanda, tapi seringnya Tian kurang cocok sama candaan mereka.

Tian tidak suka namanya diikuti gosip buatan anggota dari klubnya. Dia pria dewasa yang ingin menjalankan hidup penuh hati-hati.

“Mas Tian.” Tian terlonjak dikagetkan akan panggilan Soraya tepat di belakangnya ini.

Kayaknya dia tadi udah pergi, kok udah nongol lagi aja, ya?

Tian berbalik menghadapnya yang tampak lesu sekembalinya dari perginya ke gedung pameran tadi.

“Pamerannya tutup, udah jam lima sore. Kita telat datangnya. Mulai buka lagi besok dari jam sembilan sampai tiga sore.”

“Astaga!” Ia berdecak baru ingat tiap gedung pameran pasti punya jadwal buka dan tutup. “Emang kamu gak sempat searching dulu buka dan tutupnya jam berapa?”

Gadis di depannya meringis melihatkan deretan gigi rapinya yang putih bersih itu.

“Lain kali searching dulu,” ujarnya menasehati sambil menggeleng. “Ya udah, mumpung masih di sini Mbak Aya bikin catatan aja. Tulis nama gedung, jadwal buka dan tutup, perhatikan pintu masuk dan bagian-bagian detailnya kayak warna gedung, tanaman kalau ada kalau gak ada nggak perlu. Catatan seperlunya di buku. Informasi sederhana begini lumayan berguna buat tulisan.”

Soraya mengangguk paham sambil mencatat bagian-bagian yang terlihat matanya di notebook. Sebelumnya dia tidak begitu fokus akan suatu tempat atau gedung dalam ceritanya. Jari-jarinya hanya mengetik apa saja yang muncul di kepala sedangkan riset tempat kadang tidak begitu diperhatikannya sedetail ini. Lalu setelah kenal Tian, Soraya mulai mengerti mengapa kebanyakan novel yang ia baca dapat mendeskripsikan sebuah latar tempat atau bangunan dengan baik. Itu karena sang penulis telah melakukan riset tempat yang bersangkutan agar latar mereka lebih rasional dan dapat diterima oleh pembacanya.

Tian agaknya penasaran sama catatan Soraya. Dia lalu mengintip isi notebook yang terbuka itu sebelum bola matanya jadi melebar dan bibirnya berkedut. Sekarang Tian mengerti kenapa gadis ini pernah mengaku buta arah, Soraya tidak bohong kemarin.

“Mbak Aya ini udah dewasa, tapi ....” Tian urung melanjutkan ucapannya tepat saat Soraya menoleh dengan kening mengerut. “Sini bukunya biar saya yang catat.”

“Ini hampir selesai kok.”

“Biar saya perbaiki,” katanya langsung mengambil buku catatan dari tangan Soraya beserta penanya. Bibir Tian rutin berkedut seiring maniknya menari di atas coretan tinta hitam dan batin melafalkannya.

Soraya yang penasaran menyeret kakinya mendekat, lantas mengikuti gerakan pena di tangan kanan Tian yang kini mencoret beberapa tulisan Soraya dengan mulutnya membentuk vokal “O” dan kepala bergerak naik-turun diulang-ulang sampai pena itu akhirnya berhenti.

“Jadi arahnya kanan bukan kiri,” celetuknya diikuti anggukan Soraya yang kemudian mengerti kekeliruannya. “Area parkirannya ada di Barat, toh? Oh, paham, paham. Bagian—”

“Sekarang lanjut ke mana?” Tian menyela dengan sudut mata diam-diam menengok ke samping. Tepatnya ke gedung sebelah yang bisa dilihat dari halaman parkir di gedung pameran seni ini karena tembok pembatasnya hanya sebatas pinggang Tian.

“Hm?” Soraya menyahut sambil mendongak bingung. “Ke mana apanya, Mas?”

Tian segera menarik perhatiannya ke Soraya. “Tempat selain pameran seni.” Terus balik lagi  ke arah gedung samping saat indranya menangkap sinyal kedatangan orang dari dalam gedung.

Benar saja dia lalu melihat dua kenalannya, Bima dan Sigit, barusan keluar lewat pintu depan. Tian yang tersentak refleks menarik Soraya hingga tubuh mungil gadis ini menabrak badannya, bahkan sebelum dia sempat protes Tian sudah menyeretnya buat berjongkok ke bawah.

“Ssst,” katanya menyuruh Soraya diam sebelum dua laki-laki itu hilang dari parkiran gedung sebelah yang kebetulan juga dekatan sama parkiran gedung pameran seni ini. Tian sampai bisa dengar obrolan mereka yang kurang lebih ngomongin soal rencana touring brotherhood club bulan depan nanti.

Soraya bingung kenapa mereka harus jongkok begini di belakang motor, bak pasangan maling yang tengah sembunyi dari kejaran masyarakat dan polisi.

“Mas Tian sembunyi dari apa, sih?”

“Bukan apa-apa,” jawabnya sedikit enggan menjelaskan padahal reaksi tubuhnya yang suka mengintip keluar ke arah gedung sebelah bikin Soraya curiga hingga berniat bangkit untuk melihat penyebab si korektor novelnya ini bersikap aneh. “Mbak Aya!” panggilnya nyaris memekik seperti perempuan lagi panik.

Soraya tak acuh setelah sukses berdiri dan menjauhi Tian yang berupaya menariknya agar duduk lagi. Bahkan gadis itu pura-pura tak mendengar gerutuan Tian sedang tungkainya mengajak mendekati tembok pembatas antara dua tempat ini. Soraya melihat dua orang laki-laki saling bicara di dekat kendaraan masing-masing.

Laki-laki kepala hampir plontos itu baru akan memakai helm; laki-laki yang rambutnya merah menyala bak api sedang memakai jaket hitam kulitnya. Jarak mereka lumayan dekat sehingga Soraya dapat menangkap obrolannya, demikian kedua laki-laki itu dengan kompak melempar pandangan ke Soraya yang terus melihat ke arahnya. Mereka bersikap tak acuh dan tetap lanjut bicara sambil mengabaikan Soraya.

Gadis itu lalu berjongkok lagi setelah keduanya tak lagi memperhatikannya.

“Mas Tian kenal mereka?”

Tian menggeleng sengaja berkilah sebab malas menjelaskan pada Soraya yang sudah kelewat ingin tahu. Ia juga merutuki reaksinya yang refleks menyeretnya sembunyi padahal jika sekadar Tian yang jongkok keberadaan Soraya tak begitu penting diperhatikan bila tanpa dirinya.

Bima dan Sakti jelas tak akan mengenali Soraya dan pasti akan menganggap gadis ini hanyalah gadis biasa yang kebetulan mereka temui. Beda cerita lagi kalau mereka lihat Tian bareng Soraya, keduanya pasti kaget terus mulutnya akan melontarkan rentetan praduga yang kurang menyenangkan.

Soraya menelengkan kepalanya ke kiri seiring netra coklat bulatnya menatap penasaran akan sosok di depannya ini. Tian memerhatikannya dengan mata memicing dan balas menatapnya heran.

Sampai ketika gadis cantik di depannya ini melemparkan senyumnya, Tian kembali tertegun olehnya. “Mas Tian kayak bocah, tau gak?” Guraunya lantas menyelinap masuk ke telinganya. Membuat Tian jadi merasa tidak nyaman.

🌶 hotsy-totsy🌶

Karena tidak enak hati telah menyeretnya ke dalam masalah yang dibuatnya sendiri waktu di parkiran pameran seni tadi, Tian memutuskan buat mentraktirnya makan saat tanpa sengaja mendengar cuitan isi perutnya yang protes karena lapar. Mereka kini ada di warung bakso yang digadang-gadang paling enak di kota ini menurut versi Tian sendiri dan Soraya hanya mengikutinya.

Namanya doang Warung Bakso, tapi tempatnya layaknya sebuah food court mall yang biasa Soraya datangi bareng Bunga di waktu senggang sebaliknya dari kampus. Dinding-dindingnya dipenuh sama mural bakso dan mangko dengan cap ayam di badannya. Perpaduan warna biru langit dan putih membuat suasana tempatnya tampak bersih dan fresh dipandang mata pelanggan. Lampu gantungnya yang menyala bahkan kelihatan mewah, sangat berbeda dengan tempat-tempat jualan bakso yang sering dijumpainya.

“Mas Tian kok bisa tahu tempat ini?” Ini pertama kalinya Soraya tahu tempat bakso sebagus ini. Pengalaman pertamanya yang perlu diabadikan di kamera ponselnya. Soraya suka memotret tempat yang baru dikunjunginya walau semata-mata sebagai konten postingan Instagram atau Twitter-nya.

“Mbak Aya baru pertama kemari?”

Soraya mengiyakan langsung dengan wajah semringah yang bikin Tian berdecak dalam hati.

“Saya boleh nanya sesuatu?” tanyanya sedang mengalihkan pikirannya yang sedikit terganggu akan sesuatu. Melihat anggukan semangatnya itu, Tian kemudian berbicara, “Kenapa Mbak Aya ngambil tema perselingkuhan?”

Pertanyaan sama dari orang berbeda. Soraya kerap dapat jenis pertanyaan begini dari pembaca, Bunga, bahkan Dimas pernah menanyakan hal sama. Mereka penasaran, pasalnya ini tulisan pertama Soraya memakai trope perselingkuhan sementara tulisannya yang lain seringnya coming of age atau kisah kasmaran dari pasangan anak sekolah.

“Nggak tahu,” jawabnya sedikit jujur, sedikitnya ragu.

“Bukan karena pengalaman pribadi?”

“Hah? Pengalaman pribadi? Yakali, Mas!” serunya heran bisa-bisanya dikira tulisannya itu berdasarkan pengalaman pribadi. “Mana sudi saya jadi Vera.”

Vera adalah tokoh utama wanitanya di Heart A Mess. Seorang mahasiswa semester empat yang diam-diam menjalin hubungan affair dengan dosennya, Ansel. Singkatnya kisah ini menceritakan tentang pergulatan batin Vera yang semula tidak tahu-menahu bahwa sang dosen kekasihnya, Ansel, telah beristri di saat keduanya sedang berada di tengah-tengah kasmaran. Vera yang sempat dilema antara tetap melanjutkan atau mengakhiri hubungannya, akhirnya memutuskan untuk tetap lanjut biarpun tahu Ansel sudah menikah.

“Tak jarang seorang penulis menuliskan kisah berdasarkan pengalaman pribadinya,” ujarnya.

Soraya sependapat karena benar sebagian dari karyanya ada yang berdasarkan pengalaman pribadi yang diubah layaknya fiksi, tapi khusus kisah Vera dan Ansel dia tak akan sependapat. “Saya menolak keras perselingkuhan dalam bentuk apa pun, asal Mas Tian tau.”

“Tapi Mbak Aya sendiri menulis kisah perselingkuhan dosen dan mahasiswa.”

“Ya karena ....” Soraya bungkam, mendadak bingung membela diri saat tatapan laki-laki di sebrangnya ini terkesan tajam dan menyerangnya. Jadinya dia hanya memainkan jari-jarinya di atas meja seraya memalingkan wajah.

Tian yang mengamatinya lantas menggulum senyum sambil menopang dagu dengan tangan kiri sedang tangan kanannya bertengker di atas meja.

Kalau di Tendae emang dosen-mahasiswa, tapi bukan perselingkuhan 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top