🐲 mulutnya kayak naga

Udah lewat dari sepuluh menit dan cewek itu belum gerak dari ekspresi bengong dengan tangan kanan menopang dagu. Laptop yang menyala di meja teranggurkan setengah jam lalu, sejak dia mengaku capek dan lapar.

Bunga merasa terganggu akhirnya menarik perhatiannya dari jurnal ke depan. Tepat ke arah si teman yang lagi-lagi kepergok melamun di siang bolong. Bunga mengambil buku di atas tumpukan mapnya, lalu menyerang kepala kosong Soraya dengan timpukan pelan upayanya agar dia berhenti bengong dengan muka bodohnya itu.

“Bunga ...,” rengeknya kayak anak kecil sambil menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kali ini rautnya berubah nelangsa yang dibuat-buat demi menarik simpati teman dekatnya sejak mereka sama-sama mengambil kelas Pak Oding. “Tau gak? Aku lagi bingung.”

Enggak usah dikasih tahu pun semua orang di perpustakaan ini pasti sadar, cewek yang biasa dipanggil Soraya versi panjangnya atau Aya versi pendek ini lagi frustasi. Ekspresi di wajahnya itu gampang sekali buat dibaca, lebih-lebih Soraya tipe orang yang suka mendramatisir kesulitannya.

“Aku pengen cepet lulus, tapi juga pengen meluk bayiku,” katanya dengan mata berkaca-kaca karena berharap semua revisiannya selesai dalam sekejap. Berharap ada orang baik mau mengantikan posisinya sebagai Soraya dan merampungkan semua tugas-tugasnya sebagai mahasiswa akhir dan sebagai seorang penulis.

Soraya mendesah cukup panjang. Kali ini ekspresi nelangsanya alami bukan buatan.

“Enaknya gimana, ya?” Netra cokelatnya menatap lurus padanya. “Masa harus riset sampai ke luar kota? Jauh amat!”

Bunga diam coba mencari jawaban di sisa-sisa kepintarannya yang kadang didapat di situasi tak terduga. Cuma kayaknya siang ini dia lagi mode bodoh sehingga responnya sekadar mengangkat bahu tanda tak tahu-menahu.

“Coba tanya Mbak Wen,” katanya selalu menyodorkan nama sang editor jika situasi mereka sama-sama belum menemukan jawaban pas buat masalah Soraya. “Siapa tahu punya jawaban.”

“Oh iya, ya!”

Seolah mendapatkan ‘wahyu’ dari sang teman, Soraya langsung meraih gawai dan mencari kontak nama sang editor yang pasti akan siap membantunya. Mbak Wen kan baik, enggak mungkin nolak.

Soraya emang suka bikin karangan fiksi sejak SMP. Hobi kecilnya ini telah menghasilkan banyak judul cerita romance, rata-rata menceritakan kisah romansa remaja pada masa kini, yang ia bagikan di salah satu platform menulis di Wattpad. Dari hobi itulah dia telah mengumpulkan ratusan libur followers berkat ceritanya berjudul “Heart A Mess” tentang mahasiswa menjalin hubungan perselingkuhan dengan dosennya, booming di aplikasi Tok Tok.

Dulunya pengikut Soraya sekadar lima belas ribu orang, lalu berkat ceritanya yang viral pengikutnya bertambah pesat dalam kurun waktu seminggu bahkan sekarang pun masih terus nanjak kayak medan pendakian gunung.

Meskipun hobi menulis fiksi, tapi pengetahuannya tentang kepenulisan benar-benar nol. Soraya sekadar paham dasar-dasar PUEBI berkat keseriusannya mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia sejak sekolah dulu, sisanya dia benar-benar nol.

Sekarang dia bingung dengan semua coretan revisi di novel yang baru ia dapatkan tiga hari lalu dari Mbak Wen. Harusnya hari ini dia serahkan balik filenya ke Mbak Wendi, tapi Soraya belum mengubah apa-apa. Pertemuan dan penjelasan Mbak Wendi tempo hari ia lupa yang bikin Soraya nyesel karena enggak sempat mencatat semua omongan sang editor.

Soraya lalu bangkit ketika menerima balasan Mbak Wendi mengajaknya ketemuan lagi di tempat biasa. Dengan semangat dia menatap Bunga yang telah kembali fokus dengan jurnal di mejanya.

“Mau ikut ketemuan sama Mbak Wen gak?”

“Absen dulu,” balasnya tanpa berpaling.

Soraya cemberut. “Beneran absen?”

“Iya.”

“Yahhh ... gak seru!” ujarnya sedikit kecewa tawarannya ditolak Bunga. Biasanya paling semangat ikut soalnya tiap ketemu Mbak Wendi mereka selalu dapat traktiran.

Hihihi ... iya, Bunga aslinya doyan banget ditraktir sama persis kayak Soraya. Dua-duanya enggak jauh beda sih, pantesan temanan.

🌶 hotsy-tosty 🌶

Balik dari kampus Soraya langsung melesat ke kafe yang rutin didatangin belakangan ini tiap ada janji temu sama Mbak Wendi. Kafenya cenderung nyaman, jarang ramai karena kafe langganannya ini punya konsep library, tempat khusus bagi orang-orang menyukai literasi.

Untuk tempat nongkrongnya sendiri berada di lantai dasar, sedangkan lantai dua perpustakaan pribadi dari kantong owner. Baik lantai satu maupun dua, keduanya sama-sama punya kesan sunyi yang terasa banget dan itu enggak pernah bikin Soraya kesepian atau bosan justru dia sangat menyukai suasananya. Makanan dan minumannya pun sama-sama enak.

Jenisnya standar sih, tapi kualitasnya terbaik!

Soraya nyesel pernah ragu buat kemari bareng Bunga. Cuma gara-gara tempatnya dari luar kelihatan biasa banget, enggak kayak kafe kekinian. Faktanya di dalam isinya wonderful.

Seharian ini Soraya di kampus, dari kuliah pagi dua jam alias ngulang mata kuliah yang dulu dapat D, terus siang bimbingan skrispi, setelah itu ngadem di perpustakaan sama Bunga. Niatan mau ngerjain revisi, tapi Soraya ambyar duluan.

Wajar kalau wajah Soraya kelihatan kusam, dia belum sempat cuci wajah apalagi make-up ulang. Duh, telanjur malas anaknya.

Bibirnya pasti tampak pucet. Warna lipstik yang dipakainya ini gampang memudar, malas banget, deh! Soraya udah nyoba beli merk lipstik terkenal berkali-kali dan yang dipakai ini punya slogan tahan 24 jam, faktanya bullshit. Dia kemakan iklan padahal merk lipstik ini namanya selalu muncul di daftar rekomendasi beauty vlogger sama pengguna base make-up.

Huft!

Mau enggak dipakai cuma sayang banget harganya hampir seratus ribu, ini pun masih kepotong diskon 22. Harga asli mah, lebih dari seratus ribu.

Rambutnya asal dicepol belakang saking malasnya buat catokan. Terkadang Soraya bisa jadi cewek super rapi dari atas sampai bawah, dia jelas paham cara merawat diri dan berpenampilan selalu menarik, tapi adakalanya dia jadi cewek berantakan. Kayak hari ini, tadi pagi sejujurnya dia belum menyisir surai panjang bergelombangnya hanya karena malas, akhirnya dicepol gitu doang terus berangkat ngampus.

Soraya mendorong pintu kafe dan langsung disambut senyum profesional sang waiters yang telah dirakit sedemikian rupa untuk menyapa hangat pelanggan kafe. Dia mulai terbiasa melihat senyum manis cowok bermata belo itu, dan barangkali si waitres pun mengalami hal serupa, terbiasa melihatnya datang.

“Pulang kuliah, ya?” Bahkan cowok ini langsung menyapanya akrab meski sebetulnya mereka enggak seakrab kelihatannya. Mereka hanya bertemu pas di kafe doang, di luar itu belum pernah.

“Iya, nih.” Sambil celingukan kiri-kanan mencari keberadaan Mbak Wendi. Bangku biasa mereka nongkrong tampak kosong. Soraya heran, enggak kayak biasa editornya terlambat biasanya selalu tepat waktu atau malah kegasikan¹.

Soraya kembali menatap wajah manis si waiters merangkup jadi kasir, sepertinya si mbak kasir rambut pendek lagi libur atau mungkin lagi istirahat karena lazimnya dia yang berdiri di belakang komputer kasir itu alih-alih mas-mas mata belo ini, lalu berpaling melihat daftar menu. Tanpa lama ia menyebutkan pilihannya, “Banana smoothie sama itu aja deh, orion rings.”

Soraya enggak begitu suka kopi, pokoknya apa pun minuman yang ada kandungan kafein dia jarang menikmati. Tiap ke kafe kalau bukan smoothie, lemon tea, atau milkshake paling air dingin sementara makanan Soraya bisa menikmati apa saja tergantung selera dan kebutuhannya.

Selesai membayar pesanan ia pun membawa nomer meja dan berjalan menuju tempat biasanya nongkrong. Kalau Mbak Wendi belum datang artinya dia bayar pakai uang pribadi, tapi biasanya suka diganti Mbak Wendi waktu mau pulang. Soraya melihat sekeliling tanpa ada minat kemudian berpaling pada gawainya di atas meja.

Cewek itu aktif mainan hape selama nunggu Mbak Wendi, tanpa lupa memberinya kabar kalau dia udah di duduk di bangku biasa. Fokusnya sama sekali enggak terusik dengan situasi kafe yang memang selalu begini, tenang dan minim bunyi. Soraya menyeringai geli berkat kiriman meme dari pengikut Twitter-nya sampai ketika seseorang datang dan menyapanya.

“Mbak Soraya, kan?” ujarnya berdiri mantap dengan pakaian serba hitam dari ujung kaki sama ujung kepala. Udah kayak orang baru keluar dari rumah duga aja.

Soraya mendongak dan mengamati cowok bertubuh besar berkat otot-otot lengannya yang mencuat di balik jaket kulit hitamnya itu dengan wajah sedikit angkuh. Tanda-tanda keramahan sama sekali tidak tersirat di wajah rupawannya. Membuatnya jadi skeptis namun tetap mengiyakan bahwa dialah Soraya.

Belum minta izin dan belum sempat Soraya beri, cowok ini asal menarik kursi di sebrangnya kemudian duduk di situ dengan pede. Alis Soraya menukik heran campur bingung.

“Maaf, kalau saya tiba-tiba duduk tanpa berkenalan.”

Telat izinnya! Soraya tetap menyunggingkan senyum sopan walau dia sendiri belum tahu siapa orang ini dan dari mana tahu namanya, Toh, bentar lagi dia keusir kalau Mbak Wendi datang.

“Saya Tian, korektor cerita Mbak Soraya.”

Korektor?” Ia seolah sengaja menekan kata dengan nada curiga. “Mas seriusan korektor? Kok meragukan, ya?” ucapnya lantang tanpa tahu malu.

Gimana enggak ragu? Tampangnya aja enggak kayak orang yang doyan baca buku tebel. Kalau dia ngaku preman, anak band, atau geng motor mungkin Soraya bakalan percaya karena tampangnya sangat mendukung. Melihat tangannya yang tatoan, pundaknya yang lebar dan tegap, lalu badan atletisnya bikin Soraya pikir-pikir lagi buat memercayai omongannya.

Tian memicingkan mata. Cukup memahami ekspresi ini karena seringnya memang orang meragukan pekerjaannya. “Memang orang seperti saya enggak boleh jadi korektor?” ujarnya dengan suara berat terkesan galak.

Soraya sampai terhenyak mendengarnya. Bukan lantaran takut dengan nada bicaranya yang terkesan sedang menegurnya ini, melainkan dia merasa bersalah telah meragukannya hanya karena tampangnya.

Yang tadinya wajah itu kelihatan datar dan tidak ada ramanya sekali, perlahan berubah ketika sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman tipis.

“Saya temannya Mbak Wendi. Saya juga yang mengoreksi naskah Mbak Soraya—”

“Oh, temannya Mbak Wendi. Tapi bisa gak, jangan panggil Mbak? Berasa apa banget gitu dipanggil—”

“—saya kemari gantiin posisi Mbak Wendi yang terhalang hadir. Mbak Soraya belum menerima balasan Mbak Wendi?”

Tian mengabaikan permintaannya; Soraya mendengkus dalam hati tanpa mau protes. Sadar diri kalau protes bakalan buang-buang waktu, kelihatan banget orang kayak Tian ini susah dirujuk.

Dia menggeleng. Chat terakhirnya belum dapat balasan. Mungkin Mbak Wendi lupa. “Beneran Mbak Wendi gak bisa datang?” tanyanya langsung dapat anggukan sekali. “Terus masalah revisinya?”

“Boleh saya lihat berkas barunya?”

Aduh!” celetuknya spontan diikuti ekspresi wajah sok menderitanya. Tian menatapnya aneh; Soraya meringis malu. “Punten ini mah, Mas Tian, sebenarnya saya belum revisi ceritanya.”

“Lah, terus? Gunanya ketemuan apa?” Giliran Soraya mengernyit waktu dengar nada bicara Tian berubah, seolah dia melupakan cara bicaranya dengan bahasa baku pekerjanya.

“Bimbingan naskah! Gimana sih, Mas. Masa gitu doang, gak tahu.”

Tian terbebalak, agak kaget diomelin sama penulisnya Mbak Wendi. Lalu berdehem dan kembali bicara dengan sopan. “Maaf. Saya kira Mbak Sora—”

“Mas Tian saya panggil bapak mau emang?” Soraya mengumpat dalam hati. Dia agak sensi aslinya dipanggil Mbak Soraya alih-alih Mbak Aya yang nyaman didengar telinganya. Mbak Aya ini panggilan di rumah oleh orang tua dan kerabatnya.

Bukan cuma ke Tian doang dia jadi begini, sama Mbak Wendi dulu juga gitu. Pokoknya Soraya suka koreksi panggilannya.

“—sudah selesai merevisi naskahnya.” Soraya terpaksa makan hati lagi karena cowok bernama Tian ini mengabaikan permintaannya.

“Belum Mas Tian, belum. Saya tuh, bingung makanya ngajakin Mbak Wendi ketemuan biar dibantu. Eh, yang datang malah orang lain.”

Bukan orang lain juga sih, toh Tian udah jelasin siapa dia dan apa hubungannya sama Mbak Wendi.

“Saya bisa bantu,” katanya meski ekspresinya itu kelihatan datar.

Soraya hanya mengangguk seraya mengeluarkan dokumen terakhir dari Mbak Wendi yang belum direvisi. File di laptopnya masih sama dengan file sebelumnya.

Tian menarik dokumen di meja, lalu mengecek isinya tak butuh waktu lama, dia masih ingat semua bagian dan coretan tangannya di ratusan halaman ini. Kemudian melontarkan perhatiannya pada sang penulis yang kelihatan banget hopeless.

Soraya baru akan bicara, tapi keburu disela Tian. “Mbak Soraya beneran belum revisi ceritanya sama sekali?”

Cewek yang sedang berada di usia menuju remaja akhir itu melotot jengkel, dih, lagi-lagi dipanggil Mbak Soraya! Terus mengeluarkan laptop dari tas dan mengaktifkannya cepat tanpa dulu membalas pertanyaannya. Biarin aja dia nunggu! Laptopnya akhirnya menyala. Soraya mencari berkas naskahnya untuk dibuka dan ditunjukkan Tian yang kurang percaya sama omongannya.

“Tuh, lihat belum saya apa-apain.”

Tian sedikit mengeser kursinya ke depan demi mengamati naskah asli yang belum ada garis-garis merah tanda berubah. Track changes diaktifkan sehingga memudahkan penulis dan editor mencari tahu bagian mana saja yang telah direvisi.

“Saya udah bilang tadi, saya bingung. Mas Tian gak percayaan banget, gak kayak Mbak Wendi.”

Tian terbelalak lagi dapat komentaran dari penulisnya Mbak Wendi. Cewek ini blak-blakan banget. Enggak peduli mereka baru pertama ketemu, apa yang ada dipikirannya langsung diucapkan lantang. Padahal menurut Tian pertanyaannya tadi cukup wajar bukan karena dia kurang percaya, Tian hanya ingin memastikan keaslian doang, dan Soraya-lah yang melebih-lebihkan.

“Coba jelaskan.”

Soraya mendesah. “Yang bikin cerita saya kurang konsisten dan riset setting. Mas Tian gak nyuruh saya buat datang langsung ke kota di cerita saya, kan? Kalau iya, kebangetan. Mas, kotanya jauh dan gak mungkin saya sampai ke sana cuma buat datangin tempat-tempat yang saya sebutkan di cerita. Perjalanan juga gak mungkin butuh sehari doang.”

“Riset setting ada banyak cara Mbak Soraya.” Suara beratnya agaknya mengusik kenyamanan Soraya yang merasa ganjil acapkali mendengarnya bicara. “Bisa lewat Google, Google maps dan view street, atau Mbak bisa nanya sama orang yang tinggal di sana.”

“Saya buta map.” Soraya enggak bohong. Dia betulan buta map dan paling enggak becus baca google map. Kalau ditanya bagian mata arah angin jawabannya pasti suka ngawur. “Udah nyoba pakai Google informasinya dikit. Google map pusing sendiri. Nanya orang? Hehe teman saya cuma sedikit.”

“Tapi pengikutnya banyak, kan?” Tian tahu jumlah pengikut akun Soraya dari Mbak Wendi. “Kenapa gak nyoba nanya ke mereka. Pasti ada satu atau dua orang tinggal di sana.”

“Mas Tian pembaca saya kebanyakan anak sekolah.”

“Korelasinya?” Tian menghela napas, lalu menaikan kedua tangannya yang bertautan itu ke atas meja. Perhatian Soraya jadi teralihkan, diam-diam ia melirik otot-otot jari dan tato tangan Tian. “Mbak Soraya ini gak ada niat buat memperbaiki naskah, ya? Asal mau terbit tanpa peduli kualitas tulisan.”

“HA??” Soraya kelabakan sendiri. Menarik mata dari jari-jarinya beralih tepat ke mata Tian yang entah mengapa asal menuduhnya enggak punya niat revisi. Wajah Soraya merah padam, rasa jengkel dan marah berkelebat di matanya. “Saya punya niat! Mas Tian doang yang gak lihat niat saya dan asal menuduh saya pemalas.”

“Saya gak bilang Mbak Soraya pemalas,” koreksinya dengan tenang ketimbang Soraya yang udah melotot garang. Udah kayak hewan buas mau nyerang mangsa. “Tapi Mbak Soraya sendiri yang bilang.“

Soraya mengumpat dalam hati. Kenapa sih, nih orang susah banget diajak ngobrol! Nyebelin banget. Kalau bukan karena dia korektor dan teman Mbak Wendi, mungkin Soraya udah angkat kaki dari sana.

Sabar ... sabar ... ini ujian, Mbak Aya.

Visualisasinya Putra menurut imagine masing-masing, ya. Hehe emg sengaja gak pakai. Tapi kalo aku pribadi sih, kurang lebih si Putra begini

Petualangan Soraya-Tian dimulai dari chapter 3 nanti 🐲






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top