👦 Theò

Cuma mau share  ini aja sih


“Coba aja tuh, sama si Dimas barangkali kalian cocok,” kata Bunga dengan santai sewaktu ke luar dari perpustakaan sambil menenteng buku dan jurnal hasil pinjaman sebelum berpisah. Bunga ada urusan sama wali dosennya; Soraya ada janji temu sama Mbak Wendi di tempat sama.

Seperti awal-awal sebelum naskahnya diambil alih korektor, Soraya hanya akan bertemu Mbak Wendi tidak ada lagi Tian yang akan mengurus naskahnya. Barusan banget pagi ini Mbak Wendi beri kabar lewat chat tentang Tian yang mungkin tidak akan mengoreksi naskahnya setelah revisi. Di dalam pesannya tidak ada alasan pasti mengapa Tian mundur yang justru terkesan kurang profesional. Soraya tak perlu mencari tahu karena telah mengantongi alasan kepergiaannya.

Cuma ada bagian yang mengusiknya. Bukankah urusan pekerjaan adalah pekerjaan. Semestinya Tian bisa bersikap profesional tanpa melibatkan urusan pribadi dalam pekerjaan ini alih-alih lepas tangan setelah terlibat jauh yang memaksanya melakukan revisi naskah gila-gilaan. Walau sejujurnya Soraya lega karena dengan begini dia tidak perlu mencari cara untuk menjauhinya dan mungkin ini bagian dari keputusan Tian sendiri.

Bunga tahu semua cerita yang berhubungan tentang Soraya dan Tian langsung dari mulut temannya itu sendiri. Tidak ada bagian yang ditutup-tutupi, cerita itu mengalir apa adanya. Makanya sekarang dia jadi sering menyuruh Soraya buat dekat sama cowok lain biar move on dari perasaan samarnya itu.

Ya, perasaan samar yang membuatnya nyaris akan menjadi sosok lain.

Tapi dengan menyeret nama Dimas justru membuat gadis bersurai pendek sebahu itu skeptis. Bukan karena dia tidak suka, lagian siapa sih, yang enggak bakalan suka Dimas? Dimas pribadi yang baik, populer di kalangan para gadis, aktif bersosialisasi buktinya selain gabung sebagai anggota ukm musik, Dimas juga bagian dari orma. Eksistensinya selalu hadir dalam urusan tertentu yang selalu melibatkan kampus, bahkan rumornya dia lumayan pandai di kelas.

Namun, entah mengapa Soraya tidak pernah merasa cocok berkencan sama Dimas.

Tanpa perlu diberitahu pun Soraya tetap tahu kok, kalau Dimas itu suka padanya. Akan tetapi, dalam urusan ini Soraya belum sanggup membalas perasaan pemuda itu. Alasannya cukup sederhana, mereka beda keyakinan dan Soraya mengerti Dimas orang yang taat.

Hubungan mereka telah kandas bahkan sebelum dimulai.

Bahkan aslinya, Soraya sendiri belum pernah terlibat hubungan kasmaran dengan pria mana pun. Dia setia menjomblo sejak jaman zigot. Pengalaman asmaranya itu zero, berbanding terbalik dengan para tokoh ceritanya yang semua dibuat pro dalam urusan asmara.

Soraya berhasil menciptakan sepasang tokoh saling mencintai dan memiliki berkat kisah menarik yang didengar lewat mulut teman sekolah maupun kuliahnya, dari bacaan romance, dan film. Soraya punya banyak sumber inspirasi tanpa perlu terlibat langsung dalam moment itu. Jika bimbang dia akan bertanya kenalannya yang telah punya pengalaman lebih urusan cinta ketimbang dirinya, sampai kemudian Soraya berhasil menuliskan kisah romantis yang sukses membuat pembacanya kesemsem.

Emang gak tertarik pacaran?

Soraya sih, mau-mau aja dan tentu enggak akan menolak. Cuma dia enggak mau ribet dalam urusan kencan apalagi konsep kencan di rumah enggak cocok banget sama dirinya. Khawatir ketika calon gebetannya main ke rumahnya, esoknya hubungan mereka akan kandas. Si pria mungkin trauma setelah bertemu keluarganya yang bisa dibilang ajaib dengan: ibu yang galak, ayah si penurut, dan Ansel yang super cerewet.

Alasan kedua, Ansel selalu selektif dengan siapa adiknya itu dekat. Dia akan diam-diam menemui si cowok, terus menyidangnya di suatu tempat sampai orangnya menyerah dan memutuskan berhenti deketin Soraya. Rese emang. Tapi sejauh ini yang lolos seleksi Ansel baru dua orang doang. Hanya saja, kedekatan mereka belum pernah sampai ke tahap pacaran karena saat itu Soraya belum tertarik buat ke sana.

Jaman sekolah Soraya masih enak-enaknya jadi fangirl—sekarang agak mendingan setelah aktif nulis online sama kuliah—dan sibuk dengan buku-bukunya.

Soraya tiba lebih awal di Our Times Cafe. Sama seperti biasanya, pelayan kafe akan menyambut dan Soraya akan balas melempar senyum padanya.

Kali ini pada bagian bertender terisi dua wajah: si wajah lama dan si wajah baru. Soraya melangkah ringan tanpa beban mendekati konter bar itu, lalu disambut hangat si wajah lama bernama Andra sedang si wajah baru bernama Theo menyambutnya sebagaimana mestinya SOP tempat kerjanya.

Professional as always.

“Mas Andra udah masuk lagi?” celetuknya lumayan girang mengetahui si bertender mata belo kembali bekerja seperti biasanya.

Si mata belo atau Andra itu, sepintas di wajahnya nampak kaget karena pelanggan setia kafe ini mendadak kenal namanya sementara mereka sendiri belum pernah saling berkenalan kendati Andra sudah tahu nama Soraya karena posisinya sebagai seorang bertender.

Membaca serautnya itu, Soraya pun menjelaskan, “Si Theo yang ngasih tahu nama Mas Andra.”

Theo memicingkan mata tertarik sedikit kala namanya dibawa-bawa. Namun, sepertinya dia tidak begitu peduli dan tetap bersikap seolah itu bukan urusannya lagi.

“Mbak Aya nyari saya?” Andra jelas hapal nama-nama pelanggan setia kafe tempatnya kerja selain nama Soraya Saraswati yang belum pernah order minuman jenis kopi, suka duduk di bangku sama, dan bertemu orang yang sama pula.

Andra hapal sampao di luar kepala kebiasaan dari setiap pelanggan setia kafenya ini karena selalu memerhatikan mereka dari balik konter bar.

“Kemarin ke sini terus gak lihat Mas Andra yang biasanya jadi bertender. Terus yaudah deh, nanya sama si wajah baru.”

Lagi-lagi Theo memicingkan mata, kali ini rautnya diselingi tatapan heran karena seingatnya kemarin cewek ini lagaknya enggak peduli pas dikasih tahu alasan Andra tidak menampakkan hidung batangnya di kafe. Lalu sekarang dia sok-sokan pernah bertanya padanya.

Theo berdecih kemudian menimpali, “Ndra, kamu mesti tahu dia manggil kamu kek apa. Si mata belo. Mata belo, Ndra. Ma-ta-be-lo!”

Soraya spontan tertegun mendengar dedikasi Theo merapalkan julukannya si mata belo buat Andra. Si wajah baru ini terkesan cukup kritis bicara yang membuat Soraya lalu protes membela diri kalau Andra memang punya mata belo, julukannya tidak salah, dan bilang kalau dia manggil begitu karena belum tahu nama Andra sebelum kemarin. Terus menurutnya mata belo bukan berarti Andra jelek, sedang menurut Theo kalau Soraya emang belum kenal Andra harusnya mengajaknya berkenalan ketimbang memanggilnya si mata belo.

Andra bengong mendengar perdebatan dua orang yang baru saling kenal ini, sampai bingung jadi penengahnya.

Perdebatan itu baru diakhiri dengan pertanyaan Soraya yang sedikit tertarik sama identitas Theo ini, karena dari cara bicaranya dia jelas bukan berasal dari sini. “Mas Theo tuh, asalnya mana, sih?”

“Bumi.”

Jawaban Theo asal-asalan. Sedikit salah sedikitnya lagi benar karena dia kan, memang tinggal di planet bernama Bumi bukan Mars ataupun Venus.

Soraya mencibir jadi malas lanjut tanya lagi, lalu beralih merapalkan daftar pesanannya ke Andra yang mencatat semuanya di komputer. Setelah membayar dengan uang pas, Soraya kemudian pamit cuma ke Andra, ke Theo enggak soalnya telanjur malas orangnya agak nyebelin, sih.

Dan perasaan sebalnya makin bertambah saat bangku yang biasanya diduduki telah dikuasai oleh pelanggan lain. Mau enggak mau Soraya harus memilih tempat lain dan bangku yang kebetulan kosong posisinya agak berdekatan sama konter bar. Jadi pas mau duduk telinga Soraya langsung menangkap percakapan Andra sama Theo yang ternyata sedang ngomongin soal dirinya.

Kurang lebih Andra memberitahu Theo tentang Soraya yang merupakan pelanggan setia kafe selama tiga bulan ini, terus jelasin lagi statusnya sebagai seorang penulis. Yang direspon cepat Theo, “Ohh, dia penulis?” Sambil menarik sudut matanya ke arahnya dan tepat pada saat itu mata mereka saling bertemu.

Soraya nyaris ingin berlari untuk mencekik leher pemuda itu ketika Theo menyeringai dengan gaya menyebalkan yang mahir dia lakukan. Lalu melihatnya yang tiba-tiba berjalan keluar dari konter bar menuju bangkunya, Soraya tengah bersiap diri. Menyiapkan keduanya tangan untuk bertempur kalau-kalau Theo datang tujuannya untuk itu.

Theo asal mendaratkan pantatnya di kursi kosong di sebelah kiri Soraya kemudian menyeret benda itu hingga posisi mereka berdekatan. “Mau denger cerita menarik gak?”

“Hah?” Soraya mengerjap bingung. Rautnya pasti kelihat aneh setibanya Theo di bangkunya dan melontarkan pernyataan yang racu karena scenario di kepala Soraya bukan seperti ini. Dia sedikit membayangkan tragedi world war 3 di dalam kafe alih-alih tawaran sebuah cerita.

“Kamu kan penulis.”

Seingatnya pula dia belum pernah lupa identitasnya sebagai penulis. Terus gunanya apa Theo datang lalu mengingatkan siapa-dia-ini.

“Penulis pasti butuh asupan,” sambungnya.

“Terus?”

“Aku mau kamu menulis kisahku.”

Soraya masih belum mengertu. Maksudnya dia belum paham mengapa pemuda ini, si wajah baru, yang baru tiga hari kerja di Our Times Cafe dan baru mengenal dirinya ini tiba-tiba menghampiri bangkunya dan minta supaya Soraya menulis kisahnya? Enggak jelas.

“Mau dengar gak?” ujarnya sekali lagi.

Dia pengen nolak, tapi melihat kobaran api semangat yang berkelebatan di mata Theo mengurungkan niatnya. Sehingga anggukannya sebagai jawaban bahwa Soraya menerima tawarannya itu kendati belum mengerti apakah kisah yang diceritakannya ini akan dituliskan atau hanya sebuah kisah yang sekadar lewat di telinganya.

“Bentar-bentar,” seru Soraya menahan Theo bercerita. “Kamu kan lagi kerja, kok malah duduk di sini dan mau cerita?”

“Halah, peduli setan. Aku kenal bosnya!” Theo tak melihatkan wajah panik atau takut saat menyeret bosnya itu. Dia jelas masa bodoh jika si bos memergokinya bercengkrama dengan salah satu pelanggan kafe alih-alih kerja. Seolah membenarkan pernyataannya tadi bahwa dia memang kenal sama si pemilik kafe yang Soraya sendiri belum pernah bertemu orangnya.

“Dengerin,” katanya, “kalau bisa rekam biar gak lupa.”

“Rekam? Haha.”

Meskipun barusan ia tertawa meledeki permintaannya, tapi Soraya tetap mengeluarkan ponsel dan mengatur rekaman suara sekadar ingin menyenangkan si wajah baru ini. Lagi-lagi karena koparan api semangat di matanya itu. Theo pasti tipe orang yang serius dengan perkataannya.

“Enggak usah pakai lama. Buruan cerita,” ujarnya.

Theo nyengir lebar terlihat senang dengan atensi yang diterimanya ini. Sebelum dia mulai bercerita, pemuda ini menerawang ke dalam mata Soraya dengan percaya diri tanpa menyiratkan apa-apa. Hanya menatapnya lurus mengulik sosok di balik mata coklat bening itu tanpa punya maksud lain. Membuktikan bahwa dia sama sekali tak goyah sekalipun di depannya ini adalah perempuan cantik.

Yang membuat Soraya kemudian kagum akan sosok Theo ini. Orangnya berani menerima tantangan di hadapannya sehingga ia pun dengan seksama mendengarkan seluruh kisah yang dilontarkan lewat bibir tersebut. Soraya menyimaknya perlahan sebelum dirinya turut hanyut dalam kisah menariknya itu. Kadang ia bereaksi tertegun, kadang garis bibirnya berubah segaris, lalu kadang sekelebat rasa prihatin dan amarah terlihat di matanya.

Di luar dugaan Soraya, tanpa disangka dia tertarik dengan kisah pemuda ini. Theo yang tadinya terlihat menyebalkan dan aneh, kini terlihat berbeda di matanya. Semangat dan kejujurannya bercerita membuat Soraya makin percaya diri untuk mengagumi sosoknya. Nada bicaranya yang persuasif dan tidak dilebih-lebihkan ini memberi nilai tambahan kesan Soraya terhadap Theo. Apalagi ketika Theo dengan bangga menceritakan sosok gadis yang dicintainya.

Dalam kisahnya, Theo jatuh cinta pada seorang gadis, anak orang kaya raya. Mereka menjalin hubungan diam-diam tanpa sepengetahuan pihak dari keluarga si gadis yang jika mengetahui hubungan itu pasti akan menentang keras. Belum lagi di tempat tinggalnya tengah terjadi konflik krusial antara dua kaum: kaum rendahan dan kaum elit.

Soraya dibuat heran lantaran di jaman serba modern ini masih ada perbedaan kasta, sementara sejauh ini tempat tinggalnya aman-aman saja.

Permusuhan dua kaum tersebut muncul sejak keluarga dari gadis yang disukai Theo tinggal di kota kecilnya. Ayah pacarnya itu orang penting yang menduduki posisi tertinggi di kasta elit sekaligus perusak tatanan kehidupan masyarakat di kotanya dia tinggal. Dulu kaum rendahan dan elit berhubungan, tapi sekarang bermusuhan hingga terjadi konflik perebutan menguasai daerah tertentu.

Sebenarnya Theo seorang musisi dari klub musik kecil, dia merantau sesaat kemari hanya ingin mendapatkan pekerjaan tambahan dan kebetulan kenalannya si pemilik kafe menawarkan sebuah pekerjaan. Maka dari itu dia bisa ada di sini untuk sementara belaka. Theo ingin menikahi sang kekasih sehingga membutuhkan banyak uang, sebelum memberanikan diri menemui keluarga sang pacar yang kaya raya itu.

“Terus kenapa gak kerja di kantoran yang gajinya mungkin lebih gede,” potong Soraya tertarik dengan alasan Theo bekerja di kafe dengan gaji yang mungkin tak seberapa alih-alih melamar di perusahaan besar.

Theo nyengir memamerkan deretan putih giginya yang rapi sebelum mencodongkan tubuh ke Soraya. Di dekat daun telinganya, pemuda itu pun berbicara, “Aku ini mantan narapidana.” Refleks saja Soraya menoleh dengan mata yang tampaknya akan meloncat keluar dari lubangnya itu.

Apa yang barusan dia dengar? Narapidana, hah?

Samar-samar Soraya pun keingat sebuah berita TV yang memberitakan tentang penangkapan seorang buronan. Entah apa kasusnya dia lupa, hanya sekelabat gambar dan nama yang muncul diingatannya. Theodore. Jadi kemarin dia enggak salah mengira kalau pernah melihat wajah pemuda ini antara di koran dan TV.

“Mana ada perusahaan atau pabrik mau terima mantan tahanan,” sambungnya tetap bernada optimis. Seolah statusnya sebagai mantan narapidana bukan masalah pelik. “Jadi, kalau kamu tulis kisahku dan menerbitkannya jangan lupa kasih royalti. Aku butuh uang.”

“SIAPA JUGA YANG MAU NERBITIN?!” balasnya jadi sengsi mendengar kata terbit dan buku. Nerbitin dia bilang? Bukuku aja revisi terus!

“Santai, santai,” ujarnya. “Lagian gak perlu sekarang. Bisa kapan-kapan.”

In your dream!”

Theo spontan tertawa kencang.

“Kamu pasti jago ngarang. Yakali, jaman now masih ada pembedaan kasta rendahan dan elit. Emang ini jaman Romeo dan Juliet? Berarti film dong?”

Guraunya kemudian terendam. Theo kembali melemparkan tatapan serius terhadap Soraya. “What if I was Romeo and my juliet was my girlfriend?”

Soraya terhenyak. Sedikit ragu konflik hidupnya, tapi sepenuhnya percaya bahwa Theo serius dengan keinginannya menikahi kekasihnya itu dan kejujurannya sebagai mantan narapidana karena dia sendiri pernah melihat gambar Theo di TV.

Ketika Soraya ingin melontarkan pertanyaan baru, sosok Mbak Wendi tiba sehingga cerita The berhenti pada satu titik. Soraya memberitahu Theo kedatangan editornya dan si wajah baru yang mengaku dirinya sebagai Romeo dalam kisahnya ini segera minggat undur diri, ternyata orangnya cukup tahu diri. Theo bahkan meninggalkan sebuah pesan jika Soraya butuh informasi lebih tentang kisahnya, dia bisa menghubunginya lewat bantuan si pemilik kafe karena mulai minggu depan dia akan kembali ke kota asalnya.

Theo serius dengan kata-katanya butuh uang jika Soraya akan menerbitkan kisahnya. Dia mendengar obrolannya bersama Andra tadi sebelum disela Mbak Wendi yang tiba-tiba bertanya, “Kamu sama Mas Tian ada hubungan apa, sih?”

Deg!

Seketika garis bibir Soraya merapat dan ekspresi wajahnya itu berubah panik kalau-kalau ada sesuatu yang belum diketahuinya. Sesuatu yang membuat Wendi tiba-tiba menanyakan hubungannya dengan Tian.

Cieeeeee kena prank 🤸‍♀️ Hahaha maaf teman, harus mematahkan angan kalian di part sebelumnya. Let me introduce, my Romeo & Juliet version 🙆

Bisa jadi tayang April, bisa jadi tayang Mei hoho yang pasti bukan Theo jodohnya Aya. Theo jodohnya Aria 🤸‍♀️

Singkatnya part ini cuma sneak peak buat next lapak baru “Toodle-oo (Young Hearts Run Free)”. Aslinya mau brojolin lapak ini dulu ketimbang Hotsy-Totsy haha soalnya gemes juga sama si Theo. Bayangin aja si Theo tuh gabungan anak band (Cara) sama si Tobias (Samora) 🍃

Iya gais, ini konsepnya sama kayak Scenario >> Ugly Kim >> Hello, Lee >> Senorita >> Senior gituu. Jadi cameo di lapak tetangga sebagai pemanis doang, kayak si Theo. Kali aja nanti muncul easter egg lagi, soalnya ini project bakalan ada beberapa cerita lagi. Anyway penghubungnya tuh Our Times Cafe sama si Aya, penulis. 🦆

Khusus lapak ini Mas Tian gak muncul. Tunggu aja next chapter dan siap-siap dugun-dugun karena bakalan bikin salto 🤸‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top