🥀 siapa yang ngasih?

📍hotsy-totsy
adjective [hot-see-tot-see]
about as right as can be; perfect •

“MBAK WEN, MBAK WEN GAWAT, MBAK WEN ....!”

Cowok setengah kemayu dengan kemeja batik coklat tua dan rambut super klimis pendek setengah pirang itu lari terbirit-birit, dan asal nyelonong masuk ke ruangan Divisi Editorial Sastra tanpa salam. Tingkahnya enggak sopan banget, tapi ini si Putra biang kerok perusahaan—cowok setengah cewek yang ngaku namanya Putri alih-alih Putra Savian Singgih.

Tiga kepala karyawan Divisi Editorial Sastra yang tadi fokus menatap layar laptop di meja masing-masing, terpaksa mendongak berkat gangguan di siang bolong. Kirain ada apa dan siapa tahunya si angin ribut. Ketiganya lalu kompak melongos dan mengabaikan jeritan Putra yang menggema.

“Mbak Wen, jangan budek dong!” Putra tiba di meja kerja Mbak Wendi, lalu menarik earphone di telinga kirinya. Membuat perempuan berusia 26 tahun itu mendongak penasaran.

Putra mengatur napas dilebih-lebihkan dengan kesepuluh jari lentik yang rutin dirawat ke salon itu, mengipasi wajahnya yang aslinya lumayan tampan. Astaga, AC di ruangan ini tuh, udah paling kecil berhari-hari dan hawanya udah kayak tinggal di dalam freezer. Suka bikin Wendi kedinginan hampir setiap hari sehingga ia terpaksa bekerja pakai kaus kaki dobel sama jaket tebal—kadang-kadang doang pas lagi kumat enggak tahan AC.

“Incess, napa lagi?” Seperti Wendi yang lebih nyaman bila dipanggil “Mbak Wen”, Putra pun selain suka ngaku namanya Putri, dia juga paling happy dipanggil incess sama orang dekat yang mau menerima dirinya sebagai teman apa adanya.

Putra mendengkus keki saat dirinya sendiri hampir lupa menyampaikan informasi super genting menurut perkamusan Athena Pubslisher. Cowok setengah gemulai itu menarik kursi sebelah yang kebetulan kosong, sedangkan pemilik asli lagi cuti hamil, menyeretnya, lalu duduk bersebrangan sama Wendi yang masih menunggunya bicara.

“Mbak Wen, gawat super bangeeet!” katanya berlebihan. “Novel penulisnya Mbak Wen bukti lepasnya dipegang sama Mas Ian.”

“Novel yang mana?” Bulan ini Wendi memegang tiga novel dan dua novel bukti lepasnya telah diserahkan ke bagian korektor untuk dikoreksi sebelum diserahkan ke bagian percetakkan.

“Ihh, itu lho, yang penulisnya rambut panjang bergelombang alami.”

“Dua-duanya rambut panjang.”

“Yang ceritanya booming di Tok Tok tentang perselingkuhan. Apa, ya, judulnya ....” Putra bertukat keras sama isi kepalanya, mencoba mengingat judul bacaan romance yang masih viral di Tok Tok. Dia baru akan mengingat ketika Wendi menyebutkan judul sama penulisnya.

Heart A Mess karya Soraya?”

“NAHH, SI DIA!” Putra ngasal menyebutnya “si dia” padahal akrab juga enggak. Lalu nyengir dan panik lagi dalam sekejap keingat sama kegentingannya. “Bukti lepasnya dipegang Mas Ian. Aku lihat sendiri pakai mata kepalaku,” ujarnya sambil menunjuk sepasang matanya dengan dua jarinya.

“Hah? Kok bisa?” Wendi tanpa sadar berdiri, panik jadinya memikirkan nasib bukti lepas penulis barunya. Kalau yang dipegang buku penulis Mulan Arwara, dia masih bisa santai bukti lepasnya dipegang Tian karena penulisnya ini telah menerbitkan karya lumayan banyak, buku terbarunya yang akan terbit bulan depan merupakan karya ke duabelasnya.

Sementara Soraya hanyalah penulis yang baru akan menerbitkan karya pertamanya di Athena Publisher. Biarpun nama pena “Saya” telah punya nama dan diikutin ratusan ribu orang, tapi baginya Soraya tetaplah penulis baru. Dan sudah semestinya Wendi buat panik akan nasib karya pertama penulisnya ini.

Kok bisa bukti lepasnya sampai dipegang Sebastian, sih?

Sebastian Fernando dulunya bagian dari Divisi Editorial Sastra selama 2,5 tahun—dulunya dia senior Wendi—sebelum pindah ke bagian Divisi Korektor yang masih berada di bawah pengawasan editor. Jabatannya turun pangkat atas kemauannya sendiri semenjak cowok berpostur tinggi dengan badan super kekar yang kadang bikin Putra lupa diri dan jadi kayak cacing kepanasan didekatnya, sibuk dengan pekerjaan sampingannya yang mereka sendiri kurang tahu apa, cuma manajer dan kepala perusahaan yang tahu.

Yang dicemaskan Wendi dari Sebastian atau biasa dipanggil Tian itu komentar-komentarnya. Tian orangnya cenderung bawel, suka bikin penulis pusing tujuh keliling jika karyanya sudah di-handle sama dia. Terus matanya itu lho, jeli dan detail banget sama kesalahan kecil.

Wendi enggak bisa balik fokus kerja kalau begini. Dia harus segera merebut bukti lepas karya Soraya sebelum Tian memeriksanya. Bisa gawat!

“Mbak Wendi.”

Belum lama dia akan melangkah, panggilan dari suara bariton itu menyetopnya di tempat masih bersama Putra yang mengekor seperti itik. Sebelum tiba-tiba cowok di belakangnya ini bergerak di depan Wendi dengan suara batuk dibuat-buat, upayanya untuk mengatur teknik vokalnya ketika tahu siapa yang akan muncul.

Tian datang tanpa diundang. Dengan setumpuk dokumen di tangan kirinya atau biasa mereka sebut bukti lepas. Tian melewati Putra yang niatnya mau menyapa, eh, malah dicuekin. Bikin bibir cowok setengah kemayu itu manyun dan mendengkus, lalu berbalik menatap Tian yang kini berdiri di depan Mbak Wendi.

“Bukannya saya meragukan jobdesk-nya Mbak Wen.” Muka Wendi sudah kelihatan masam, bahkan sebelum Tian bilang apa-apa dia sudah merasa ditusuk dari depan. Terus terang saja,  omongannya ini terkesan bahwa kinerja Wendi sebagai editor kurang memuaskan. “Tapi naskah penulis yang Mbak Wen pegang kali ini banyak kesalahannya.”

Wendi menatap bukti lepas yang disodorkan padanya. Dia segera merebut dan membuka per lembar dokumen dengan mata yang perlahan membelalak.

“Mas Tian enggak lupa kalau ini fiksi bukan non-fiksi ‘kan?” Wendi yang sekadar editor aja jadi sesak napas lihat coretan hampir di semua halaman ada, apalagi nanti penulisnya si Soraya pasti bakalan semaput.

Tian dengan mantap mengangguk.

“Ihhh, Mas Ian seram amat.” Putra ikut menimpali sambil mengintip coretan tangan Tian di dokumen. Ikutan puyeng lihatin coretan banyak ini.

Wendi menatapnya horor. Pasalnya komentar Tian buat naskah “Heart A Mess” terlalu banyak sampai bikin empet lihatnya, dan secara enggak langsung cowok ini minta dia bersama penulisnya untuk memperbaiki atau merevisi ulang naskah dengan jadwal super mepet. Ini sudah memasuki akhir bulan sementara jadwal terbit novel “Heart A Mess” telah diumumkan di Instagram penerbitan kemarin. Novel akan terbit pada bulan depan  minggu kedua tanggal 15 nanti.

“Mas ini buku pertamanya lho, kasihan kalau harus revisi ulang apalagi jadwalnya mepet banget.”

“Ho-oh. Mas Ian gak simpati apa sama penulisnya?” timpal Putra lagi namun harus menelan hati karena dicuekin.

Tian bukan sengaja mau cuekin Putra. Dia aslinya baik dan super ramah sama siapa pun tanpa mandang gender, cuma begitulah orangnya kalau udah fokus sama satu hal yang lain diabaikan.

“Justru karena ini novel pertama, si penulis perlu perbaiki kesalahan novelnya. Tulisannya gak konsisten, ucapan dialognya banyak salah penggunaan waktu. Latar tahun 2013, masa sudah kenal istilah ‘kuy’. Dia menyebutkan satu nama kota asli tanpa riset tempat, jadinya ngawur. Daripada novel debutnya dapat ulasan jelek mending bagian yang salah diubah. Terus tolong, Mbak Wendi minta penulisnya buat riset dan lebih konsisten sama tokohnya.”

Jobdesk korektor sekarang hampir sama kayak editor, ya?” timpal Putra tanpa sadar telah menyindir.

Tian pun menoleh, akhirnya sadar kalau ada manusia lain di sini selesain Mbak Wendi. Tapi langsung melongos tak acuh saat Putra ingin melempar senyum. Lagi-lagi Putra harus menelan hati.

“Berkasnya di cek lagi sebelum dikasih ke penulisannya,” katanya seolah-olah Wendi enggak becus menjalakan tugasnya sebagai editor. “Ya udah, saya permisi dulu.” Tian kemudian pergi setelah menyerahkan bukti lepas hasil koreksinya.

Wendi mendesah berat. Pundaknya seketika runtuh mengikuti pantatnya yang jatuh kembali ke kursi. Putra buru-buru mengikutinya duduk di kursi sebelumnya.

“Terus gimana, Mbak? Udah telanjur dikoreksi orangnya.”

“Siapa yang ngasih bukti lepasnya ke dia coba?”

“Gak tahu.”

Wendi menatap Putra curiga. Seingatnya dokumen ini kemarin dititipin ke Putra buat dianterin ke Divisi Korektor waktu dia kehalang ke sana karena urusan lain, tapi Putra langsung menggeleng dan bersumpah kalau bukan dia yang ngasih dokumennya ke Tian.

“Terus siapa? Masa tuyul?”

“Pak Yudi kali,” lanjutnya, “dia suka asal ngasih bukti lepas sama anak-anaknya termasuk ke Mas Ian juga.”

Pak Yudi manajer di bagian Divisi Korektor, tugasnya kadang membagikan bukti lepas ke anak-anaknya. Jawaban Putra ini agak masuk akal. Bisa jadi penyebab bukti lepas karya Soraya dipegang Mas Tian, ya, karena ulah Pak Yudi.

Padahal sebenarnya ulah Putra yang tanpa sengaja meletakkan dokumen di meja Tian kemarin sore karena mengira mejanya sebagai meja Uut. Faktanya meja Uut memang bersebalahan dengan meja Tian, lebih tepatnya sebelah kiri bukan kanan.

Wendi meletakkan dokumen tersebut di atas meja. Dia terus-menerus menghela napas sambil menekan dahi dengan ibu jari yang kini berdenyut-denyut akibat coretan tangan Tian. Di satu sisi dia merasa kasihan sama penulisnya, Soraya, yang harus bergelut lagi dengan revisian novel padahal tadi siang dia lihat di Twitter Soraya tengah menebar kebahagiaan ke pengikutnya.

Huft!

Wendi sudah pernah menyinggung persoalan yang dipermasalahkan Tian sekarang ke Soraya, tapi penulisnya itu orangnya gampang bingung dan ambyar tiap dijelaskan. Tiba-tiba suka jadi enggak mudengan. Banyak pula tulisan Soraya yang Wendi perbaiki, ini udah termasuk lumayan ketimbang file pertama, tapi siapa kira di mata Mas Tian masih ada banyak jejak kesalahan di tulisan Soraya yang perlu mereka perbaiki lagi.

Dengan setengah hati, Wendi kemudian mengabari Soraya via chat. Mengajak gadis muda itu buat ketemuan di kafe biasa dan membicarakan persoalan revisi novel.

Terus enggak lama pula Wendi melihat status terbaru penulisnya, membuatnya makin enggak enak hati.

Putra diam-diam ikut mengintip. Jadi tertarik sama akun profile penulisnya Mbak Wendi. Akhirnya dia buka hape untuk sekadar ngestalk akunnya.

“IHH, GEMES BANGET!!! PENGEN KUCUBIT PIPINYA!” komentar cowok sebelahnya tiba-tiba. Merusak batin Wendi yang sedang merenung.

Wendi noleh, lalu Putra nunjukin gambar yang bikin dia komentar girang. Ternyata foto Soraya yang pernah dia lihat. Wendi memutar bola mata sembari bangkit ninggalin meja kerjanya. 

Putra mendongak kaget, terus cepat-cepat mengejarnya. “Mbak Wen, jangan ninggalin inces, dong!” teriaknya setengah kemayu.

Cerita ini nanti enggak lama kok, tenang, gak bakal panjang juga hoho terus mau ngingetin, coba kalian fokus sama karyanya si Soraya “Heart A Mess” 🙆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top