🐈 scaredy cat

Selepas bimbingan skripsi, kedua cewek itu langsung mampir ke Kate—kantin tengah. Kalau bukan berkat rengekan Soraya paling Bunga udah ngacir ke perpustakaan pusat buat cari tambahan jurnal, buku, terus garap ulang revisi skripsinya. Mumpung revisi kali ini agak mendingan ketimbang tiga hari lalu, Bunga hanya butuh tambahan teori.

Beda sama punya Soraya isi kertasnya penuh dengan coretan merah hasil koreksian Bu Ella tadi pas bimbingan. Bunga sempat curi dengar dari luar percakapan mereka yang kurang lebih isinya Bu Ella marah-marahin Soraya. Enggak heran sih, soalnya pas keluar dari ruang dosen wajah temannya kelihatan masam.

“Katanya apa?” tanya Bunga sekadar basa-basi doang, waktu mengikutinya yang turun tangga masih dengan wajah masam.

Soraya cuma geleng-geleng lesu, terus mengeluh lapar dan merengek agar mereka segera ke Kate. Begitu di kantin alih-alih beli makanan, Soraya cuma beli es teh dan minuman dingin itu pun dianggurin sementara dia gelosatan kepalanya di atas meja.

Bunga kalau jadi Soraya pasti bakalan demikian waktu dibilang bab satu skripsinya ngawur, kayak sampah masyarakat. Mood-nya pasti langsung drop jadi malas mau ngapain-ngapain. Lebih lagi Bu Ella tadi ngomongnya pakai nada marah-marah yang suaranya kedengaran sampai di luar bikin Bunga dan dua mahasiswa bimbingannya sampai loncat kaget di kursi.

“Nanti sore jadi riset?” tanya Bunga mencoba menarik perhatian Soraya dari lamunannya itu.

Soraya hanya menggeleng, terus mendesah lama seiring wajah lempeng tak berdayanya. Bunga makin turut prihatin ngelihatnya.

“Tanyain dulu si Mas Tian.”

Biarpun cemberut disuruh ngechat duluan si Mas Tian, Soraya tetap keluarin hape dari dalam tas. Jari-jarinya mengetikkan sebuah pesan dan balasan muncul dalam waktu pendek.

Bunga meliriknya aneh waktu Soraya mengubah posisi duduknya dari kepala tiduran di meja kini terangkat dengan alis menukik bingung lalu ekspresi berubah jadi kesal.

“Apaan sih, diread doang!” sungutnya marah-marah sambil lalu meletakkan gawainya di meja supaya Bunga dapat lihat sendiri isi chat-nya.

Bunga menengok dan baca dari atas sampai akhir isi chat-nya sebelum ia berdecak geli.

“Napa sih, sama Mas Tian bawaannya pengen ngamok mulu?”

“Gak tahu.”

“Padahal Mas Tian baik kok.”

Soraya hanya diam mendengarkan. Omongan Bungga enggak seratus persen salah, Mas Tian emang seriusan baik cuma Soraya aja yang kurang dapat dari kebaikannya. Mungkin gara-gara si Mas Tian ini dia harus revisi ulang naskahnya dari awal padahal Mbak Wendi udah bilang kalau novelnya udah siap debut bulan depan.

“Awas naksir,” goda Bunga sambil menoel-noel punggung tangan Soraya yang langsung ditepis galak. “Siapa tahu Mas Tian jadi the next tokoh di ceritamu, Ay. Kayak si Dimas tuh.”

Abbiyu Dimas Rizki, si adik tingkat beda jurusan, sumber inspirasi Soraya dalam menciptakan tokoh Alam di buku “Alam(usik)” seriesnya. Sebuah cerita tentang murid SMA yang bercita-cita jadi gitaris band rock, tapi malah berakhir jadi vokalis band pop. Persis seperti Dimas yang notabenenya vokalis band kampus.

“Gak bakal. Dimas udah paling cocok jadi muse ceritaku.”

Bunga cuma menggeleng. “Ngomong-ngomong, belakangan jarang lihat si Dimas di gazebo taman. Tumben. Biasanya selesai matkul doi suka nongkrong di situ nyariin kamu.”

“Ukm-nya mau ada acara, makanya jarang nongol.”

“Masih chat-chatan?”

“Jarang. Chat-nya aja lewat DM.” Soraya dulu rutin chatingan sama Dimas lewat DM buat dapatin informasi tentang Dimas dan band-nya. Terus buat sekarang jarang semenjak cerita Alamusik tamat, tapi Dimas sesekali masih say hi di DM atau orangnya langsung nemuin Soraya pas di kampus seperti yang ditanyakan Bunga barusan.

“Ohh, kirain udah gak lewat DM lagi.” Padahal udah lumayan kenal dan dekat, cuma keduanya belum tukeran nomer sampai detik ini. Masih aja tukar kabar lewat direct messages Instagram alih-alih lewat Whastapp. Aneh.

Jelas-jelas si Dimas udah naksir, tapi Soraya masih aja belum peka.

🌶 hotsy-totsy🌶

“Janjiannya setengah empat kenapa kamu datangnya jam empat? Kamu tau gak, saya nunggu lama di sini sampai pesan dua kali minuman.”

Soraya apes banget hari ini. Udah tadi siang kena damprat Bu Ella, sekarang sore ini kena amukan Tian gara-gara datang telat. Soraya ketiduran di rumah Bunga selesai pulang kampus jam dua siang tadi, sementara Bunga lupa bangunin karena fokus mengerjakan revisi skripsi.

Dia baru bangun pukul 16.56 dengan keadaan panik dan tanpa pikir panjang langsung pesan ojol terus berangkat pergi tanpa cuci muka, sambil terus update kabar ke Tian posisinya yang on the way ke kafe lewat chat yang sedihnya cuma dibaca doang. Setibanya di kafe walaupun merasa lega lantaran Tian tetap menunggunya selama setengah jam, Soraya harus menelan hati ketika dimarahin.

“Janji saya bukan sama kamu doang Mbak Aya. Saya juga punya janji penting lainnya. Dan sekarang, waktu yang sudah saya atur jadi berubah karena kamu terlambat.”

Soraya menunduk dalam-dalam sambil terus meremas kesepuluh jarinya. Dia mengerti bahwa ini murni atas kesalahannya sendiri dan harus siap menerima konsekuensi kena omelan dari Mas Tian yang telah kecewa padanya. Namun, Soraya tidak dapat berhenti mengontrol dirinya yang ketakutan berdiri dengan kedua tangannya kena tremor. Amukan Tian lebih serem ketimbang Bu Ella pas bimbingan walau sempat bikin mood-nya hancur, tapi sama Bu Ella dia enggak sampai tremor dan Soraya cepat maklum karena terbiasa dibegitukan. Sementara sama Tian mood-nya bukan lagi hancur, Soraya langsung kena mental sampai tremor.

Dia baru dua hari kenal Tian jadi belum terbiasa dengan amukannya. Kendati cara pria ini marah lebih terdengar seperti orang mengajaknya bicara pakai rasional, tidak seperti orang lagi marah yang biasanya pakai nada membentak.

Tian akhirnya berhenti bicara sambil tetap menatapnya yang hanya diam sejak ia mulai bicara dengan wajah menunduk ke bawah dalam-dalam. Tian larut mengamatinya hingga perhatiannya berhenti pada kesepuluh jarinya saling bertautan, tampak basah oleh keringat, dan bergetar.

Tian tertegun. Merasa jahat sudah banyak bicara tanpa memikirkan perasaan Soraya yang telah ketakutan setengah mati berkat dirinya. Tian pun mendesah sesal sambil memijat pelipisnya.

“Mbak Aya,” panggilnya sambil meliriknya yang bergeming. Tian mendesah lagi, perasaan bersalah kian mengerogoti harga dirinya sebagai seorang laki-laki.

“Mbak Aya.” Dia mencoba lagi memanggila namun tetap saja gadis muda di depannya ini bergeming. Malahan kepalanya terus menunduk ke bawah seakan takut dapat omelannya lagi sehingga Tian mengambil langkah mendekatinya.

Kepala Tian miring dengan tubuh sedikit codong ke kiri. Tungkainya melangkah dekat lagi, lalu dia mengintip dari bawah dan langsung terbelalak ketika melihat kedua manik coklat terangnya yang berkaca-kaca dengan bibir ditekuk ke dalam.

Siapa duga bahwa Soraya ternyata sedang menahan tangisannya.

Tian reflek menegakkan punggungnya ke depan. Serautnya berubah panik dan sejujurnya, dia paling payah mengatasi perempuan menangis. Aduh! Pikirnya kelabakan sambil celingukan sendiri, berharap tidak ada orang di luar kafe dan melihat mereka.

“Mbak A—”

Ucapannya terpotong cepat oleh jeritan Soraya yang spontan bikin Tian terlonjak kaget dan hampir lari cemas karena mengira gadis ini akan balas menyerangnya.

Faktanya Soraya hanya mengangkat wajah yang sempat disembunyikan darinya. Tetap dengan mata berkaca-kaca dan bibir bagian bawah yang ditekuk ke dalam. Tian bergeming cukup lama, entah mengapa ia justru tertegun melihat serautnya inj. Alih-alih tampak kasihan, Soraya justru kelihatan lucu.

Serautnya mirip bocah kecil yang sering dilihatnya di kompleks rumah. Tian mati-matian menahan diri buat tidak tersenyum apalagi sampai mentertawainya.

Tapi mata Soraya cukup cerdik menangkap gerak-geriknya yang mencurigakan ini. “Jangan ketawa!” tegurnya dengan suara serak efek menahan tangis sambil refleks meninju dadanya. “Saya begini juga karena Mas Tian.”

“Oh?” Ekspresi Tian cepat sekali berubah dari menahan senyuman jadi datar. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan perasaan menyesalnya. “Maaf,” lanjutnya, “saya banyak bicara tadi.”

“Saya yang salah kenapa mesti Mas Tian yang minta maaf?” Soraya bingung. Perasaan takut dimarahi seketika dilupakan. Tremor-nya juga telah hilang sejak Tian mengintip ke wajahnya.

“Mbak Aya hampir nangis gara-gara saya, kan? Kalau iya, saya minta maaf. Terus Mbak Aya gak perlu minta maaf, udah saya maafin.”

Soraya tiba-tiba tersenyum lebar sampai ke mata, membuat Tian tertegun dengan alis menukik bingung.

“Saya emang hampir nangis gara-gara Mas Tian.” Bahkan dia langsung bicara jujur tanpa berusaha untuk ditutup-tutupi. “Soalnya saya baru kenal dua hari Mas Tian, tapi udah bikin kesalahan dan dimarahin. Rasanya dimarahi sama orang baru itu lebih gak enak ketimbang sama orang yang udah lama dikenal. Tapi karena udah dimaafin, saya jadi tenang. Hehe. ”

Soraya kembali melihatkan senyumnya; Tian makin dibuat bergeming.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top