🌪 perkara (2)
Ada easter egg. Siapa tahu kan, kalian nemu misteri jodoh aya di part ini 👀
Sejak ungkapannya malam itu Soraya makin membulatkan tekad menghindari dan berhenti bicara sama Tian. Hanya jika dalam keadaan terdesak dia akan membalas ucapannya. Seperti pagi itu saat Rara dan Tian mengantarkan pulang, dalam perjalanan Tian terus mencari cara untuk berkomunikasi dengannya.
Mungkin pria itu frutasi lantaran terus diabaikan Soraya, bahkan setelah pengakuan yang akhirnya membuat dirinya merasa berdosa hubungan mereka tetap tak berjalan baik dan tak seakrab dulu. Tian sampai tak sanggup tidur kepikiran terus hingga menjelang paginya dan Rara yang terbangun kontan heran menemukan suaminya terjaga semalaman. Pekerjaannya pun terabaikan, ia sampai tak bisa berpaling dari Rara hanya untuk menyesali pengkhianatan perasaannya dari sang istri.
Tian menyesal, sungguh. Namun, di satu sisi ia lega dapat mengungkapan perasaan yang telah menganggunya akhir-akhir ini.
Apa salahnya dengan berkata jujur tentang perasaannya sendiri? Toh, Tian tidak mengajaknya berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma kehidupan. Ia sekadar ingin mengutarakan gangguan dalam pikirannya. Berharap segala sesuatunya dapat kembali normal apa adanya.
Tian memang salah telah jatuh cinta ke perempuan baru, tapi dia merasa tak bersalah telah mengungkapkannya.
Sedangkan Soraya tetap pada kemantapan dirinya sehingga si gadis yang sedang dilanda frustasi tak berkesudahan itu terpaksa mogok bicara dan hanya menimpali sesuai kebutuhannya meski setengah hati supaya Rara tidak menaruh curiga terhadap hubungan si teman baru dan suaminya yang sebenarnya tidak ada apa-apa, hanya situasi perasaan mereka yang runyam.
Pokoknya jangan sampai jadi Vera! Prinsipnya mulai dari sekarang.
Lalu ketika Mbak Wendi menjadwalkan pertemuan lagi, tentu bareng Tian, untuk membahas bahas naskahnya, Soraya kemudian memohon supaya pertemuan dilakukan di tempat biasanya mereka bertemu dulu. Di Our Times Cafe alih-alih kantor penerbitan yang mengurus novelnya.
Ia sengaja menolak datang ke kantor semata-mata ingin menjauhi Tian walau pada akhirnya tetap ketemu. Yah, seenggaknya di kafe kesempatan berdua dalam satu ruangan tipis kalau-kalau Mbak Wendi meninggalkannya karena urusan dadakan. Tak masalah jika nanti Mbak Wendi pergi, toh Soraya tetap merasa aman berada di tempat umum yang terbuka sehingga banyak mata yang mengawasinya. Disamping itu, Soraya boleh mengajak Bunga yang untungnya bersedia jadi tembok penolongnya jika Tian ingin mendekati dirinya.
Soraya melakukan semua ini supaya tetap dalam batasannya. Menolak jadi orang kedua, si perusak hubungan orang, atau sampai menjadi seperti Vera, tokoh wanita di bukunya Heart A Mess. Soraya tidak mau apa yang ditulisnya mencerminkan dirinya sendiri.
Dia dan Vera dua karakter berbeda. Perlu diingat-ingat bahwa dia bukanlah Vera. Dia hanyalah Soraya, seorang mahasiswi tingkat akhir dan penulis cerita fiksi online. Biarkan saja Tian yang menjadi Ansel, asal Vera bukan Soraya.
Mereka tiba lebih awal dari janji. Sengaja supaya Soraya bisa mengatur posisi duduk agar jauhan dari Tian. Semua ini ide Bunga yang datang sebagai penyelamat kewarasannya.
Saat diceritakan tentang kejadian semalam, Bunga tak langsung berhenti mengumpati Tian. Dia merasa pria seperti Tian tidak layak buat dimiliki siapapun. Baik Rara ataupun Soraya baginya layak dapat yang terbaik.
Bayangkan saja, Tian punya istri tapi masih sanggup menyukai perempuan lain. Apa bukan gila namanya? Ke mana perginya akal warasnya itu?
Setibanya di kafe, eperti biasa pelayan langsung menyambut kedatangannya begitu pintu ditarik keluar dan kakinya melangkah masuk.
Beberapa hari tak kemari ternyata ada yang berubah. Pelayan kafe di balik konter bar itu berbeda dari orang biasanya. Soraya mengernyit tertarik ke mana perginya si mata besar yang sering dijumpainya acapkali berkunjung kemari. Cowok bertender yang sering dipanggil “si Mata Belo” karena matanya yang bulat dan besar.
Wajah baru ini mungkin beberapa senti sedikit pendek ketimbang si mata besar. Rambutnya lebih gela agak berantakan, kelihatan orang ini jarang menyisir rambutnya dengan benar. Potongannya pun terlihat kuno. Garis hitam di bawah matanya seakan memberi kesan kurang tidur satu minggu, membuat Soraya turut prihatin atas rusaknya jadwal tidur si wajah baru.
Badannya terlalu kurus untuk ukuran seorang pria membuat pipinya kelihatan demikian tirus, lagi-lagi ia menaruh simpati tentang apa yang telah dialami dalam kehidupan pria ini. Soraya menajamkan atensi kala sama-samar melihat sesuatu seperti sebuah ukiran tato di dekat mata si wajah baru yang dari pertama lihat sudah mempunyai kesan tajam berbahaya pada tatapannya itu saat mereka tak sengaja bertukar pandang.
Dia kira ukiran itu adalah tato buatan, ternyata hanyalah codet bekas luka.
“Iya, iya, orangnya ganteng. Tapi biasa aja lihatinnya,” tegur Bunga yang memergokinya terus mengamati si bertender baru.
Si wajah baru memang punya wajah yang rupawan. Agak aneh melihatnya yang bisa dengan mudah jadi aktor, model, atau apa pun buat jadi terkenal dengan bermodalan wajah tampannya itu malah memilih jadi pelayan sebuah kafe. Soraya berdecak heran, lalu melangkah ke depan saat antrian di depannya pergi.
“Hallo, selamat datang di Our Times Cafe. Ada yang bisa kami bantu?” Suaranya bahkan terdengar renyah di telinga cukup selaras dengan sosoknya yang pasti banyak digilai wanita ini.
“Orang baru, ya?” Alih-alih menyebutkan daftar pesanan, ia malah bertanya hal lain.
“Yap! Baru dua hari kerja di sini.” Si wajah baru menimpali dengan wajah ramah, mungkin telah disetting mengikuti SOP tempat kerjanya. “Mau pesan apa?”
Bunga kemudian menjawab karena tahu Soraya tidak akan melontarkan jawaban apa-apa, selain bertanya hal lain.
Sementara si wajah baru berbicara langsung sama Bunga, mata Soraya mengamati name tag yang terpasang di atas dadanya itu.
Theódore
“Theodore panggilannya Theo?”
“Ya?” Theo menarik atensinya ke Soraya seiring senyum profesionalnya sebagai pelayan kafe. “Kenal saya?”
Soraya menggeleng lalu terkekeh kecil. “Oh? Enggak kok. Cuma nyebut name tag-nya aja.” Lalu kepikiran sesuatu. “Kok orang yang dulu gak pakai name tag, ya?”
“Andra maksudnya?”
“Mata belo?”
Theo mengiyakan sambil lalu menyebutkan ulang daftar pesanan Bunga mewakilkan temannya itu yang ternyata masih dilanda rasa penasaran.
Theo berpaling ke arah Soraya tetap dengan senyum profesional, tapi kali ini terkesan lebih alami datang langsung dari sosok Theo itu sendiri. “Andra cuti seminggu kalau kamu tanya orangnya ke mana.”
“Aku gak nanya, tuh.”
Pundak pemuda itu terangkat sedikitnya tak acuh elakan Soraya dan tetap melayaninya sampai dua gadis pelanggannya ini beranjak dari hadapannya. Sebelum meninggalkan tempat itu, Soraya sempat menoleh untuk sekadar melihat Theodore lagi atau singkatnya si Theo.
Dia merasa tak asing seperti pernah melihatnya di suatu tempat, tapi lupa di mana dan kapan tepatnya. Bukan maksudnya mereka pernah bertemu sebelum ini, melainkan Soraya seakan pernah melihatnya. Samar-samar antara koran atau TV.
Gak mungkin artis, pikirnya tertarik memecahkah misteri ingatan samarnya ini. Kalau artis Bunga pasti langsung kenal. Bunga kan, diam-diam anaknya suka nonton TV nasional dan sangat up to date tentang berita artis masa kini.
“Mereka datang tuh,” tegur sang teman dan langsung menyuruhnya duduk di posisi paling aman.
Mbak Wendi yang muncul pertama segera dipaksa duduk di kursi bagian kiri Soraya sedang Bunga bagian kanannya. Tian tiba tak lama dengan raut canggung sampai tak berani menatap wajah Soraya lagi meski gadis itu terus membuang wajah darinya.
“Ada yang perlu direvisi lagi.” Kata-kata pertama yang diucakan Tian setelah duduk di kursinya sambil meletakkan bukti lapas di atas meja.
Soraya melirik judul naskahnya di atas jari-jari pria yang sempat ia berada dalam dekapan tangannya ini. Ia mendesah, lalu berpaling ke Wendi sambil mengontrol diri supaya tetap ingat pada prinsip barunya.
Jangan jadi Vera.
“Terus jadwal terbitnyaa gimana, Mbak?”
“Tetap sama kayak kemarin, belum ada perubahan,” ujarnya. “Cuma revisi sedikit aja, kok.”
Kalau jadwal terbit tetap sama berarti hitungannya tetap mepet buat revisi. Soraya mendesah lagi. Astaga, kenapa revisi selalu muncul terus-menerus, sih? Padahal dia kepengen semua beres dengan begini Soraya tidak perlu lagi berhubungan sama Tian.
Ya, maksudnya setelah ceritanya terbit kesempatannya tidak bertemu Tian akan semakin besar. Dengan begini dia bisa bebas dari dilema yang tak berkesudahan ini.
“Mungkin Mbak Aya bisa baca dulu bagian revisinya,” kata Tian menyodorkan bukti lepasnya.
Aya .... Hanya terjadi sekali semalam. Namanya dipanggil begitu sempurna dan pas oleh suaranya. Soraya lalu gelisah terngiang-ngiang kembali panggilan Tian yang memanggilnya sekadar nama.
Posisi duduknya jadi tak karuan. Mendadak tak nyaman saat mendongak dan menemui perhatian Tian yang membuatnya tertarik kembali pada pengakuan dosanya.
Ya, bagi Soraya itu adalah pengakuan. Tian jatuh cinta padanya adalah dosa besarnya.
Di satu sisi Soraya merasa beruntung tidak terjebak seperti Vera yang terlambat tahu status Ansel setelah mereka telanjur menjalin hubungan. Dia beruntung mengetahui status Tian di awal sebelum terpikat oleh pesonannya.
“Ohh, cuma masalah awal mula kedekatan Ansel sama Vera?”
Editor dan korektornya dengan kompak mengiyakan. Kemudian Mbak Wendi menjelaskan, “Menurut kita, first meeting Ansel dan Vera agak kurang logis untuk ukuran mahasiswi dan dosen.”
“Aku ubah lagi bagian awalnya?”
“Iya. Paling—”
Soraya sengaja memotong ucapan Tian. “Saya udah dapat gambarannya kok. Terus buat deadlinenya berapa hari? Keknya sehari enggak, sih? Kan tinggal beberapa hari lagi jadwal terbit.”
Tian yang akan menimpali lagi, langsung disela Soraya dengan pertanyaan lain yang sengaja cuma ditunjukkan buat Mbak Wendi.
Bunga melihat itu tersenyum puas sama keteguhan sang teman yang tengah melawan pergulatan batinnya. Dan lebih puas lagi melihat ekspresi masam Tian hingga pria itu memilih beranjak dengan dalih ke toilet. Mungkin dia gusar terus diabaikan Soraya.
Dalam hati Bunga berseru, Haha. Rasain, tuh! Makanya jangan sok-sokan suka sama daun muda.
Nah, kalau kata Soraya sendiri, Dasar orang tua!
🌶 hotsy-totsy🌶
Soraya mengusak surainya frustasi dihadang dua revisi lagi dalam waktu bersamaan. Tarikan napasnya terjadi berulang sampai-sampai ia merasa bosan.
Jari-jarinya lelah mengetik di atas keyboard. Biarpun ketikannya lancar, tapi otaknya kadang keganggu sama suara Tian yang terus muncul hingga mengusik ketenangannya. Soraya menghela napas lagi sambil melirik jam di layar ponselnya. Pukul 11 malam. Dia baru ingat belum sempat makan malam, telanjur larut menyelesaikan revisi sampai lupa merawat diri.
Soraya yang baru akan bangkit lalu tertahan ketika dering ponselnya menyala. Ada panggilan masuk dari kontak nama “Mas Tian”. Tubuhnya mendadak kaku di udara. Sampai-sampai ia tak bisa bangkit dan tak bisa kembali duduk lagi.
Apa-apaan sih, segala nelpon?!
Soraya lega telepon itu mati sesuai harapannya tanpa perlu diangkat. Ketika ia benar-benar akan beranjak dari kursinya berniat pergi ke dapur untuk mengisi perut, notifikasi baru yang muncul setelah telepon mati itu membuatnya terbelalak kala membaca isi dari pesan tersebut.
Mas Tian: saya rasa kita perlu bicara.
Mas Tian: saya ada di luar rumah kamu.
“UDAH GILAA, YA?!”
Lalu pesan barunya muncul lagi.
Mas Tian: maaf
Mas Tian: saya benar-benar merasa bersalah
Mas Tian: saya bersalah jatuh cinta sama kamu dan mengkhianti perasaan Rara
Mas Tian: saya pikir dengan mengungkapkan gangguan pikiran saya semua bisa kembali normal
Mas Tian: saya enggak berharap apa pun dari kejujuran perasaan saya ini sama mbak aya
Mas Tian: saya cuma ingin Mbak Aya tahu apa yang menganggu pikiran saya belakangan ini
Pesan itu terus muncul membuat tubuhnya bergetar tak karuan.
Mas Tian: tapi sepertinya saya kelewatan dan terlihat enggak tahu diri
Mas Tian: maaf
Mas Tian: saya mungkin jatuh cinta sama mbak aya, tapi saya sangat mencintai istri saya
Mas Tian: mungkin keputusan Mbak Aya benar Ada baiknya kita buat tidak saling bicara dan bertemu
Mas Tian: tadinya malam ini saya mau ketemu Mbak Aya, tapi setelah saya pikir saya kelewat tidak tahy diri. Jadi Mbak Aya gak perlu khawatir, saya sudah pulang.
Mas Tian: saya minta maaf dan saya harap kita tidak bertemu lagi
Entah apa yang merasuki Soraya, tiba-tiba dia menangis dalam hening. Dia mungkin menangis lega atas keputusan Tian demi kebaikan mereka, tapi di satu sisi entah bagaimana ceritanya ini terjadi, Soraya pun sedang menangisi bagian dari dirinya yang telah hilang. Momen-momen bersama yang hanya terjadi dalam waktu singkat itu mungkin akan jadi kenangan yang tak ingin diingat-ingatnya lagi.
Soraya terluka sebagaimana Tian yang sama terlukanya.
Naaah, kan! Aku double update tengah malam hahahaha hastag #siapajodohaya & #siapatheodore (mungkin kalian udah nebak face claimnya si wajah baru ini hehe)
TUNGGU NEXT CHAPTER 🌪 gak asyik kalau dikasih tahus sekarang.
HAHAHA apakah cukup sekian tian-aya? Oops, kayaknya enggak sih 🤸♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top