👥 the three of us

Hayoo, gimana puasa kedua kalian nih?🙆

Ketiganya tak lama kemudian kembali setelah dua puluh menit bersenang-senang menaiki wahana air, banana boat, meninggalkan sepasang yang duduk berdampingan di bawah atap payung pantai. Senyuman tak pernah lepas dari wajah ketiganya ketika tiba menghampiri sepasang tersebut yang sebelumnya terlibat obrolan lumayan serius, kini terdiam tepat ketika menyadari bahwa mereka akan kembali.

Yang paling sering bercerita tentu saja itu Rara. Gesture tubuh dan rautnya menggambarkan sekali bagaimana perasaan perempuan itu yang kelewat bahagia bersama liburannya di pantai. Dia sampai memohon-mohon supaya keseruannya tetap berlanjut sampai semua orang lelah atau lebih tepatnya sampai Rara kecapekan sendiri karena sedari tadi dia kelihatan super excited, dan kelihatan seperti gadis kecil yang tak sabar ingin melanjutkan mini adventure-nya.

“Udahlah, Ra. Nanti kamu kecapekan.” Permintaan Tian bahkan dia abaikan seketika, ketika matanya itu berbinar-binar melihat sekelompok kecil menaiki wahana air, jet ski dan rolling donut. Rara begitu tertarik ingin mencoba. Dia pernah mencoba jet ski sebelumnya namun tetap ingin mencobanya lagi, sebelum naik rolling donut yang belum pernah dia coba.

“Ayo, Kael, naik itu!”

Noah yang baru menegak minuman dinginnya menoleh bingung. “Sekarang?”

“Iya. Kapan lagi? Mumpung di pantai.”

Noah menatap Tian meminta izin pada kakak iparnya. Dulu Noah pasti asal mengiyakan sekali anggukan, tapi semenjak kakaknya menikah sebelum mengiyakan permintaan kakaknya dia selalu melempar pandangan izin pada suami kakaknya itu. Tian mengiyakan selagi itu bisa menyenangkan Rara, hanya saja dia berpesan supaya mereka cukup menaiki jet ski.

Rara sempat cemberut, tapi berakhir saat Noah menyuruhnya siap-siap buat naik jet ski.

“Ayo, Aya, ikut!”

Soraya menggeleng.

“Kamu beneran cuma nonton gak mau have fun?” tanya Rara sedikit heran mengapa di jaman sekarang masih ada orang yang tidak tertarik sama pantai dan lautannya.

“Nggak dulu deh, Mbak.” Dia meringis kecil. “Oh, ya. Biar aku ambilin barang-barangnya di mobil. Kan setelah naik itu kalian harus mandi.”

“Biar aku bantuin,” kata Tian mengusulkan diri.

Bunga yang tentunya mengerti langsung melemparkan tatapan mata kaget pada Soraya. Matanya itu seolah melayangkan sebuah pertanyaan, “Ini seriusan gak apa-apa berdua?” yang langsung dibalas dengan anggukan samar dan jari simbol OK. Walaupun ragu, tapi Bunga tetap memercayai Soraya dan insting persahabatan mereka. Dia percaya kalau Soraya tidak akan goyah lagi sama perasaannya itu.

Akhirnya mereka pun berpisah lagi. Kelompok Noah melanjutkan keseruan mereka di pantai, pasangan Soraya dan Tian kembali bersama obrolan mereka yang sempat terpotong tadi. Kali ini mereka sambil jalan menuju parkiran mobil yang lokasinya cukup jauh itu.

Tian melirik Soraya yang tersenyum santai seperti senyumannya ketika mereka baru pertama kenal, saat-saat gadis itu belum mengetahui statusnya. Langkahnya tiba-tiba berhenti, membuatnya pun ikut berhenti di tempat. Tian mengernyit ketika Soraya maju beberapa langkah, berbalik dan berhenti di hadapannya, lalu mengulurkan tangan kanan ke depan.

“Mas Tian.”

“Hm?”

“Boleh pegang tangannya?”

Tian bergeming tak mengerti mengapa Soraya tiba-tiba bersikap aneh begini. Soraya seolah tak memedulikan ekspresi bingungnya ketika dia menarik tangan kiri Tian dan menyatukan ruas-ruas jari mereka dalam genggaman.

Gadis itu melemparkan senyum sopan sebelum mengajak Tian untuk kembali jalan namun kali ini dengan mereka saling bergandengan.

“Aya?”

Soraya menoleh. “Cuma sebentar, Mas.” Tangan kecilnya meremas erat tangan Tian yang ukurannya jauh lebih besar ketimbang miliknya. Dia terus mengandengnya dengan santai dan tak memberi Tian alasan yang masuk akal karena sikapnya yang terkesan tiba-tiba dan aneh ini, bahkan setelah mereka sampai di parkiran mobil Soraya tetap mengenggam tangannya.

Entah bagaimana Tian merasa kurang nyaman dengan sikap Soraya yang begini. Dulu mungkin dia berharap dapat mengandengnya sekali punya kesempatan, tapi sekarang keinginannya itu campur aduk, tak jelas dengan apa yang sebenarnya dia inginkan dari perasaannya dan gadis muda ini.

“Mas Tian,” dia berhenti melangkah demikian Tian mengikutinya, “setelah saya pikir, keputusan buat kita gak bertemu dan saling bicara itu omong kosong.”

Tian mengangkat alisnya bingung.

“Mau seberapa keras usaha kita buat gak saling bertemu dan bicara, orang-orang di sekitar kita selalu memaksa supaya kita terlibat dalam situasi sama. Itu karena mereka belum tahu yang terjadi antara saya dan Mas Tian.” Dia menarik genggaman itu ke depan, menunjukkan bagaimana kedua tangan itu terlihat serasi saat bergandengan. Tian merasa kurang beruntung karena tidak pernah memanfaatkan kesempatannua untuk mengandengnya. “Dan seperti ucapan saya dulu, semenjak mengenal Mas Tian dunia rasanya sempit karena di mana pun saya berada pasti ujung-ujungnya ketemu Mas Tian.”

Tian lalu terhenyak diam. Ingatannya kembali pada satu momen pertemuannya bersama Soraya di sebuah mini market

“Mas Tian harus bilang berapa kali coba supaya kita saling menghindar? Lalu akhirnya masih tetap sama, kan? Ditambah sekarang, saya temenan sama Noah. Itu artinya kita gak bisa saling menghindar lagi.”

Mata Tian tetap lurus mengarah pada tangan mereka. Sekarang dia bisa merasakan betapa kecilnya tangan Soraya dalam genggamannya.

“Kenapa kita enggak nyoba sesuatu yang lain saja?” ucapnya sambil maju selangkah dan berdiri di depannya lagi. Menarik mata itu untuk beralih mengawasi gerak-geriknya. “Mas Tian jatuh cinta sama saya, saya juga jatuh cinta sama Mas Tian—mungkin Mas Tian udah tahu ini tanpa perlu saya beritahu. Meskipun kita sama-sama jatuh cinta, saya nggak mungkin jadi cewek simpanan Mas Tian dan Mas Tian juga gak mungkin mau punya selingkuhan.”

Tian belum menyahut, tetap menyimak apa hal yang ingin disampaikan Soraya padanya.

“Gak jauh beda dari perkataan Mas Tian dulu.” Perkataannya di dalam mobil sebelum mereka berciuman. Soraya bahkan masih ingat detail-detail kecilnya pada malam itu yang nyaris membuatnya tak bisa tidur nyenyak selama beberapa minggu, mungkin sampai detik ini. “Kalau boleh jujur, sekarang aja saya gandeng tangan Mas Tian rasanya mau mati. Haha. Gimana mau jadi selingkuhan orang kalau baru gandeng sekali aja rasanya kayak diburu FBI di belakang. Deg degan parah! Tapi Mas tau gak, kalau rasa takut sekarang lebih parah dari ketika Mas Tian nyium saya.”

Ketika Tian ingin menimpali ucapannya, Soraya tiba-tiba melemparkan senyum lebar sampai ke mata padanya. Dan senyumannya inilah yang awal dari segala kekacauan perasaan Tian terhadapnya.

“Mas Tian itu cinta pertama saya. Jadi, kalau disuruh lupain bakalan butuh waktu lama. Saya butuh protes buat itu.” Perasaan Tian kembali campur aduk atas pengakuannya. “Saya masih suka Mas Tian itu faktanya dan saya belum menemukan cinta kedua saya makanya masih suka Mas Tian.”

Entah mengapa dia ingin tersenyum sekarang. Bukan karena pengakuan Soraya tentang perasaannya kepada Tian, melainkan keluguan gadis muda ini yang berbicara begitu blak-blakan apa adanya. Kali ini Tian percaya bahwa gadis yang mengandeng, berdiri di hadapannnya, dan selalu tersenyum ini adalah Soraya Saraswati.

“Yang ingin saya sampaikan sekarang ini,” Soraya menarik napas, lalu mengembuskannya dalam satu tarikan sambil menatap lurus ke mata pria yang menjulang tinggi di depannya itu, “ketimbang jadi orang asing gak saling kenal. Kenapa kita gak jadi teman aja? Terlepas bagaimana perasaan saya dan Mas Tian saling terhubung, mungkin dengan jadi teman kita bisa saling menerima keadaan.”

Tian melunak dan sekarang jadi paham ke mana arah pikir Soraya yang pasti dia pikirkan matang-matang.

“Kalau jadi teman kita gak perlu mogok bicara, gak perlu saling menghindar, gak perlu—pokoknya gak perlu ngelakuin apa pun yang bikin kita gak nyaman kalau ketemu.”

“Teman juga bisa jadi musuh, lho,” ujarnya.

Soraya sempat bungkam, lalu mengeleng tak setuju. “Kita baru mau jadi teman, Mas Tian. Masa langsung jadi musuh. Gimana, sih?”

Tian barulah tertawa setelah dari tadi dia hanya menyimak mendengarnya berbicara banyak. Soraya cemberut sambil melepaskan gandengannya.

“Ya udah deh, kalau Mas Tian gak mau. Biar saya aja yang temanan sama orang lain, biar Mas Tian terus aja jatuh cinta sama saya!”

“Lho? Aya, saya bukannya gak mau.”

“Lalu?”

Tian berdehem mencoba menahan tawanya sesaat. Namun, ketika dia melihat ekspresi Soraya yang tampak lucu ketika cemburut memaksanya lagi untuk tergelak oleh tawanya. Soraya menyipitkan mata aneh memandangi si orang tua yang malah keasyikan tertawa di saat dia ingin mengajaknya serius bicara.

“Mas Tian!”

“Iya, iya, maaf,” balasnya sedang mencoba menahan tawanya lagi. “Kamu kok bisa jujur banget jadi orang?”

“Emang ada yang salah jadi orang jujur?”

Tian menggeleng. Enggak ada salah, cuma terkadang orang-orang sulit menyampaikan kejujurannya jika itu menyangkut perasaannya. Lebih seringnya mereka akan mencoba untuk berbohong supaya terlihat bahwa mereka baik-baik saja. Sementara Soraya barusan mengatakannya dengan santai tanpa canggung atau merasa tak nyaman sedikitpun kepadanya. Dia menyampaikannya seperti anak kecil sedang menjelaskan mainan barunya ke semua semua temannya.

Soraya mendesah. “Kalau terus-terusan saya pendam, yang ada nanti saya overthinking. Nah, sebelum saya depresi parah karena masalah cinta dan mumpung punya kesempatan, saya sampaikan saja ketimbang ditunda-tunda.”

“Begitulah gunanya pikiran.” Tian balas tersenyum. Sedikit lega mendengarnya, sedikit lagi kecewa. Barangkali Soraya berpikiran sama seperti dirinya. Tapi Tian harus tetap bersikap dewasa karena tidak mungkin dia yang menyerah pada kesempatan yang ditawarkan Soraya padanya.

Jadi teman, apa sulitnya?

Tian mengacak kepala Soraya sebelum mengulurkan tangan sebagai jabatan persetujuan antara sepasang yang diam-diam saling jatuh cinta, tapi keadaan tak bisa memaksanya untuk bersama. “Oke!”

Soraya yang terharu senang langsung menerima jabatan tangannya dengan semangat yang tak bisa dikendalikan. “Jadi teman.”

Dan itu adalah awal dari pertemanan mereka.

🌶 hotsy-tosty 🌶

“Gimana, Mas?”

Tian tak berpaling dari layar laptopnya walau sekarang Rara sudah ikut naik ke ranjang dan duduk di sampingnya. Karena suaminya itu tak meresponnya, Rara terpaksa menarik celana training Tian sehingga perhatiannya itu segera berpaling kepadanya.

“Jadi gimana?” tanyanya selagi lagi ketika mata mereka bertemu. “Mas Tian udah nemu orangnya?”

Tian melepaskan kaca mata baca seiring helaan napasnya yang lumayan panjang dan terkesan berat. “Ra, permintaanmu kamu itu aneh.”

“Aneh bagian mana?” Suara Rara terdengar sedikit meninggi. “Mas, ini udah dua tahun dan aku udah sabar menunggu berita dari Mas Tian. Mas Tian dulu juga udah setuju sama permintaanku. Terus kenapa sekarang bilang aneh? Mas Tian lupa ya, kalau—”

“Bukannya lupa. Cuma permintaanmu itu gak wajar.”

“BAGIAN MANA YANG GAK WAJAR, MAS?!” Sekelabat api kemarahan itu terlintas di matanya yang kini mulai berkaca-kaca penuh emosional. Tian terkesiap melihat situasinya sehingga dia menyingkirkan laptop dari pangkuan dan bersiap untuk menenangkan istrinya jika dalam kondisi begini, tapi Rara justru menjauhinya. “Aku cuma mau keluargaku lengkap, Mas. Aku mau Dannis itu doang, gak lebih dan gak aneh-aneh.”

“Ra, kamu lagi kecapekan.”

Rara tak menggubrisnya. Dia justru bergegas turun dari kasur alih-alih mendengarkan sang suami yang sedang berusaha membujuk dirinya.

Tian menyusulnya cepat sebelum Rara pergi atau menjauhinya. Berusaha menarik tubuh lelahnya itu setelah seharian menaiki wahana air ke dalam dekapannya, tapi rasanya justru Tian yang kelelahan karena nyatanya Rara sanggup mendorong Tian dan lepas dari dekapannya.

Rara memberinya tatapan penuh emosi yang sangat Tian benci. Dia benci tatapannya. Selama dua tahun ini dia berusaha untuk menghindari tatapan itu dari Rara. Dia selalu berusaha membuat istrinya lupa dengan permintaan anehnya itu dan bahkan berusaha supaya istrinya segera melupakan Dannis—nama putra mereka yang meninggal sebelum sempat lahir ke Bumi. Jika Rara telah menyeret nama Dannis dalam percakapan mereka itu tandanya sang istri benar-benar kelelahan sehingga pikirannya akan mudah teringat lagi pada sang almarhum anak dan permintaannya dua tahun lalu setelah dokter menyatakan bahwa dia mengalami keguguran.

“Ra, kamu istirahat dulu, ya? Besok kita obrolin lagi.”

Rara menggeleng keras sambil tetap memandangnya serupa yang amat Tian benci itu. Tidak banyak orang yang tahu bagaimana emosi Rara yang sering berubah-ubah semenjak kehilangan anak dalam kandungannya dua tahun lalu. Peristiwa yang kemudian memperondak mentalnya sebagai seorang wanita, istri, dan calon ibu. Rara terjebak pada impiannya menjadi seorang ibu, itulah mengapa dia selalu menyebut “keluargaku” alih-alih “keluarga kita” seakan tidak ada nama Tian di dalam keluarga impiannya itu, melainkan hanya ada Rara dan Dannis.

Harusnya Rara mulai bisa merelakan kepergian putranya andaikan pertemanan dan orang-orang sekitar dapat menerima keadaannya alih-alih melontarkan pertanyaan tak masuk akal dan tudingan yang justru membuat Rara merasa bersalah atas kematian Dannis dalam kandungannya. Inilah alasan mengapa Rara memutuskan tinggal di rumah orang tuanya ketimbang rumah mereka sendiri dan keputusannya pula untuk sibuk bekerja ketimbang mengurus rumah tangganya bersama Tian.

Tian memaklumi bagaimana perubahan yang terjadi pada istrinya itu setelah kehilangan Dannis, yang tidak bisa dia mengerti hanyalah permintaan Rara yang memaksanya supaya mencari ibu pengganti. Terkesan seolah Rara tidak mempercayai Tian sebagai suaminya dan menolak percaya bahwa dengan mereka terus berusaha akan tiba saatnya nanti muncul Dannis kedua. Mungkin mereka telah berusaha pada awal setelah peristiwa menyakitkan yang melibatkan keluarganya. Tapi lama-kelamaan usaha itu mulai hanyut pada permintaan aneh Rara, bahkan sekarang pun terhitung sudah berapa sering mereka berhubungan suami istri Rara selalu meminta supaya Tian tetap memakai alat pengaman.

Rara menolak hamil. Atau lebih tepatnya, Rara takut hamil dan kehilangan Dannis dalam kandungannya lagi meskipun dia sangat berharap memiliki Dannis kedua. Tian yang tak bisa menolak permintaannya hanya menuruti apa pun keputusan istrinya tersebut. Tian juga merasakan duka semenjak kehilangan Dannis, dia ayah Dannis jelas terpukul atas meninggalnya sang anak, tapi bagi Rara rasa kehilangan Tian tak sebesar miliknya yang selama 8 bulan telah mengandung Dannis di dalam perutnya.

Pada dasarnya, Rara lebih membutuhkan Dannis ketimbang Tian, suaminya.

Rara berbalik keluar dari kamar, meninggalkan Tian yang bergeming menyusulnya dan hanya mengusak surainya frustasi. Dia mengenal Rara sangat baik kalau Tian lari mengejarnya, istrinya itu akan memberontak dan situasi mereka bukannya makin baik malah makin kacau di saat emosi Rara sedang tak stabil. Yang dipikirkan Rara sekarang hanyalah Dannis dan permintaannya, Tian bukan apa-apa dibandingkan dua hal itu.

Noah yang kebetulan masih terjaga malam itu dan berkeliaran di dapur langsung berpaling ke arah tangga ketika menemukan kakaknya turun dengan mata sembab dan wajah kacau yang bisa dia mengerti penyebabnya, Dannis. PDia mengerti situasi kakaknya itu jika sudah terlibat perdebatan dengan suaminya. Bukan cuma Noah, bahkan semua keluarga pun tahu dengan permintaan kakaknya itu terhadap sang suami yang jelas menurut orang tua mereka itu tidak masuk akal di saat Rara masih bisa memiliki anak lagi jika terus berusaha. Tapi saudaranya itu tetap bersikeras kalau dia tidak akan bisa hamil.

“Mbak Rara mau kopi?” Noah sekadar basa-basi belaka supaya dapat menarik atensi Rara yang kelihatan ingin menyeburkan api ke sembarangan tempat.

Rara berhenti lalu menoleh. “Kamu belum tidur?” tanyanya sempat kaget menemukan Noah belum tidur di jam segini, padahal biasanya dia tidur lebih cepat dari biasanya.

“Hehe. Belum. Ada yang masih ngajakin chating.”

Chating.

Rara yang tertarik dan seketika lupa sama masalahnya langsung mendekati Noah. “Kamu sama Aya gimana?”

“Hah?” Noah mengernyit bingung. “Aya?”

Rara mengangguk. Lalu dengan cepat Noah memahami kesalahpahaman sang kakak. Dia pun tertawa. “Aku gak suka Aya, Mbak.”

“Gak suka gimana?”

“Ya, gak suka.”

“Aya kan cantik, masa kamu gak suka dia, sih? Terus anaknya juga lucu, unik, dan kalau ngomong suka blak-blakan gitu persis kayak kamu.”

“Justru itu yang kelihatan mirip aku gak suka,” jelasnya. “Aku suka Bunga bukan sama Aya.”

Rara sampai mengerjap beberapa kali sambil memastikan bahwa dia tidak salah mendengar pernyataan sang adik. “Berarti kamu sukanya Bunga bukan Aya?”

“Iya, aku suka Bunga,” ujarnya. “Mungkin kalau Aya, Mbak Rara bisa tanya Mas Tian.”

“Maksudnya?”

Noah spontan tersentak setelah menyadari ucapannya sendiri. Dia hanya memandangi seraut bingung kakaknya itu sebelum kabur ke kamar ketimbang menerima beragam pertanyaan dari Rara.

Aku lupa mau update jam lima tadi hahaha gapapalah update skrg 🤸‍♂️

Btw kasihan deh, kenapa tipu 😂 ceritanya masih panjang gaissssss hahaha terus mulai dibabak ini nanti mari kita ke sudut pandang Rara (sedikit) selebihnya Tian-Aya-Andra 🙆

Btw sebelum kalian terheran-heran, sebetulnya org yang kayak Rara itu beneran ada. Takut hamil lagi setelah keguguran, lebih tepatnya trauma gitu. 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top