💔 so ...

Nih, double update. Hati-hati 👀


Setelah mobil berhenti di sudut taman kompleks tak jauh dari rumah Soraya, keduanya tetap diam selama lima belas menit. Hanya suara mesin mobil yang menyala mengisi sunyi di dalam kendaraan tersebut. Keduanya telanjur sibuk dengan pikiran masing-masing. Sibuk menyusun kata demi kata, sementara waktu mereka tak banyak untuk mengobrol. Ini tengah malam dan Soraya diam-diam telah menyelinap keluar bersama suami orang. Kalau orang tuanya sampai tahu, tamat sudah riwayatnya.

Soraya mendesah. Jika situasinya tetap sama begini tanpa ada yang bicara, sampai pagi pun mereka akan tetap diam-diaman. Akhirnya dia putuskan untuk yang pertama mengawali obrolannya. “Mas Tian kalau mau ngomong, ngomong aja.”

Tian belum terlihat akan menyahut. Soraya mendesah lagi, lalu menoleh belakang dan menemukan buku-bukunya tetap di tempat sama. Tangan kanannya segera meraih paper bag berisi buku-bukunya bertepat sama ucapan pria sebelahnya.

“Kamu bisa jangan deket-deket Rara lagi?”

“Hah?” Dia mendengar apa yang dikatakan barusan itu, hanya saja Soraya belum begitu paham. “Maksudnya?”

Tian kemudian berbalik menatap Soraya yang berekspresi bingung itu. “Jangan deket-deket Rara lagi.”

“Kok nyuruhnya ke saya? Harusnya Mas Tian yang nyuruh Mbak Rara buat jangan deket-deket saya lagi.”

“Yang ada Rara bakalan curiga.”

Spontan dia berdecak tak senang mendengar ucapannya itu. “Apanya yang perlu dicurigain? Toh, kita enggak ada hubungan apa-apa. Emang cuma sebatas penulis dan korektor, kan? Lagian Mas Tian bisa kok, jelek-jelekin saya di depan Mbak Rara biar dia ngejauhin saya sendiri. Jangan malah nyuruh saya yang ngejauhin Mbak Rara. Emang Mbak Rara salah apa?”

“Aya.”

“Mas Tian, ngertiin dong. Saya deket Mbak Rara juga karena kebetulan bukan karena saya sengaja mau dekat sama dia.”

“Tapi kalau kamu deket sama Rara terus, saya enggak bisa.”

“Enggak bisa apa?” tanya Soraya dengan suara provokatif yang menantang Tian buat bicara jujur padanya. Tentang apa pun itu. Soraya siap mendengar dan menerimanya karena dia ingin perasaannya ke Tian selesai pada malam ini. “Kenapa diam? Ayo, saya mau denger. Biasanya Mas Tian kan pinter omong.”

Tian mungkin kaget karena belum pernah melihat Soraya yang seperti ini. Suara dan ekspresinya itu serupa, sama-sama bersifat provokatif.

“Saya enggak bisa, Aya. Enggak bisa lihat kalian akur. Kedekatan kalian bikin saya selalu merasa bersalah.”

“Jadi, Mas Tian suruh saya ngejauhi Mbak Rara biar Mas Tian enggak merasa bersalah, gitu?” Soraya mendengus pendek. “Ya udahlah. Ketimbang repot mending Mas Tian awasi aja pertemanan Mbak Rara. Mas kan suaminya, jadi harusnya Mas Tian bisa atur si Mbak Rara.”

“Enggak bisa, Aya. Rara udah nganggap kamu kayaknya adik.”

Lagi, dia mendengus. “Sama dong. Kalau gitu saya udah nganggap Mbak Rara teman dekat.”

Tian menggertakkan gigi upayanya menahan diri supaya tak meledak setiap dengar balasan Soraya yang sama-sama ngotot seperti dirinya. Obrolan pertama mereka yang menyeret nama Rara pun berhenti pada titik tersebut tanpa akhir yang memuaskan. Menyisahkan0 sebuah lubang tanpa penutup. Baik Soraya maupun Tian, mereka lalu melupakan topik pertama dan beralih kembali dengan pikiran masing-masing.

Soraya yang masih dongkol karena disuruh buat menjauhi Rara alih-alih Tian menyuruh istrinya itu supaya menjauhinya, terus menggerutu dan tak sedikit pula dia melirik marah Tian.

“Seenggaknya kamu bisa nolak ajakan Rara kalau ketemu dia.”

Soraya terhenyak seketika dia geram atas ucapannya. “Bisa enggak, Mas Tian jangan nyuruh saya buat ini itu di saat saya udah berusaha buat ngelakuinnya. Saya sering nolak, tapi istri Mas yang terus maksa saya.”

“Kamu bisa aja—”

“Mas Tian kalau obrolan ini cuma buat bahas Mbak Rara, udahlah. Mendingan saya pulang ke rumah.”

“Aya.”

“Udah, Mas. Saya nggak mau bahas lagi!” tandasnya sambil mencengkram pintu mobil. Soraya baru akan mendorong pintu itu keluar, tapi gagal karena sistem kuncinya dibuat otomatis yang hanya bisa dibuka dari tempat Tian. Soraya berbalik marah menghadap Tian yang sepertinya terlihat puas berhasil menyabotase aksesnya.

“Kita belum selesai bicara.” Tian menimpali lebih cepat dari Soraya yang baru akan membuka mulutnya itu. “Saya enggak bisa melihat kalian akur karena Rara istriku, dan kamu, perempuan baru yang membuat saya jatuh cinta lagi.”

Bibir Soraya kembali mengatup rapat. Pernyataan terakhirnya kendati dia pernah mendengarnya pada malam berbeda, entah bagaimana Soraya tetap terkesiap acapkali mendengarnya lagi, dan kali ini dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri bibir itu bicara langsung di depannya. Soraya bergeming tak ada kata keluar dari bibirnya yang dibuat bungkam oleh ungkapannya.

Tian yang mengamati ekspresinya melunak segera meraih tangan Soraya. Mengenggam tangan itu dalam dekapan kedua tangannya. “Saya nggak mau menyakiti siapa-siapa, Aya. Entah itu kamu atau Rara,” ujarnya sambil mengunci mata coklatnya dan menerawang jauh ke dalam sosoknya yang terlihat rapuh ketika itu berhubungan sama dirinya. Tian telah mencoba memahami Soraya sebisanya, terlebih waktu sore tadi dia melihat gadis ini hampir menangis karena dirinya, yang membuatnya jadi terus kepikiran.

“Saya jatuh cinta di situasi dan waktu yang salah. Harusnya saya bisa lebih mengontrol diri waktu itu,” Tian makin meremas kedua tangannya berharap Soraya dapat memahami perasaannya saat ini, “harusnya saya menjaga jarak dari penulis. Harusnya saya enggak perlu datang nemuin kamu dulu.”

Soraya tetap bergeming membisu. Hanya tatapan matanya yang berbicara mewakilkan dirinya, dan menyimak seluruh penyesalan Tian atas perasaan yang dimilikinya terhadap penulisnya ini.

“Kalaupun kita saling menyukai, kita juga gak mungkin menjalin hubungan.” Tian menarik napas lalu menghempaskan dalam satu tarikan panjang. “Saya nggak bisa jadiin kamu sebagai pasanganku. Kamu pun pasti enggak sudi jadi yang kedua. Kita sama-sama tahu kalau perasaan ini gak bisa buat sampai ke sana.”

Soraya paham tentang itu. Dia hanya masih belum siap menerima kenyataannya bahwa perasaan mereka tidak akan pernah sampai ke sana. Perasaan itu hanya cukup sampai di sini.

Tian mengulurkan tangan kanannya ke udara, lalu berhenti di depan wajah Soraya yang kini dia gapai dalam sentuhannya. Ibu jari Tian perlahan bergerak dengan lembut di pipi Soraya guna mengusap bulir air matanya yang jatuh itu.

“Mbak Aya kan, masih muda. Masih bisa buat jatuh cinta sama cowok lain,” ujarnya mencoba menghibur remaja akhir ini yang tengah menangis patah hati. Mereka sama patah hatinya, tapi Tian cukup hebat buat menahan diri untuk tidak terlihat cengeng atau lemah di depan gadis muda ini.

Soraya mulai sedikit terhibur tersenyum tipis sambil lalu mengangguk kecil.

“Di luar pun pasti banyak cowok yang naksir, Mbak Aya.” Soraya hanya mengangguk bisu. Tian yang lega dengan reaksinya itu melontarkan senyum hangat. “Dan saya salah satunya yang suka Mbak Aya, tapi saya nggak seberuntung cowok lain.”

Soraya mengangkat wajahnya. “Besok lagi usahakan tanya cowok yang deketin udah punya pasangan atau belum.”

“Hahaha.”

Gelaknya pun timbul. Terdengar menyenangkan namun sekaligus menyakitkan. Tian berharap masih dapat mendengar suara tawanya ini. Dia pasti akan merindukannya.

Mereka kemudian saling diam, saling bertukar pandang, dan saling berharap bahwa momen pendek kebersamaan mereka dapat abadi di dalam kenangan di suatu sudut tersembunyi yang tidak akan bisa dijangkau oleh pihak lain.

Ibu jarinya berhenti pada satu kesempatan genting di pipinya. Tian merekam seraut yang akan dirindukannya nanti dan semua ragam ekspresinya yang selalu tak bosan membuatnya berdecak kagum. Soraya pun tak jauh beda dari Tian, merekam seluruh gambaran wajahnya ke dalam memori jangka panjangnya. Dengan begini ketika Soraya merindukan eksistensi cinta pertamanya yang gagal, citra pria ini akan muncul dengan sendirinya.

I love you, Aya.” Kata-kata yang dia ucapkan untuk terakhir kalinya. Dan sebuah kata yang akan terkenang dalam memori Soraya.

Lalu dalam sekejap jarak wajah mereka terpangkas cukup dekat. Soraya bergeming seolah telah menunggu momen ini cukup lama, diam-diam berharap kesempatan ini bukanlah mimpi.

Mereka tahu tindakan berikutnya adalah suatu kesalahan fatal, sama seperti apa yang terjadi pada perasaan mereka. Namun kali ini, baik Soraya maupun Tian, keduanya sama-sama tak peduli, dan tetap memangkas jarak dengan perasaan menggebu-ebu. Jarak pandang itu kian dekat hingga kemudian bibir Tian mencium bibir Soraya.

Soraya memejamkan mata kala Tian melumat bibirnya dalam tempo cepat. Tak ada banyak waktu yang tersisa sehingga Tian ingin menyelesaikan semuanya dalam sekejap kendati  rasanya enggan untuk berpisah. Bibir Soraya sangat lembut, penuh, dan kenyal sesuai dugaannya. Tian merengkuh pinggangnya, menarik tubuh itu agar sedikit mendekat kepadanya yang telah mencodongkan badan sepenuhnya ke bangku Soraya.

Ciuman ini salah, tapi tetap mereka lakukan dengan sadar. Soraya tak bisa menolak bahkan tak peduli setan dengan sisi baiknya yang terus berusaha menegur dirinya, Tian jauh lebih buruk tak bisa menahan desakannya ini. Hanya ini yang mereka butuhkan malam ini sebagai bentuk dari perpisahaan.

Sebuah tragedi hati, ciuman fatal yang sekaligus ciuman pertama dan perpisahaannya. Soraya tak menyesal hanya untuk sekali ini saja.


.
.
.
.

NEXT MONTH LATER ....

HUAHAHAHAHAHA 🤸‍♀️🤣🤣🤣🤣🤣🤣

PART TERAKHIR JAHAT BANGET 🤣🤣🤣🤣

Sebenarnya bisa aja kubuat mereka jahat, tapi aku gak suka perselingkuhan gimana dong? 🤣🤣🤣🤣🤸‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top